ACTUATING (Level 2 : Frontal)

Sebuah hentakan

Hari ini, aku terlelap seusai memakai laptop untuk suatu keperluan. Dalam mimpiku, aku bermimpi laptopku terendam banjir yang disebabkan hujan badai yang dahsyat. Tidak lama kemudian, aku terkesiap pukul 01.00 WIB dan mendapati memang ada hujan badai diluar jendela kamar. Suara deru menerbangkan yang dahsyat. Aku terlelap lagi.

Setengah jam kemudian, pukul 01.30 WIB, tetanggaku berteriak kencang didepan dan disamping kamar kecilku. Sontak saja, aku, mama, dan adikku terbangun. “Banjir, Dhit! Banjir!” Olala. Mungkinkah mimpiku jadi kenyataan? Ternyata tidak. Laptopku belum terendam oleh banjir. Tapi tatkala membuka pintu kamar, aku mendapati air banjir yang keruh kecoklatan telah merayap masuk ke ruang tamu yang notabenenya ada disamping kamarku.

Dengan terhuyung-huyung, aku keluar dan membantu mama dan tetanggaku setelah mengenakan jilbab dalam membersihkan rumah. Aku sama sekali tidak panik. Entah mengapa.

Semakin rasional

Aku hanya terdiam sejenak. “Dek, jangan melamun!” kata tetangga laki-lakiku. Aku tidak melamun. Aku mengumpulkan sisa-sisa nyawaku yang masih berterbangan di alam lain.

Kemudian, dengan patuh aku membersihkan semua yang harus dibersihkan saat banjir ini. Lantai, kamar mandi, angkat barang, dan lain sebagainya. Sambil menyaksikan tubuhku bekerja bagai robot, aku merasakannya. Merasakan semua rasa sakit dan bersalah itu.

Aku teringat semua masalah yang tadi sebelum tidur menggelayutiku tanpa henti. Aku mengingat bagaimana aku menyalahkan diri sendiri karena disudutkan juga oleh dua kubu yang bersengketa. Memang sebuah nasib yang harus ditanggung oleh pihak yang memediasi adalah disalahkan ketika terjadi sesuatu yang tidak beres.

‘Itu salahku. Seandainya aku begini dan begitu. Maka...’ ujarku dalam hati sebelum terlelap tadi.

Psycho-analys

Seperti teori psycho-analys yang aku pelajari Jumat lalu, aku merasakan ada rel yang sama antara masalah-masalahku dengan banjir ini. Aku bersyukur dengan adanya banjir ini semuanya terasa jelas.

Dalam sebuah lembaga, aku diharuskan memegang sebuah tanggung jawab yang bagiku sangat besar. Dan sesepuh-sesepuh disana memintaku karena mereka sudah tidak punya waktu, katanya. Tapi yang terjadi sekarang, mereka menyalahkanku dan mendepakku tanpa ada permisi seolah-oleh tidak pernah ada kata-kata tolong dari mereka kemarin. Dan aku kini, hanya diam.

Terheran mengapa aku diam? Kenapa aku tidak frontal? Aku sudah melakukannya. Aku sudah berbicara baik-baik, frontal, diam, bahkan mengalah. Tapi mereka tidak mengerti. Akhirnya aku sampai di suatu kesimpulan kemarin. Ya sudahlah. Asalkan berjalan, aku tidak apa diacuhkan begini.

Namun, keadaan berubah 180 derajat saat kubu yang lain marah padaku dan menyebutku pengecut karena aku tidak dapat mengambil kendali. Dan kubu itu akan membantaiku dan kubu lain –insya Allah- hari ini.

Sejujurnya, aku sudah kebas dan tidak mempan ditekan begitu. Banyak tekanan yang telah diberikan padaku dalam waktu yang sama. Aku merasa sudah melakukan hal-hal semaksimal yang aku bisa, sekuat yang aku bisa walaupun... Ya, walaupun mereka dengan cara yang sangat halus meremehkan dan menganggapnya tidak penting.

Dan puncaknya adalah saat banjir ini berlangsung. Aku sangat bersyukur memiliki emosi labil saat ini. Mengapa? Karena keseringanku beremosi labil, aku menjadi sangat rasional disaat orang lain tidak bisa rasional. Kulminasi tekanan membuatku jadi sangat rasional.

Ini membuka mataku. Ya, aku salah karena aku kurang maksimal. Dan aku terima itu. Tapi dengan semua hal yang tak perlu aku sebutkan aku merasa bahagia karena nyatanya aku bisa ada disana padahal ada banyak hal lain yang harus juga aku lakukan disaat yang sama. Dan saya sangat menghargai preferensi saya untuk meninggalkan hal-hal itu.

Setidaknya, saya tidak perlu gembar-gembor memaparkan apa-apa yang telah saya tinggalkan untuk mengambil peluang yang satu ini. Saya berani. Itu saja. Ketika mereka memaparkan di hadapan saya apa-apa yang mereka tinggalkan dan apa yang bisa mereka dapatkan kalau tidak ke tempat itu.

Saya hanya tersenyum tawar saat mereka bilang bahwa apa yang saya tinggalkan tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang mereka tinggalkan diluaran sana. Kawan, kalian tidak tahu apa yang telah saya tinggalkan. Dan camkan, bahwa yang saya tinggalkan itu tidak lebih kecil dari apa yang kalian tinggalkan itu.

Kalian sedemikian bangga mengatakan meninggalkan kegiatan ini dan itu. Kegiatan yang jika kalian lakukan bisa memperlancar akademik dan juga memperlancar keuangan kalian. Saya? Ya, saya tidak mengorbankan itu. Hanya agenda sosial yang itu tidak hanya satu seperti kalian.

Saya bisa saja berdalih –dan saya yakin saya bisa berdalih setiap hari- dengan kebenaran jika saya ingin curang tidak memegang. Pada akhirnya, kalian datang juga, bukan? Hebatnya lagi, kalian bisa datang tanpa meninggalkan satu hal pun dari apa yang kalian kemukakan kepadaku. Selamat, kawan.

Dengan pongah sikap kalian mengatakan padaku, “Ish, apa sih? Dengan kegiatan kayak gitu saja kok jadinya Cuma begini?” Saya hanya diam saja. Terserah.

Karena sikap terserahku ini, disisi lain seseorang mengatakanku pengecut. Katanya aku payah karena tidak pandai mengambil kendali. Maaf, ada banyak perbedaan antara pengecut dan sabar. Saya sudah berbicara. Dan dengan saya diam dengan otak-otak dewasa tersebut seharusnya mereka sadar atas inkonsistensi yang dilakukan.

Saya letih mencak-mencak. Buat apa? Saya cukup jengkel saja sekali sampai tiga kali. Saya merasa malu jika terus menerus menjadi orang yang mengatakan hal-hal yang sama. Itu lagi, itu lagi. Maaf, saya masih banyak pekerjaan lain dibandingkan harus membicarakan hal yang sama. Tentu saya tidak lantas diam. Tetap saya ingatkan dengan intensitas dan dosis yang biasa.

Ekstraksi


Dengan semua ini jelas. Jika diekstraksi masalah inti mengapa kalian tidak mau memegang, tidak mau datang hanya satu : tidak profesional.

Tidak profesional tersebut datang dari banyak aspek yang bisa kalian sangkal sampai mati.

1.    Tidak ada cinta dalam organisasi
Kalian memecah sendiri apa yang kita tuliskan dalam mading kita, kawan. Kalian mengkhianatinya dengan cara sendiri. Cobalah lihat bagaimana kalian mencari ‘orang’ dan dengan pongahnya kalian bilang, “Nggak akan berpengaruh dengan kita didalam organisasi.” It’s bullshit! Ya, kalian, bagaimana dengan ‘orang yang dicari itu’? Masih yakin bisa profesional. Akibatnya? Tampak dihadapan mata. ‘Orang’ tersebut berbicara mecam-macam pada orang yang juga ‘macam-macam’ sehingga timbul perpecahan. Ada juga bentuk lain. Membawa orang baru dengan pemikiran baru yang jelas bertentangan. Setelah itu, tutup telinga dan tidak mau mendengarkan kata-kata yang lainnya.
Saya sudah sampai muak melihat cinta lokasi yang tidak penting itu. Seperti konsep sahabat jadi pacar, konsep ini juga berlaku di organisasi. Cukup tatapan, jatuh ke hati, dan bubar! Setelah bubar, bubar juga kenyamanan dalam organisasi, biasanya.
Untuk saya pribadi, saya sangat tidak ingin melanggar aturan satu ini. Organisasi ya organisasi. Kuliah, ya kuliah. Kalau mau berpacaran (maaf, saya tidak memegang konsep ini) cari yang jauh dan tidak ada sangkut pautnya. Lagipula saya bukan orang yang terlalu pintar yang dapat membagi waktunya untuk semua fokus itu. Untuk kuliah dan organisasi saja payah.
2.    Bersikaplah dewasa
Aku melihat katanya mereka adalah sosok-sosok dewasa. Dan aku sering mendengar mereka menceramahiku tentang apa itu arti dewasa. Dihadapan mereka aku tetaplah seorang adik kecil tertatih-tatih. Namun apa yang kini aku lihat? Aku bertanya pada kalian, dua kubu berseberangan. Aku melihat dan bertanya pada kalian satu sama lain sebagai pemediasi. Tapi kemudian, kalian dengan seringai mengatakan padaku tidak ada masalah. Akan tetapi, di belakang mengatakan si itu begini dan begitu. Tidak mengerti suatu awalan. Yang lain mengatakan dia konvensional. Sekarang aku tanyakan pada kalian, jika kalian tidak ada masalah mengapa kalian saling berlari satu sama lain? Kenapa kaliantidak mau dipertemukan dalam sebuah jalur yang sama? Bukankah ini sudah membuktikan bahwa ada kesenjangan antara kenyataan dan harapan (masalah)?

Aku sedih melihat kaliah, kawan. Aku sedih. Dan lebih sedih lagi aku tidak bisa mengakurkan kalian. Esok hari, siang nanti, aku sudah melihat kalian dari dua kubu datang dan menyalahkanku. Dan dengan hormat, akan aku terima itu. Akan tetapi, izinkan saya dengan rasionalitas tanpa perasaan ini berbicara pedas pada kalian. Dan sekarang saya sedang bersiap. Karena saya tahu kalian akan menyangkal dan antipati pada saya. Dan saya pun sesungguhnya malu mengatakannya karena yang bermasalah ini kalian. Saya bisa dikatakan sebgai tumbal perpecahan kalian itu. Tapi saya menerimanya karena saya ingin melihat semuanya. Tapi sesungguhnya bukan ini yang aku harapkan dapat lihat dari kalian. Kemana kalian yang dulu sangat menyenangkan dan terintegrasi itu? Aku merindukannya dan kini tak lagi aku temukan disini, saat ini.

7-4-2012

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA