Senandung Angin dari Ayah

Tas ranselku aku bebaskan di tanah vulkanik yang kini aku pijak. Aku meliarkan pandang pada barisan bangunan yang terlihat lenggang dari sini. Ayah, aku rindu.
          Ayah, hari ini Bunda bekerja sangat keras. Kau tahu? Setiap hari Bunda selalu sibuk menghenyakkan setiap pekerjaan rumah yang banyak seperti setumpukkan kertas. Padahal dahulu, saat kau ada, Bunda sangat fokus menjaga kami. Bunda selalu punya waktu memasak makan siang dan malam yang terasa biasa kala itu. Namun kini, Bunda selalu menyajikan kami makanan cepat saji atau buatan orang lain. Nikmat memang. Tapi sungguh, aku merindu masakan Bunda yang selalu kekurangan garam. Tak ada yang cerewet setiap pagi, Ayah guna membangunkanmu yang tertidur pulas. Malas bekerja. Kautahu Ayah, tangan Bunda tak lagi halus seperti sutra. Tangan Bunda sekarang kasar. Sungguh, tak tega diriku melihatnya tidur melelah seakan memohon pada kasur untuk menjauhkan dunianya dalam lelap.
          Angin mulai mengiangkan suara. Seakan Ayah berdehem mengingat-ingat kami kala itu.
Ayah, kau tahu. Dirimu selalu galak padaku, anak gadismu ini. Kaubilang saat itu bahwa belum waktuku untuk mengenal seorang lelaki diluar keluargaku. Dan aku memang selalu taat meskipun tidak pernah kauperingatkan karena kuingat betapa seram mimikmu saat kawanku lain jenis bertandang ke rumah. Ayah, aku membuat kesalahan dengan membawa seorang laki-laki asing dalam hidupku. Dia tampak demikian baik. Tapi ternyata itu hanya untaian topeng menutupi apa yang ia sembunyikan dalam masksudnya. Ayah, aku menyesal. Maaf. Rasanya sakit, Ayah. Engkaulah orang yang paling tahu betapa halusnya perasaanku walaupun kau selalu mengajarkan padaku untuk bersikap layaknya lelaki. Yah, memang karena engkau adalah laki-laki Ayah. Ayah, apa yang harus aku lakukan sementara Bunda justru selalu mengharapkanku untuk dekat dengan lelaki sembarangan?
          Angin nyiur membelok. Ayah gusar pada sosok lelaki, Bunda, dan anak gadisnya yang ranum. Untaian sedih hanya tersorot pada paraunya suara menutupi sakitnya penderitaan seorang ayah.
         Ayah, kau tahu? Andai waktu dapat aku putar kembali, maka yang paling ingin aku lakukan adalah hadir tepat waktu sebelum engkau pergi dirawat di rumah sakit hari itu. Hari dimana pengumuman penerimaan mahasiswa baru tertera di koran. Aku hanya mendengar cerita dari Bunda bahwa dirimu sangat bahagia kala itu hingga kau berteriak-teriak pada tetangga mengumumkan anak kesayanganmu  telah menjadi seorang mahasiswi di perguruan tinggi negeri. Aku hanya tercenung, sangsi, Ayah kala itu. Seumur hidup kau tak pernah memberikan ucapan selamat padaku Ayah saat aku meraih rangking pertama di kelas atau olimpiade fisika di sekolah. Namun, kau selalu memarahiku jika aku kalah dan lemah, Ayah. Dan saat itu, aku malu Ayah. Aku malu padamu yang terus marah padaku.
         Ayah, hatiku parau mengucapkan ini padamu. Aku bersalah.  Dibalik tak perdulimu, kau ceritakan kegembiraanmu yang tak terkira kepada sanak famili bahkan karyawan kantor bahwa putrimu ini senantiasa memberikan kesejukan di hatimu. Bahwa aku adalah pelita jiwamu.
         Angin datang membelai-belai rambutku yang kemerahan terkena paparan matahari sore.
Ayah, tahukah kau saat aku memohon-mohon padamu untuk kuliah diluar kota? Engkau berkata padaku untuk tidak keluar karena Ayah dan Bunda tidak menyisakan sepeserpun tabungan untuk biayaku keluar. Tahukah kau? Hatiku sakit sekali saat itu. Padahal kau tahu, si Ratih yang sering meminta ajari aku geografi masuk perguruan tinggi yang sangat aku inginkan. Ayah, saat itu, rasanya tidak adil. Sungguh tidak adil. Aku punya kemampuan Ayah. Tapi kau justru menghalangiku meraih apa yang aku inginkan.
         Kau akan marah padamu jika aku harus mengakui bahwa aku sama sekali tidak berprestasi di perguruan tinggi yang kalian tentukan untukku. Aku selalu mencari alasan bahwa aku tidak bahagia. Sudah jutaan kali aku meminta Bunda untuk memberikanku izin pindah kuliah. Tapi, Bunda tak mengizinkan. Seandainya aku tahu, betapa bangganya kau. Seandainya aku tahu. Ya Tuhan.
         Ayah, awalnya saat kau tak ada hatiku terbiasa bagaikan hanya kau pergi bekerja dan belum kembali. Atau sedang keluar membeli makanan yang tak kunjung kau bagi pada kami. Tapi lambat laun, kau terasa takkan pernah ada. Takkan pernah hadir. Karena ini sudah sekian tahun, Ayahku.
         Ayah, aku benci rokok Ayah. Aku benci rokok yang telah menyebabkan kanker paru-parumu. Dan yang lebih membuat aku benci, karena rokok telah memisahkan jarak diantara kita. Tak pernah kau izinkan aku mendekat padamu dalam jarak satu meter karena kau tak ingin diriku menjadi perokok pasif. Dan aku menyesal, Ayah. Aku menyesal tidak berhasil membuatmu berhenti merokok di usiamu yang paruh baya. Aku gagal. Dan sekali lagi aku minta maaf.
Ayah rumah kita kebanjiran lagi tahun lalu. Foto-fotomu lenyap tertelan air bah itu. Foto saat kebersamaan kita. Aku tidak pandai membedakan apakah keluarga kita broken home atau tidak karena hamper setiap minggu kalian bertengkar. Berpukulan. Tapi yang aku tahu, sebenci-bencinya aku pada pertengkaran kalian, di hatiku selalu ada kata maaf untuk kalian kala melihat foto-foto itu.foto-foto saat aku digendong tatkala bayi. Kau tahu, Ayah. Lagu yang kau dendangkan padaku adalah satu-satunya lagu yang tak pernah aku lupakan.
          “Berbendi-bendi…
           Kesungai tenang…
          Ambo disayang…
          Tinggallah memberi…
          Tinggallah memberi sekuntum lembayung…”
Dulu, aku terlalu bodoh untuk tahu bahwa lagu itu bukan dari daerah kita.
          Ayah, sekali saja. Seumur hidupku tak pernah kita berdiskusi serius. Yang aku tahu hanya bagaimana Bunda bercerita padaku dengan penuh linangan air mata karena pukula-pukulanmu pada beliau. Tapi, Ayah. Aku ingin mendengar suaramu. Aku ingin melihat matamu yang sipit saat tersenyum. Dan aku semakin merasa bersalah tak pernah bercerita denganmu karena kau menyimpan kegelisahan untuk kami. Kuingat, Ayah setiap hari tak pernah kau tidur nyenyak karena keparanoidanmu ada pencuri yang masuk. Setiap hari kau hanya focus pada menjaga kami, meskipun setiap hari juga kau bentak kami karena dianggap tidak patuh.
           Saat dirimu divonis kanker paru-paru stadium tiga, Ayah. Takkan kulupa tangisanmu, untuk pertama kali aku mendengarnya. Kau seorang benteng yang tangguh akhirnya luluh saat kenyataan semakin dekatnya keberpisahan kita. Kau bicara terus terang bahwa kau tidak ingin pergi dari sisi kami.
          Ayah, sungguh kau mirip denganku. Ku tidak bias mengungkapkan perasaanmu dengan lancar meskipun kau sangat ingin. Hasil dari pengungkapan itu hanyalah kekikukkan aneh yang tidak ditoleransi.
          Ayah, seandainya aku bias, aku akan menunda kepulanganku berganti shift dengan Bunda menjagamu di rumah sakit meskipun itu hanya satu jam saja. Karena setelah aku pergi, nyawamu ditarik sang malaikat dari kaki. Engkau tidak sadarkan diri, Ayah.
          Ayah, aku mencoba belajar bahwa kematianmu bukan kesalahanku. Tapi, bahwa kematian itu telah tersurat adanya. Tapi, rasa sesal, duhai Ayah mencekat kerongkonganku sampai kerontang.
          Aku membuka handphone, disana tertera kalimat Bunda yang khawatir. Maka aku pun bergegas karena mega memang telah tertelan kegelapan.
           Ayah, aku pergi. Selamat tinggal. Telah kuakui kesalahanku. Telah dan akan selalu kukirim segenggam doaku padamu disana. Aku akan mulai berjalan meraih masa depan. Aku ingin kau pun disana dapat berbangga sebangga dirimu padaku disini. Saat disisiku meskipun kau tak selalu terlihat mendukungku.
          Aku mengambil ranselku yang menguap rapat dan pergi tanpa menoleh. Di belakng terdengar nyiur angin yang menyakitkan. Seorang kerinduan ayah pada putrinya. Kerinduan yang terhalang oleh waktu yang kurang. “Selamat jalan, Putriku” Seolah angin senja berucap.

24-10-2011

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA