Dua Akhwat yang Pertama

Jika ada yang bertanya siapa dua akhwat yang pertama memasuki hidupku, jawabannya adalah Umi Misda dan Umi Lia.

Dulu sewaktu TPA kami diajar Umi Misda. Beliau akhwat lembut berkulit hitam manis yang seingatku gemar mengenakan jilbab biru pucat. Dipertengahan jalan, datanglah Umi Lia. Dibandingkan Umi Misda, Umi Lia lebih diam dan tidak terlalu banyak bercanda dengan kami, anak muridnya. Tapi, jangan ditanya. Soal tahsin, hukum bacaan, dan lainnya beliau lebih dalam ilmunya dari Umi Misda. Seringkali beliau mengingatkan Umi Misda yang keliru.

Seperti cahaya dan bayangan, mereka memiliki karakter berbeda. Umi Lia lebih pendiam, ilmunya dalam, gaya bicaranya tegas, namun selalu lebih banyak tersenyum daripada Umi Misda. Umi Lia suka mengenakan jilbab putih dan bros perak. Aku ingat karena selama diajarnya, hanya beberapa kali jilbabnya selain putih. Kulitnya putih bersih.

Bila mengajar, Umi Misda mudah diajak bermain hingga seringkali beliau istighfar sambil tersenyum pada kami. Sebaliknya, aku langganan dimarahi Umi Lia. Umi Lia sedikit bunyi tahsin salah pasti diulang dari awal ayat. Iya kalau ayatnya pendek, kalau panjang?

Suatu ketika, aku membaca Al-Qur'an dan diganggu kawan sehingga salah antara izhar dan ikhfa'. Alhasil, Umi Lia berkata, "Kamu sudah tahu salah, ya jangan diikuti. Ini Al-Qur'an, Prima."

Entah mengapa, semua kata-kata mereka sudah banyak terlupa. Namun, kata-kata tadi sangat membekas sampai sekarang. Makanya aku secara otomatis takzim jika ada yang membaca Qur'an.

Beliau juga pernah menegur bercanda saat mengenakan jilbab tidak langsungku yang acak-acakan terjulur. Aku ingat sekali berdebat dengan mama karena jilbabnya harus diikat-ikat dan aku jadi susah bernapas. "Aduh, seksi amat sih?" kata Umi Lia. Aku hanya tersenyum.

Jika aku sekarang 20 tahun, maka mungkin mereka sekarang berusia 35-40 tahun. Seperti apa rupa mereka sekarang? Jika aku menghampiri dan memeluk mereka seperti aku pada akhwat lain, akankah mereka mengenalku?

Ingatanku tentang masa kecil sudah mulai mengeruh. Saat memutuskan tidak menengok masa lalu, maka aku menjadi buram. Umi, apakah kalian masih mengajar di sudut bumi dimanapun berada? Siapa laki-laki yang mendapati dua akhwat kesayanganku ini? Seperti apa anak kalian?

Jika ternyata kalian telah berpulang, dimana pusara kalian? Sudikah jika kita dipertemukan di surgaNya yang teduh tiada tara? Dua mujahidah yang cantik, kapan kita dipertemukan kembali?

Wednesday, February 8, 2012 at 10:33pm

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA