Bercermin

Add caption
Bertemu dan mengamati orang lain tanpa terlalu banyak bicara adalah ciri khasku yang seringkali orang lain "ketakutan" dengan hal tersebut. Belakangan ini aku ditunjukkan oleh Allah orang-orang yang dahulu tampil dihadapanku sebagai sesosok panutan.

Akan tetapi, penampakkan sosok mereka kali ini bukan lagi menjadi sebuah panutan yang membuatku menahan nafas karena aib-aib mereka telah ditunjukkan padaku dalam bentuk yang paling brutal. Kurang lebih seperti itu.



Keduanya seringkali berselisih dan menampakkannya padaku. Padahal, setelah aku melihatnya sekarang? Mereka sama saja. Melakukan kesalahan yang sama. Melakukan kritik yang sama. Melakukan kekejian yang sama.

Mereka mengatakan padaku satu sama lain munafik. Tapi mereka sama. Lalu, apa yang tersisa dari itu? Bisakah kalian berhenti menghujat dan mengintrospeksi diri kalian sendiri? Lihatlah masalah dan sikap kalian yang kalian anggap tidak penting itu. Bagiku itu penting, kawan. Itu asasi!

Kata mereka, aku terlalu rumit memikirkan suatu atau lain hal. Dan memang demikian.

Jika aku katakan bahwa yang aku lihat bukan suatu permasalahan yang berada di permukaan tapi yang mendasar, bagaimana? Apakah kalian percaya?

Kebanyakan dari mereka tidak percaya akan hal itu dan menganggap bahwa yang aku katakan hanyalah sekadar angin lalu. Mengetahui hal itu, aku terkadang tersinggung. Namun, aku sembunyikan sedalam-dalamnya.

Kasus 1

Dua orang lelaki mengatakan kearoganan satu sama lain. Bagi mereka itu adalah aib yang tidak sepantasnya dilakukan oleh seorang dengan kemampuan pengaruh yang sedemikian besar. Tapi nyatanya, masing-masing dari mereka melakukannya. Dan sedemikian banyak petunjuk yang diberikan kepada mereka bahwa mereka sama.

Pada artifisialnya, mereka mudah diberitahukan oleh orang lain. Akan tetapi, buktinya mereka tidak mau berubah dan tetap melakukan hal tersebut.

Mungkin, mereka telah menganggap bahwa diri mereka masing-masing lebih baik dari yang lain. Dari yang dibicarakan maksudnya.

Jika dilihat dari aku yang diluar mereka dapat dipahami bahwa mereka sama saja. Tentunya mereka tidak dapat melihatnya.

Kasus 2

Aku menghadapi orang-orang yang memintaku menjadi orang tengah (pemediasi). Dan seperti awal, mereka mengatakan orang yang lain itu salah.

Aku sebagai pemediasi melihatnya sebagai suatu kesamaan pola. Mereka masih sama-sama menyukai tempat itu. Tapi tidak ingin jika ada yang lain.

Bukankah kalian tega padaku memintaku sebagai tumbal.

Untuk kalian yang aku harapkan sebagai orang yang lebih baik.
Aku katakan ini.
Aku sangat cerewet dengan kelemahan kalian karena bagiku, aku adalah prototipe orang yang kacau.
Dan aku melihat keluarbiasaan kalian.
Maka dari itu, aku mau menjadi pemediasi dan aku mau menjadi pendengar setia.
Akan tetapi, aku juga manusia biasa yang punya titik jenuh.
Aku juga manusia biasa yang dikuasai arogansi tanpa sadar.
Aku punya rasa letih dan malu untuk terus mengatakan kelemahan kalian.

Kumohon, jangan buatku apatis dengan kalian.
Jangan buatku berhasil mengatakan TIDAK pada kalian.
Karena jika itu sudah terjadi, aku bisa menjadikan kalian orang asing.
Aku bisa menjadikan kalian sesuatu yang tidak ada kaitannya denganku.

Keapatisanku sekarang sudah mencapai taraf yang waspada.
Aku sudah mulai apatis dengan kalian.
Dan aku harap, kalian dapat mengerti ketiadaanku bersama kalian sekarang.
Karena aku sedang menata hatiku yang sakit.
Yang mulai figuritas.
Kukatakan...
Maaf...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA