20 (Chapter 2)

                           Kami bersua ke tempat Mona. Ke tempat ia dan ibunya mencari penghidupan lewat racikan pempek Palembang yang sangat unik menurutku. Disana, kami duduk dan menceritakan apa saja yang terjadi pada diri kami selama tiga tahun terakhir jarang bertemu.
                           Sungguh luar biasa! Entah karena chemistry sahabat atau bagaimana, kami mengalami kejadian yang nyaris serupa. Namun tentu dengan cerita yang berbeda.
                           Teta dengan difitnahnya dia saat semasa SMA. Difitnah oleh teman perempuan hanya karena dia dapat berbaur dengan siapa saja. Dengan kedengkian itu, teman perempuannya memfitnahnya tengah hamil dimasa SMA. Dan yang menyakitkan, guru-guru SMA tempat dia belajar semua ikut mencemoohnya. Padahal mereka tidak tahu akan kebenarannya. Sungguh keji.
                           Tidak hanya sampai disitu, kawanku ini mengalami pengkhianatan yang tiada habisnya oleh seseorang berinisial F. Mereka menjalin hubungan lebih kurang dua tahun. Kemudian, dia bercerita bahwa si F ini memiliki seorang sahabat perempuan.
                           Teta merasa berbeda sejak satu tahun terakhir. Si F tiba-tiba saja suka menyuruh-nyuruhnya mengerjakan tugas kuliah miliknya. Pada awalnya, Teta hanya biasa saja. Namun kemudian, lambat laun hal tersebut semakin menjadi-jadi. “Langsung saja gue bilang, ‘Gue ini kuliah nggak ngurusin kuliah doang. Gue juga organisasi dan gue capek. Gue nggak sempet ngerjain PR lo segala.’ Gue gituin. Kesel gue. Emang gue apaan?” gebunya. “Ngerjain PR sendiri saja payah, nyuruh ngerjain PR dia. Cowok apaan tuh?” timpalku ikut emosi. Mona menggeleng-geleng mendengarnya. “Ada ya cowok kayak gitu?”
“Gue sudah curiga Prim sejak awal. Feeling gue nggak enak sama SAHABAT-nya itu. Masa iya sahabat nyanyiin lagu cinta? Masa iya sahabat sampe ke rumah itu cewek terus-terusan? Woy! Gue nggak tolol-tolol amat sampe bisa ketipu kayak gituan! Langsung saja gue minta kawan gue yang juga kawan dia buat mata-matain dia. Bener kan? Terbukti,” ujarnya emosi.
                           “Dimana-mana kalo ada cowok ngakunya punya sahabat cewek sudah kemungkinan besar salah satu ada rasa. Tinggal tunggu saja siapa yang kalah dan bakalan jadian,” kataku sinis. “Bukan kemungkinan lagi, Budi. Itu mah pasti,” kata Mona menimpali. “That’s right, Beib!” kataku.
                           “Yang nyakit lagi... Bayangin woy! Dia sudah jadian sama itu cewek sejak satu bulan sebelum dua tahunan kitaorang di bulan April. Dia memang sengaja menunda jadiannya pas dua tahunan kitaorang. Pas teng tanggal jadian kitaorang di bulan April, pas dia mutusin gue. Dan besoknya status di FB-nya sudah berubah dengan itu cewek!” histerisnya.
                           “Beh, nyakit!!!” ujarku sambil mengepalkan tangan dan menonjok bagian ulu hatiku sendiri. “Pasti kepingin lo lempar piring ke mukanya,” kataku lagi dengan sinis. “Heh! Itu mah kebaikan, Prim. Rasanya kepingin gue bacok-bacok itu orang!” sarat emosi ujar Teta.
                           “Belum lagi, orang tua kitaorang sudah saling kenal. Gue sudah kenal dengan orang tua dia, abi gue juga sudah kenal dengan dia,” kayanya berapi-api. “Wih, buset!!” kataku dan Mona nyaris berbarengan.
                           Kami pun terus mendengarkan ceritanya. Bagaimana Allah adil pada hamba-Nya. Saat ternyata si F ditentang hubungan dengan kekasihnya. Kemudian bagaimana Teta didukung oleh ibunya. “Weh!!! Senang banget gue. Rasain!! Rasain!!! Hahahaha...” katanya sangat bersuka cita. Aku dan Mona sampai ikut tertawa dibuatnya. Sebab, tawanya sangat heboh dan puas.
                           Kami juga bertanya mengapa dia bisa tidak mengajak laki-laki itu duel. Padahal kami tahu, Teta mantan atlet karate. Dan diantara kami, dia yang paling emosional.
                           “Sudah dewasa, Prim. Nggak zaman marah-marah kayak gitu. Kalo gue sih pas itu buat status yang nyindir dia dan ceweknya yang NGGAK SEBERAPA itu. Kemudian, ceweknya itu marah-marah. Herannya, itu cewek yang dulu bilang, nyindir gue kalo masa lalu itu harus dilupakan. Gue bantai saja balik. ‘Loh? Siapa? Kan itu cuma masa lalu? Kok lo marah gitu sama gue? Salah gue gitu? Lagian, ngapain lo sibuk?’
                           Eh, sudah gitu ada lagi tahu yang marah-marah sama gue. Dia bilang supaya gue jaga mulut dan nggak usah ngeganggu hubungan dia dengan di F. Gue bilang saja, ‘Sorry ya, ngapain gue mikirin dia? Masih banyak loh yang mesti gue pikirin. Kalo gue sih diajarin ngomong itu yang sopan. Percuma orang tua gue nyekolahin gue tinggi-tinggi kalo omongan gak dijaga. Masih banyak loh cowok yang lebih dibandingkan MR. F YANG TERHORMAT itu.’ Gue tulisin tuh nama dia gede-gede. Terus gue tag juga dia sekalian.” Wanita jika sudah marah. Mengerikan memang.
                           “Santai saja. Gue kalo ketemu dia di jalan juga ngomongnya, ‘Loh, mana cewek lo itu?’ Yang cool, Prim.” Tambahnya lagi. Aku terdiam. Menurutku, itu tetap kasar sesungguhnya. Tapi, ya sudahlah. Definisi kasar dan lembut juga relatif pada setiap orang, bukan?
                           Beralih ke Mona. Mona juga mengalami hal serupa. Dia difitnah oleh kawan sekampusnya dengan tuduhan bahwa dia adalah tukang fitnah. “Lo orang bayangin geh? Gue tahu kelakuan dia saja nggak. Deket saja nggak. Darimana gue tahu kejelekkan dia? Sinting!” ujarnya sambil menyilangkan telunjuk di keningnya. Kami ikut bingung.
                           “Gue mah diem saja. Justru kawan gue yang ngebela dengan bilang, ‘Jangan ngomong sembarangan. Mona itu nggak begitu. Ngapain dia ngurus kamuorang? Dia nggak pernah ganggu orang tahu.’”
                           Soal masalah percintaan dia bercerita pula. “Ada cowok ngedeketin gue. Sampe dateng-dateng ke rumah gue. Kemudian, gue diteror sama mantannya. Mantannya mau bunuh diri kalo gue nggak ngejauhin itu cowok. Sekarang yang dateng terus kan itu cowok? Kok gue yang dimarahin? Gue yang disalahin? Itu cewek juga sampe bilang-bilangin gue (sensor). Gila kali?”
                           “Ada lagi cowok yang gue suka. Dia dateng ke rumah ngajakin gue nikah. Kalo gue iyain udah nikah kali gue sekarang,” katanya. “Aih, sudah-sudah lagi. Komitmen kayak gitu mah bullshit!” kataku sinis. “Tapi dia serius. Kalo cowok yang masih cengangas-cengenges masih make uang orang tua mah jelas bohong. Tapi ini cowok udah kerja. Dan gue emang ada rasa sama dia. Kemudian, gue kan jarang online. Suatu hari gue online dan melihat FB itu cowok. Dia nulis ke dinding temannya, ‘Mana cewek yang mau lo kenalin ke gue?’ Gue ilfil langsung. Langsung gue buat status kan waktu itu, ‘Ternyata ada jiwa pengkhianat juga.’ Itu buat orang.
                           Sejak saat itu, gue lost contact sama dia. Terakhir, dia bilang sama ibu gw, ‘Saya suka dan pingin serius loh sama Mona. Tapi dianya begitu.’ Ibu gue nyampein ke gue dan gue nangis. Tahu kan kita bertiga ini sangat ahli menyembunyikan perasaan sama orang yang kita nggak pingin tahu?” Aku dan Teta mengangguk. “Ibu gue saja nggak nyangka gue suka sama itu cowok gara-gara sikap gue. Gue nggak mau terluka.”
                           Giliranku bercerita. Berhubung ini milikku, dengan curang aku menyembunyikan yang aku ceritakan pada mereka.
                           Kami sangat bersyukur dijadikan perempuan-perempuan yang dibilang sangat logis karena sangat berbeda dengan kebanyakan perempuan. Kami bersyukur karena kami ditakuti laki-laki karena sikap kami kepada mereka yang ‘gahar’, ‘barbar’, dan dingin. Kami sudah mengalami sangat banyak luka dalam hidup kami.
                           Teringat pula alasan kami bertiga bisa sangat dekat semasa SMP. Kami sama-sama dari keluarga yang cukup berantakan. Sama-sama orang Sumatra dengan tempramen perempuan Sumatra yang keras dan tegas. Kami juga sama-sama tidak membuka diri asli kami kepada orang lain kecuali kami sangat mempercayainya. Dan kami juga sama-sama sulit ditebak.
                           “Banyak orang nanya sama gue, ‘Kok lo nggak cerita apa-apa sih?’ Buat apa? Penting? Bisa apa kalo diaorang tahu?” ujar Mona kemudian. Aku dan Teta pun menyetujuinya.
                           Senja mulai menjelma di ufuk Barat. Kemudian tercelotehlah sebuah ide dari mulut Mona, “Gimana kalo kalian nginep saja di rumah gue?” “Jangan! Rumah gue saja.” Selama mereka berargumen, aku berpikir jika jadi bagaimana akan bilang hal ini ke Mama. Mama pasti tidak memperbolehkan. Lalu tercetuslah dari mulutku, “Ke rumah gue saja.” Mereka pun setuju.
                           “Tapi, lo harus izin sama kakak gue,” kata Mona. “Sama abi gue juga.” Ya ampun, ternyata kami bertiga sama-sama sulit untuk izin keluar rumah. Wah, sesuatu.
                           Alhasil, lagi-lagi, dan setiap kali ada yang minta izin aku mempertanyakan kenapa harus aku yang memintakan izin pada orang tua atau keluarga mereka, Siapalah saya ini? Dengan berat hati aku iyakan. Dan langsung saja ketika adzan magrib berkumandang, aku dan Teta menyebrang jalan dan naik ke rumah Mona yang tangganya memiliki sudut kemiringan yang tidak biasa.
                           Tadinya, aku hendak izin juga shalat magrib disana. Tapi ternyata, kakak laki-lakinya sedang meracik pempek di dapur. Tepat di samping kamar mandi. Sepertinya, aku harus mengurungkan niatku. Setelah diizinkan, aku langsung meminta Teta meluncur ke rumahnya. Demi alasan shalat dan kekhawatiran abi Noverta, aku memintanya sedikit mengebut. Dan sejenak aku lupa bahwa Teta dan Mona sama-sama wanita tangguh yang tidak butuh rem di motornya!
                           Ditengah perjalanan, abi Noverta menelepon dan aku diminta mengangkatnya. Setelah mendengar penuturanku, abi Noverta percaya dan berhenti panik. Wah, wah. Padahal dengan abi Noverta sudah lama aku tak jumpa.
                           Sesampainya di rumah Noverta dan berbincang sejenak, aku langsung menuju ke kamar mandi dan mengambil air wudhu. Aku kaget selepas wudhu harus shalat ditengah ruangan rumahnya. “Nggak bisa di kamar lo saja, Teta?” kataku menyembunyikan kecemasanku. “Nggak. Berantakan banget.”
                           Aku penasaran seberapa berantakan kamarnya. Dan dengan kagetnya aku melihat kamarnya yang seperti terkena bom Hiroshima dan Nagasaki. “Gila! Cewek bukan lo ini?” ucapku kaget. “Hehehehe... Ini juga sudah dimarahi abi. Cuma masuk kuping kanan keluar kuping kiri.”
                           Sedikit terheran-heran dengan dua kawanku ini. Ternyata soal kerapihan, aku tidak bisa meremehkan perubahanku. Setidaknya jika dibandingkan mereka, kamarku lebih baik. Padahal aku sudah sangat putus asa saat melihat kamar kakak tingkatku yang super rapi.
                           Sembari menunggu Teta berbenah baju ganti, aku melihat pementasan kabaret tempatnya. Bagus. Wah, jadi rindu menangani kabaret.
                           Selepas meminta izin, kami meluncur ke sebuah tempat rental DVD. Dengan sangat tidak teraturnya kami memilih DVD-DVD yang unik menurut kami. Kami terlalu banyak memilih dan terpaksa harus sortir ulang. Bisa begitu rupanya.
                           Lepas dari sana, ide spontan kami muncul lagi dengan membeli cemilan untuk malam panjang nanti. “Memang habis segini?” kata Teta. “Yakin,” ujarku meyakinkannya.
                           Kami akhirnya meluncur ke rumahku dan sampai sebelum isya. Dan kami yang belum pada berbenah kemudian berbenah dan membajak kamar adikku yang jauh lebih luas daripada kamarku.
Semalaman kami bercengkrama dan menonton DVD. Jam 09.00 WIB aku sempat tertidur selama lima menit kemudian menonton DVD kembali.
                           Rupanya pukul 01.00 WIB Mona terkapar tidur. Tersisalah aku dan Teta dalam menonton DVD. Salah satu DVD yang menarik berjudul Fiksi yang menceritakan perempuan psikopat yang jatuh cinta. Memang bukan film horor. Namun seramnya melebihi film horor.
                           Selepas selesainya film itu, Teta tertidur. Tinggal aku sendirian dan melanjutkan menonton. Sampai pukul 04.30 WIB aku ingin sekali shalat dan mendoakan sahabat-sahabatku ini.
                           Akhirnya, aku juga letih dan tertidur pukul 04.00 WIB.

bersambung...

Kejadian : 30 Maret – 1 April 2012
Selesai : 24 April 2012

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA