Linda (Bagian 2)

                Tiba-tiba aku teringat Linda. Semua ini karena bus sedang tidak melewati daerah ini. Daerah ini ditutup digantikan angkutan umum.
                Linda, hari ini aku terkesiap mengingatmu lagi. Angkutan umum yang aku tumpangi melewati bukit tempatmu dulu tinggal. Ya, bukit tempatmu dulu berjalanmenanjak menuju rumahmu yang entah dimana.
                Indah, Linda. Dari sini aku dapat melihat bukit yang separuh botak karena telah dikeruk. Bentuknya gurat-gurat vertikal kecoklatan ditimpa cahaya pias. Tak lupa, barisan rumah-rumah yang diselingi pepohonan fillicium sp.

                Aku mendongak, menduga diantara rumah-rumah ini yang mana rumahmu. Apakah rumah bercat kuning mewah itu? Ataukah rumah yang putih terkelupas penuh dengan barisan mesin cuci bekas? Ah, prasangka.
                Aku melihat anak SMA laki-laki terus menanjaki bukit. Barangkali jauh disana lagi rumahmu. Tempat yang lebih indah menuju mentari.
                Ini salah, Linda. Harusnya aku melupakanmu yang entah kini ada di mana. Sama seperti aku, dan kita membiarkan seonggok surau genting-gentingnya roboh,terburai. Seperti jalanan ini yang turun bagai tirai.

***

                Linda, aku melihat bukit-bukit mulai membayang di jalan Thamin. Ada yang masih hijau, ada yang beralih abu-abu. Bahkan hitam. Dan aku melihat rumah besar menyendiri membuat langit memar memerah! Cantik, Linda. Kau pasti suka.Aku tahu.
                Angkutan umum ini dicegat lampu merah. Huh, menyebalkan! Ditambah, ditengah jalan aku diturunkan karena supir hendak pulang.
                "Maaf, ya Mbak. Nyambung aja," demikian katanya.
                Aku langsung bergegas turun tanpa basa-basi. Aku juga melihat tempat les yang menarik. Sayang dan sungguh sayang dari dulu aku hanya sanggup melihat, Linda. Tentu kau paham bagaimana keadaan keluargaku sampai sekarang.
                Aku melihat jalanan ramai berubah lenggang dalam sekejap mata. Undakkan jalan ini bagai aliran masa lalu paling hulu. Aku menunduk sejenak mencari kekuatan.
                Terangkatlah wajahku kembali sambil mencari angkutan lainnya.
***

                Aku benci perpisahan yang tanpa kabar. Tanpa berita. Tak ada waktu untuk menyiapkan dupa perpisahan.
                Berapa? Berapa yang meninggalkanku sendiri? Berapa waktu dalam diriku untuk'dia' hadir menyuarakan duka. Menyuarakan gema bunuh diri yang rasional untuk derita.
                Aku menaiki angkutan umum menuju rumah. Aku mendengar lagu yang berlirik, 'Senandungku hanya untuk cinta. Tirakatku hanya untuk engkau. Tiada dusta. Sumpah kucinta sampai ku menutup mata.'
                Lagu yang menghanyutkan. Namun, apa sisa dari hati yang tulus mencinta? Terkadang tidak ada. Baik cinta pada kekasih, atau sahabat.
                Ada kalanya, kita harus membiarkannya kandas. Semua tidak lebih hanya fatamorgana. Seperti toko kue yang kini menjadi bimbingan belajar. Atau bangunanlama yang distel memakai topeng berwarna agar terkesan menarik.
                Aku menutup mata dan menyadari keharusan mengakhiri. Aku bertanya tentang hakikat kekejaman dan esensi perpisahan.
                Aku menghindari pergi tiba-tiba tanpa kabar untuk stabilitas emosi mereka yang kutinggalkan. Tapi sebaliknya, justru mereka pergi tanpa kabar berita. Macam apa ini?
                Inilah ketegasan dari tanggung jawab untuk lanjut atau selesai.
                Tersadar, aku sampai di rumah. Kutundukkan kepala. Ketika kuangkat...

***
                Linda! Lihatlah! Awan-awan bergumul berwarna jingga di kerah langit! Kalau di geografi, kita dapat menyebutnya alto cirrus. Kau ingat? Bentuknya seperti sayap kanan seekor burung dengan ukiran yang mengembun. Sungguh tiada duanya.

Maka, kupersembahkan doa dalam lepitas sayap-sayap awan untukmu, Linda, dan untuk kalian agar menemukan cinta menuju mega yang abadi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA