Isyarat Senja
Isyarat Senja Langit terbatuk dan meneteskan air matanya. Matahari mengantuk. Beberapa kali ia menutup tubir bibirnya dengan awan mendung; menunggu waktu tidur. Pepohonan menyerupa dalam kabut bingar di antara dua pelupuk hari. Manusia tua-muda, kakek-nenek, kakak-adik, dan suami-istri merapatkan tubuh dalam ringkukan jaket yang kusut masai. Selasar jalanan menjadi anggun karena berjingkat beberapa kali menghindari keruhnya debu yang terbasuh. Kendaraan berbulir peluh di lapangan parkir yang riuh karena suara jeritan peluit; lagi dan lagi. Hingga jam enam—kata jam tanganmu— hanya makan sore dan seteguk teh senja : terselip dalam bilah geligi pembicaraan kita. Kita berbicara tentang ekonomi, hukum, alam, gravitasi, aku-kamu, perjumpaan, dan perpisahan. Tanpa pernah kautahu bahwa aku memandangi sendu dalam sayup-sayup hampiran tempias lelampu kala itu. Kita hanya menangkupkan malu. Terkadang mendekatkan tubuh saat seiya sekata. Ter