Liburanku

Liburanku

Apa ya... Jika didefinisikan dengan satu kata, maka liburanku sejak pertengahan bulan Januari sampai akhir Februari adalah 'bermakna'. Mengapa demikian?

Awal liburan:

Pada awal liburan aku menghabiskan waktu di suatu kegiatan yang mewajibkan turun ke jalan. Bercapek-capek dan berlelah-lelah untuk hasil yang terbilang cukup jika dibandingkan dengan kawan-kawan serta kakak tingkat di suatu perempatan lampu merah.

Belum reda jua keteganganku menunggu IP yang belum juga keluar. Dan aku harus syok dengan suatu nilai mata kuliahku yang hancur lebur padahal aku sudah mengusahakan yang terbaik.

Awalnya stress karena nilai tersebut menurutku sangat tidak pantas. Ya tapi sudahlah. Toh juga seorang hamba yang taat itu tidak takut dengan perlakuan semena-mena (read: Q.S Thaha : 112). Maka, aku coba sabar dan diam tanpa terlalu meledak-ledak. 'Slow, Prim...' ujarku dalam hati.

Tinggalah masalah itu dalam pikiranku. Kukunci rapat-rapat saat bersama kawan-kawan seperjuangan turun ke jalan, turun ke desa, dan turun ke sekolahan. Nikmat benar jika jadi jundi (bawahan).

Pertengahan liburan:

Aku harus mengurut dada antara lega dan sesak yang silih berganti. Lega karena IP tidak jelek-jelek amat. Sesak karena ditugaskan untuk berada di bagian tengah. Antara jundi dan qiyadah (pimpinan).

Dalam suatu kesempatan, pernah ada rasa 'aku tidak mampu!' tapi aku tepis dan tak hiraukan. Aku lakukan semampuku meski itu berarti harus bolak-balik ke qiyadah puncak dan jundi.

Rasanya benar-benar menguras energi. Dalam kegiatan rigrid kadang aku baik, kadang juga buruk. Dan yang buruk ini menjadi sedikit luka karena mengingatkanku akan kurangnya kapasitas diri. 'Ya wajarlah. Namanya akselerasi.' pasrahku pada diri saat sadar aku yang paling muda didalamnya.

Rasa tidak nyaman seringkali hadir. Kutepis dengan kencang. 'Jangan manja! Keluar dari zona nyamanmu!'

Aku harus melakukan beberapa hal yang menurutku tidak sesuai dengan karakterku. Tapi akhirnya aku lakukan juga.

Beberapa kali aku terpaksa melakukan hal yang aku mulai aku jauhi selama ini. Awalnya, nggak banget. Namun lama-lama cukup nyaman.

Pada pertengahan liburan ini pula aku harus menjadi 'aku yang dulu lagi' yang selalu jadi 'orang tengah' dalam suatu perdebatan. Dengan anehnya aku kilar-kilir antara tiga pihak yang berseteru. Lucunya, ketiga-tiganya menaruh kepercayaan penuh padaku. Alhasil, aku stress. Tapi dengan menyantaikan diri, aku bisa seimbang lagi.

Akhir liburan:

Rupanya setelah beberapa hal yang terlalu ribet jika dijelaskan, aku dijadikan seorang qiyadah puncak oleh ketiga pihak yang berseteru. Dan mereka merasa aman aku ditengah jadi fasilitator.

Akan tetapi, timbul jejak ragu. Aku merasa bahwa ini adalah bom waktu yang akan meledak jika aku mulai memihak atau jika ketiga pihak berada dalam satu forum. Entahlah.

Menjadi qiyadah puncak membuatku benar-benar sakit. Tiga hari lebih aku harus menahan badan yang ingin sekali terkapar dalam ruang tiga kali empat ini. Belum lagi aku harus menghadapi orang-orang yang memaksaku menjadi otoriter. Aku yang orangnya sedikit banyak diciptakan sebagai pendukung saja sedikit kelabakan dibuatnya. Ini masih sedikit lumayan jika ternyata para pendukung tidak melemahkanku. Tapi ternyata tidak. Mereka sedikit banyaknya melemahkanku. 'Ya, Rabb. Kau tahu yang paling aku takutkan adalah jika menjadi qiyadah puncak. Aku bertanggung jawab atas suatu kelompok. Dan ini besar. Bukankah aku sering berdoa pada-Mu agar tidak jadi qiyadah puncak. Ya Rabbi, jika memang Engkau berikan ini padaku aku yakin Kau akan berikan jalan padaku. Kuatkan aku.' isak kecilku di hati.

Liburan tinggal hitungan hari. Dan aku sudah dalam keadaan fikrah (pikiran) yang gersang. Alhasil, terpaksa aku meminta tausiyah dari rekan yang lebih paham agama. Langsung aku tembak aku ingin masalah qada dan qadar.

"Ada apa dengan qada dan qadar? Mengapa kamu tanya ke arah sana?" tanyanya retoris sambil tersenyum tipis.

Setelah paparan cukup panjang, aku pun akhirnya memberanikan bertanya tanpa menyebutkan jelas ceritanya. Ya, untuk menghindari ghibah dan salah persepsi yang berbuntut panjang.

"Aku... Aku ikut di berbagai hal, mbak. Semuanya yang aku ambil karena aku ingat perkataan seorang ustadz mengenai penggunaan momentum. Bahwa momentum harus digunakan sebaik-baiknya..."

"Oh, iya. Mbak mengerti. Kesempatan dan momentum." ujarnya dengan sirat mata tajam yang sedang berenang-renang dalam pikiran terdalamnya.

"Namun, sejujurnya aku menghindari suatu jalan yang cukup riskan. Disamping ini masalah penggunaan momentum. Karena jika aku tidak cukup kuat di tempat itu, aku yang terwarnai. Dan orang-orang di sekitarku mengatakan seolah 'Untuk apa disana? Disana tidak ada manfaatnya. Buang-buang waktu'.

"Tapi, ketika aku mengikuti yang mereka anggap luar biasa, aku merasa asing. Apakah aku harus meninggalkan jalan riskan itu atau jalan asing itu?"

Beliau menepuk lembut lenganku, "Dek, Allah menciptakan kita dengan segala macam potensi didalamnya. Pernah kan mendengar ungkapan 'Allah memberi apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan'?" Aku mengangguk kecil dan mendesah lemah, "Ya."

"Masalahnya adalah kita sendiri tidak tahu apa yang kita butuhkan, terkadang. Oh, maaf. Seringnya. Allah yang lebih tahu dari kita, hamba yang dhaif. Maka dari itu, benar. Ambil saja kesempatan-kesempatan itu. Kita bisa merasa tidak nyaman pada awalnya. Tapi kita tidak pernah tahu. Mungkin Allah menyimpan sesuatu didalamnya."

Hampir kusela jawaban beliau namun ternyata beliau melanjutkan, "Memang, tidak semua potensi diberikan rata. Jika semua tidak ada spesifikasinya, maka siapa yang mau jadi buruh? Siapa yang mau jadi tukang sampah? Kembali pada qada dan qadar, kita semua memiliki kecenderungan yang berbeda. Biarkan. Baik menurut kita, belum tentu baik menurut Allah."

Sebagai penutup tausiyah, ia mencegahku untuk keluar dari tempat riskan dan tempat asing.

Suatu ketika, aku menceritakan masalah yang sama dengan detil pada orang yang aku anggap terpercaya. Beliau hanya tersenyum kecil dan berbinar, "Dek, anti harus bersyukur dengan kecenderungan-kecenderungan itu. Tidak semua orang diciptakan kuat di tempat anti. Seperti fulanah (sensor nama). Dia pendakwah tapi berteman dengan orang-orang kiri. Berteman dengan mereka yang urakan, yang preman. Beberapa dari kita melihatnya dengan anggapan, 'Kok gitu sih?' Tapi kita tidak tahu kan apa yang diperbuatnya didalam sana. Ternyata beliau membawa misi perubahan agar mereka lebih baik. Dan itu susah. Tapi ingatlah, dimana pun kita berada adalah lahan dakwah."

Sejuknya. Walaupun hakikat berat didalamnya tak kulupa.

Di suatu malam, aku membaca note saudariku yang baru pulang kampung. Rasa sedihnya meninggalkan desa dan lainnya. Aku ingin mengatakan, "Selamat, saudariku. Berarti kini kau siap disini lagi, bukan? Membantu kami yang berjaga di pos selama kalian pulang?"

Rasanya senang saudariku kembali dan akan menguatkan walaupun sedih juga mengetahui mereka belum puas. Aku banyak menyaksikan mereka yang liburannya meski tak jauh dari orang tua tapi tidak merasakan kehangatan rumah. Atau ada pun seorang kakak tingkat yamg sama sekali tidak pulang kampung demi menjaga pos. Luar biasa!

Malu rasanya mengetahui hal ini masih takut juga. Kuat, kuat! Harus tetap tegar!!

Bukankah ini liburan yang pantas bergelar 'bermakna'?

 Sunday, February 26, 2012 at 10:07pm

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA