Selintas Bayangan Bernama Masa Lalu

Seminggu ini, dengan dekap-dekap sepi aku bertanya kepada-Nya dalam hati, "Mengapa jalan yang kupilih selalu sepi?" Berulang kali. Dalam hati, maupun dalam barisan doa.

Dan di saat itu pulalah bayangan bernama masa lalu kembali. Ya, masa lalu yang telah lama aku lupakan. Kulemparkan ke suatu masa ingatan yang jauh.

Alangkah kejamnya aku membuang masa lalu jauh menembus bilik waktu yang tak terjangkau, tak teringat. Namun apa dayaku? Mengingatnya berarti mengurungku didalamnya cepat atau lambat.

Kenanganku kembali di masa yang keruh dan samar-samar. Namun kaya warna. Mungkin itu faktor mataku yang masih teramat tajam memandang. Tak seperti sekarang yang jarak tiga meter pun telah kabur.

Kala itu usiaku empat tahun. Aku tertidur di becak yang kami tumpangi ke rumah Eyang di Cirebon. Rumah itu tampak sederhana. Dan disana akan selalu ada Eyang Kakung yang menggendongku di tangannya.

Aku sayang, kagum, dan patuh pada beliau. Mungkin lebih patuh dibandingkan dengan ayahku sendiri. Aku selalu mengagumi suaranya yang parau dan tawanya yang selalu terdengar dalam. Aku tidak lupa. Dan hanya dia, satu-satunya keluargaku yang tidak pernah memanggil namaku dari jauh sambil berteriak. Ketika ingin berbicara denganku, ia selalu berhenti dari pekerjaannya dan menghampiri. Aku takkan lupa.

Di kota Cirebon itu, ingatan masa kecilku hanyalah aku dengan dress hijau lumut kecokelatan selutut dan rambut bob.
Dan aku pun ingat, dari sekian tumpuk baju yang Mama berikan padaku, hanya baju itu yang aku sukai. Alasannya mudah. Itu satu-satunya baju warna gelap yang aku punya. Dan aku juga ingat, itulah warna kesukaanku waktu kecil.

Dengan pakaian itu, suatu pagi Eyang Kakung mengajakku mencari sarapan. Seperti biasa, ia naik dengan sepeda ontelnya dan aku duduk manis didepannya. Aku ketakutan saat itu karena aku tidak suka ketinggian.

Pukul enam pagi, jalanan kota Cirebon masih lenggang. Dan aku merasakan kencangnya semilir angin menerpa wajahku yang bundar disertai suara bell sepeda yang unik kala menikung.

Kami pun membeli 10 buah serabi dan berbincang dengan pembuatnya. Aku diam saja karena merasa tidak kenal dengan mereka. "Adek, mau jadi apa nanti saat besar?" ujar salah seorang diantaranya. Dengan yakin aku jawab, "Ayang mau jadi pelukis!"

"Memang Ayang suka melukis apa? Kenapa suka melukis?" tambahnya lagi. Aku pun jadi bercerita panjang lebar bagaimana aku mencintai warna lembah, arakan awan, kerasnya jalan, dan menariknya wajah manusia.

Sekembalinya dari sana, kami menikmati serabi yang sudah setengah dingin karena aku keasyikan bercerita.

Saat matahari mulai terasa hangat di kulit, aku datang ke beranda depan dan melihat Eyang Kakung menerawang jauh, tenang, pada barisan jalan beraspalkan tanah di mana ayam-ayam hilir-mudik mematuk makanan. Aku diam dan memandangnya takzim. Aku takkan lupa cahaya di matanya, ketenangan wajahnya, dan gesture diamnya yang diam-diam aku coba menirunya.

Tiba-tiba, lewatlah segerombolan anak kecil dan Eyang Kakung serta mereka berbicara sejenak. Kemudian, "Ayang, main sana dengan mereka." katanya lembut. Aku memandang Eyang Kakung dan anak-anak itu penuh keraguan. Biasanya Mama tidak pernah memperbolehkanku bermain jauh-jauh dari rumah. Bahkan melarangku keluar karena aku sedikit banyak hiperaktif dan sering terluka.

Akhirnya, aku bermain dengan anak-anak itu sampai waktu magrib. Kami main petak umpet, uber hem, dan berkeliling kampung yang asri. Kampung ini diselingi pula dengan pepohonan jati yang mulai meranggas di hulu musim kemarau. Ah, indahnya.

Aku selalu... manja, mungkin tepatnya dengan Eyang Kakung. Kalau ada beliau, aku tidak mau nonton televisi walaupun aku kecanduan. Aku lebih memilih duduk di sampingnya. Namun lebih sering aku duduk di pangkuan beliau sambil berdiskusi tentang mengapa begini, mengapa begitu.

Dari kejauhan, aku mengamati Eyang Putri. Eyang Putri yang membuat Eyang Kakung mencintainya. Sepintas, memang beliau cantik. Tapi beliau sangat diam. Dan yang paling membuatku takjub, aku sama sekali tidak bisa menerka emosinya. Bahkan saat bahagia, sedih, atau marah. Aku sama sekali tidak menerkanya.

Aku mengingat hal-hal ini dibalik masa laluku yang paling rabun. Inilah yang aku ingat. Aku ingat kontur wajah, ekspresi, dan gesture mereka. Bahkan setelah kusadari, segala gerakanku mirip nyaris 100% dengan Eyang Kakung. Bedanya aku sama sekali tidak bisa meniru suaranya yang aku rindukan itu. Salah, bukan tidak bisa. Tapi tidak mau. Suara beliau yang aku tiru 100% hanya aku gunakan saat sedih saja. Aku juga mengingat pepohonan, rumah-rumah, semilir angin, segala yang alamiah, dan... sepi.

Aku sampai kini tidak bisa mengingat keramaian, deru kendaraan bermotor, ramainya dalam kelas, dan lainnya.

Aku pun hingga sekarang tidak bisa berpikir jauh walaupun ingin. Tidak bisa bergabung dalam organisasi yang terbilang mayoritas walaupun berusaha. Tidak bisa melanggar norma-norma yang ada walaupun lingkunganku sangat mendukung. Tidak bisa pergi ke tempat-tempat yang belum pernah aku datangi dengan ibuku sendirian walaupun ingin.

Semua yang kupilih, semua yang kujalani, sama seperti aku bercerita pada penjual serabi itu. Sebuah pilihan yang anak lain tidak akan mengambilnya. Seperti baju yang aku sukai, warna gelap, yang orang lain menghindarinya. Seperti apa yang kuperhatikan kala melintasi kota adalah alamnya, bukan kendaraannya. Seperti apa yang kuhapal dari diamnya orang, bukan apa yang dikatakannya.

Apa yang kupilih selalu sepi. Selalu sedikit yang mengambilnya. Dan aku pun tidak bisa bergabung dengan keramaian walaupun setengah mati aku berusaha. Dan aku juga tidak bisa berpikir jauh dari norma, tetap konservatif, walaupun kata mereka lingkunganku luar biasa jauh dari keadaanku pribadi. Jauh berbeda dan bukan salah satu dari kelompok itu.

Mungkin memang Dia menciptakanku untuk berdiri di jalan sepi ini. Mungkin Dia memang memberikan batasan tidak kasat mata untukku. Memang Dia mungkin membuatku terasing dari yang lain.

Sunday, March 18, 2012 at 6:23am

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA