Cukup! Aku Termenung. Bimbing Aku Ya Rabbi

“Jika harus pupus, pupuslah! Jika harus hancur, berkepinglah!”
                              Kata-kata Sang dalam naskah teater favoritku itu mungkin adalah representatif apa yang sedang aku rasakan saat ini.
***
                              Malam tadi, aku mendengarkan tausiyah dari Ustad Salim A. Fillah. Dalam kajian beliau, aku merasakan sebuah getaran yang menohok sambil merebahkan badan di kasur.
“Jangan sampai sebagai murrobi atau mutarrobi kita datang ke halaqah dengan energi-energi sisa. Ini akan berpengaruh dengan apa yang kita tangkap saat halaqah.”

                              Astaghfirullah. Aku merasa tersindir dengannya. Ditengah ramainya hal yang kukerjakan dan tidak membawa hasil yang maksimal, aku merasa bersalah dengan semua yang aku lakukan itu. Jangan-jangan aku gagal karena aku hanya menggunakan energi-energi sisa seperti yang dikatakan Ustad Salim A. Fillah? Bisa jadi, bukan?
***

                              Pagi ini firasatku teramat kuat pada mata kuliah Manajemen Sumber Daya Manusia yang akan dilaksanakan pukul 07.30 WIB. Aku menangkap sinyal bahwa akan ada UTS hari ini.
                              Wajahku pias di cermin. Tubuhku lemas. Aku menahan rasa sakit dengan dzikir cukup keras tadi pagi karena tidak tertahankan. Di satu sisi aku ingin datang tepat waktu. Namun di sisi lain, hampir tidak bisa digerakkan badan ini. Innalillahi.
                              Alhasil, aku datang terlambat. Dan itu bisa aku bilang sudah yang paling maksimal yang aku bisa usahakan. Dan ternyata, tebakanku benar. Dan untuk anak kelas bisa dibilang itu adalah UTS mendadak. Dan pagi-pagi aku harus ‘memakan’ UTS bersifat buka buku dengan tajuk “Reformasi di Universitas Indonesia”. Ini juga percuma buka buku. Soal yang ditampilkan sebagai jurusan Manajemen Sumber Daya manusia adalah kasus dunia nyata yang bukan hanya harus dianalisis dari sisi teori tetapi juga kemungkinan praktik di lapangan.
                              Hal yang ditampilkan merupakan hal yang menarik bagiku. Tentang bagaimana perubahan kultur dan budaya dalam suatu lembaga. Dan aku semakin yakin dengan anggapan bahwa orang yang menganggap sepele atau mentiadakan sebuah aspek dari kultur sesungguhnya tidak mengetahui apa-apa. Dan juga tentunya tidak dapat menemukan esensid ari sebuah masalah. Karena pada hakikatnya semua bersumber dari kultur. Jika kultur salah, maka salahlah semua.
                              Karena kekacauan pikiran pagi ini, aku tidak membawa pena. Aku mengerjakannya dengan spidol yang kebetulan berwarna hitam dengan badan yang panas dingin. Toh didalam soal UTS tidak disebutkan tidak boleh mengenakan spidol, bukan? Maka dengan menyingkirkan ragu dibandingkan harus tengok kiri-kanan, aku mengerjakan UTS dengan spidol yang ada dalam tas. Dalam waktu 30 menit, aku selesai. Padahal waktu yang diberikan 60 menit. Dan aku terlambat sekitar 15 menit.
                              Sisa-sisa waktu aku menerawang jauh keluar jendela dan berkata-kata dalam hati. Memang jurusan yang aku ambil ini terkesan mudah. Padahal tidak. Begitu pula dalam pelajaran. Secara teori, jurusanku ini cukup mudah mendapat nilai bagus walaupun tidak demikian nyatanya. Dan secara implementasi? Nanti dulu. Anda bisa jago teori. Tapi jangan harap dengan praktik.
                              Masalahku mengabur ke permukaan. Aku mentransformasi pelajaran-pelajaran yang aku dapatkan dalam lembaga-lembaga yang aku ikuti. Aku mencoba hampir semua teori motivasi. Juga mencoba teori strategi dan juga gaya kepemimpinan untuk mengembalikan atau tepatnya membangun kembali sebuah tradisi yang telah mati. Hasilnya? Nol besar. Dan aku sangat sedih dengan itu.

***
                              Karena semalam ditengah mendengarkan tausiyah aku tertidur, aku belum mengerjakan satupun dari tugas kuliah hari itu. Lepas dari UTS, aku dan kawan-kawan menuju mushala untuk suatu keperluan dilanjutkan mengerjakan tugas-tugas. Dengan bodohnya, aku meminjam apa yang bisa dipinjam saking aku lupa membenahi tas. Hanya terngiang rasa sakit tadi pagi.
                              Meskipun begitu, aku cukup terkaget-kaget dengan diriku yang semangat hari ini. Entah mengapa. Mungkin karena tarbiyahku yang macet selama tiga minggu, tiga bulan tidak dapat ikut kajian, atau mungkin karena tarbiyah dzatiyahku untuk membaca buku islami sudah kendur karena dihabiskan untuk lembaga ammah? Ah, berharganya waktu luang.
                              Dengan gila-gilaan aku mengerjakan semua tugas dari dosen yang tidak masuk akal waktu dan caranya.
                              Kemudian, masuklah waktu untuk shalat ashar berjama’ah. Dan aku menangkap sesosok perempuan yang cantik sekali menurut versiku. Akhwat cantik, manis, anggun, berhijab rapat. Dengan khimar yang bergelayut dari ujung rambut hingga ujung kaki. Baju gamis tebal dan segala yang berwarna hitam. Anggun.
                              Aku tidak melepaskan pandangan selama bermenit-menit dari perempuan itu. Kawan-kawanku hapal dengan wajahku itu. Wajah terpesonaku itu memang terkhusus pada perempuan-perempuan shalihah yang begitu memikat hatiku dan membuatku ingin seperti mereka. ‘Kapan ya?’ ujarku dalam hati.
                              Aku dan kawan-kawan seorganisasi datang ke sekretariat guna rapat internal. Dan disana masya Allah hatiku senang luar biasa. Mengapa? Karena lebih dari tiga bulan aku berada di lembaga ammah dan aku tidak bersama mereka. Selama tiga bulan itu pula aku tidak bersama ikhwah dengan intens.
                              Alhasil, aku sangat manja dengan mereka saat rapat. Tidak pas memang. Tapi apa boleh buat? Itu refleks yang diluar kendaliku. Sampai-sampai aku dikatakan autis oleh mereka. Senang dan bahagia ya Allah.
                              Kemudian ditengah rasa bahagiaku itu, seseorang mengatakan, “Afwan, ukh ... tidak bisa hadir. Dia multi amanah. Dia di ..., ..., dan di .... Jadi maklumkan jika dia sulit dihubungi.” Adapula yang mengatakan, “Ana melihat akh ... dan akh ... serta para ... itu bekerja keras untuk acara ini. Jangan hanya mementingkan departemen antum saja...”
                              Ah, menohok. Tapi aku tidak mungkin langsung menjelaskannya lewat ekspresiku yang langsung berubah dari ceria menjadi sedih. Orang akan bingung. Aku pun berusaha mempertahankan keceriaan itu di wajahku. ‘Jangan sedih sekarang, Prim. Nikmati apa yang ada sekarang. Nikmati kebersamaanmu dengan mereka. Besok belum tentu bisa,’ ujarku sendiri dalam hati.
Berbeda sekali dengan lembaga ammah, disini pukul 17.00 WIB para akhwat sudah meminta pulang dengan gelisah. Sementara di ammah, jika aku tidak mendesak kami bisa pulang jam 19.00 WIB. Berbeda sekali.
                              Didalam angkutan amum barulah aku lepaskan kesedihanku. Semua terasa serba abu-abau. Serba buram dan sedih. ‘Afwan ya akh ..., ukh .... Ana mendzalimi kalian.’ Begituah kira-kira bisikku dalam hati.
                              Aku kemudian sampai di rumah selepas adzan magrib dan buru-buru menyiapkan diri untuk shalat magrib. Sambil menunggu isya’ datang menjelang, aku membaca ayat suci-Nya dan tertambat pada potongan kalimat Arab yang berbunyi, “Laa tahzan innallaha ma’anaa.”
                              Aku terkesiap dan berhenti di kalimat itu. Dan kebetulan pula ada tajwid boleh berhenti atau lanjut. Karena tanggung untuk sampai satu halaman, aku melajutkan sampai selesai.
                              Itulah Surat at-Taubah ayat 40.
“Jika kamu menolongnya (Muhammad), sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir mengusirnya (dari Mekah); sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, ketika itu dia berkata kepada sahabatnya, “Janganlah engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.” Maka Allah menurunkan ketenangan kepadanya (Muhammad) dan membantu dengan bala tentara (malaikat-malaikat) yang tidak terlihat olehmu, dan Dia menjadikan seruan orang-orang kafir itu rendah. Dan firman Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.”

                              Aku kembali membaca potongan kalimat tadi,
“Laa tahzan innallaha ma’anaa.”
“Janganlah engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.”
                              Aku sudah membaca kata-kata ini puluhan kali di status Facebook, literatur, juga tausiyah. Tapi entah mengapa, kali ini potongan kalimat itu sedemikian membuat hatiku berguncang hebat.
                              Seolah-oleh ada seseorang yang mengelus ubun-ubun dan merangkulku hangat sambil mengatakan, “Sabar, Prima. Kamu bisa dan mampu. Jangan bersedih dengan ketidakmaksimalanmu itu. Ini adalah jalanmu dan kamu harus terima itu. Karena kamu hanya satu di dunia ini. Ini jalanmu. Kamu tidak pernah sendiri. Karena Allah selalu ada untukmu. Membantumu.
                              Bukannya aku tenang dengan suara-suara delusi itu, aku justru menangis, sesak. Dan tepat saat aku mulai menangis, kumandang adzan isya’ datang di Bandar Lampung. Bertambahlah kesedihan itu tumpuk menumpuk. Akan tetapi, cukup isak itu aku yang dengar.
                              ‘Ya Rabbi... Apa yang aku lakukan? Engkau selalu ada saat aku sedih. Namun dimana aku saat harus menolong agama-Mu? Ya Rabbi... Apa yang telah aku lakukan? Aku membuat kawan-kawan seperjuanganku di kampus, keluargaku terbengkalai demi keluargaku yang lain. Ya Rabbi, apa yang aku lakukan? Aku membiarkan mereka menopang beban yang tidak seharusnya. Beban yang seharusnya aku ikut pikul. Ya Rabbi... Apa yang aku lakukan? Aku bahkan tidak ada waktu untuk mendengar sejenak keluh kesah sahabat kecilku itu. Ya Rabbi... Apa yang aku lakukan? Aku sama sekali tidak maksimal dimanapun. Akan tetapi, Engkau tidak membiarkanku memilih untuk meninggalkan semuanya. Engkau membuatku tidak bisa berpaling.’
                              Teringat bagaimana hawa nafsu yang aku analogikan dengan harimau raksasa itu bangkit dan mematahkan kerangkeng pertahananku itu. Bagaimana dia bangkit dengan hembusan nafas beratnya kemudian maju dan mencakar-cakar udara.
Dia tidak terkendali. Dan puncaknya adalah ketika suatu hari di bulan April. Ini menyedihkanku. Apa yang kulakukan? Perangai yang susah payah aku ubah, aku normalkan bangkit kembali. Ya Rabb...
                              Bagiku, ‘si pemilik interprestasi’, sang pemilik fakta, aku merasa tidak bersalah dengan apa yang aku lakukan. Bagiku itu manusiawai meninggalkan apa yang tidak menginginkan kita.
“Gue tahu lo marah. Tapi nggak pantes lo marah.”
“Pengecut.”

                              Demikian kalimat dan SMS orang-orang itu.
                              Pada kulminasi ini, aku sudah tidak bisa berpikir tenang. Mereka pantas berbicara apapun tentangku, itu hak mereka dan aku membiarkan mereka berargumen apapun. Aku punya kebenaran versiku sendiri dalam konteks situasi tersebut. Dan mereka juga punya.
                              Mereka bisa benar. Dan aku merasakan itu seolah-olah pertanda dari Allah untukku. Seolah-olah amanah yang tidak maksimal itu berbicara lewat mulut mereka. Dan aku semakin tersiksa dan berat.
                              Namun, Allah menghiburku lewat orang-orang lain,
“Ih, kok mereka bertindak demikian denganmu?”
“Gue setuju dengan lo, Prim. Orang-orang macam gitu tinggalin saja.”
“Tinggalin saja. Entar saja datangnya pas hari-H.”
                              Aku diperbolehkan untuk tidak perduli. Akan tetapi, tetap aku merasa tidak enak.
***

                              Aku pernah mengatakan, “Mbak, kok si ... tidak hadir sih?” Sebenarnya aku bukan menanyakan dimana tanggung jawab mereka. Akan tetapi, aku menanyakan keberadaan mereka dengan sesungguh-sungguhnya. Hanya saja, aku tidak ingin terkesan rindu sehingga menampilkan sedikit kesinisan.
                              “Mereka belum bisa hadir, Dik. Kemungkinan di agenda lainnya insya Allah.” Sedih mendengarnya. Karena ikatanku dengan mereka, para akhwat yang baik itu lebih dari sekadar sahabt. Entah mengapa.
                              “Ada waktunya, anti yang menjaga pos-pos da’wah. Dan ketika nanti anti tidak bisa, mereka yang akan menggantikan anti,” lanjut beliau. Ternyata hal tersebut terjadi kini. Selama tiga bulan ini. Aku menunaikan amanah di lembaga lain dan mereka yang menutupi kekuranganku.
                              Ketika aku mendengar mereka yang melakukan hal-hal luar biasa, aku sedih. Bukan maksudku berjaga di pos saat kalian berlibur adalah untuk kalian menjaga posku saat aku sibuk, kawan. Bukan. Dan itu semakin membuat sesak hatiku.
                              Hati macam apakah yang aku miliki ini? Jika hatiku yang dibolak-balikan oleh-Nya dapat ditampakkan, mungkin ia sudah tidak berbentuk, bernanah, menjijikan, dan penuh aib. Aku benci! Aku benci! Aku benci mendzalimi saudari-saudariku disini.
Bagaimana mungkin aku menginginkan memiliki hijab serapat perempuan itu? Ditambah visi-visi SMA-ku yang luar biasa. Akan bagaimana? Apakah akan terlaksana menutup wajah suatu hari nanti jika terus seperti ini?
                              Aku juga sedih, kawan. Sedih dengan mereka para perempuan yang mengenakan hijabnya asal-asalan. Dengan mudah mereka membuka hijabnya didepan umum dengan alasan takut khimarnya basah terkena air wudhu. Kalau tahu, aku sakit dan sedih melihatnya.
                              Aku juga ingin... sangat ingin untuk bisa fokus pada satu sampai tiga hal saja. Akan tetapi, sekuat apapun aku mencoba, aku tidak bisa. Sama seperti saat kawan-kawanku dahulu mengenakan rok mini, pacaran, dugem, dan sebagainya. Betapapun aku menginginkannya semua itu, aku tidak bisa. Pun jika aku melakukannya, ia tidak akan lama dan justru akan kucampakkan dengan rasa jijik yang nyata.
                              Visi-visi yang aku miliki untuk kedepan lebih dari sekadar untukku. Aku memiliki visi ini selain utama karena penunjang akhirat, aku ingin bermanfaat bagi orang lain. Ada pos-pos yang aku inginkan di masa depan jika umurku memadai. Membantu mereka yang bisa kubantu.
                              Aku tidak tahu, sungguh. Aku tidak tahu jalan manakah yang akan membawaku pada akhir yang diinginkan-Nya. Aku hanya mengambil apa yang bisa kuambil, ya Rabb. Terkadang telah aku tolak semua itu. Namun Engkau membuatku tidak ada pilihan lain selain menerimanya. Bimbing aku ya Rabbi...

Dibuat : 10-4-2012

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA