Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu


wu wei, dan siapa nama aslimu

         
(Fragmen 1, Adegan 1)
(ada purnama. Ada ruang kosong, amat tipis dalam dirimu. Di dalamnya mineral dan tetumbuhan bergerak. Mungkin ke arah langit. Seperti perempuan, terbuka terhadap yang datang. Menerima yang hadir dengan syukur. Ia ingin berubah. Melakukan evolusi; dari mineral, ke tetumbuhan, ke hewan. Ia ingin sekali menjadi manusia. Dengan huruf M yang besar. Tanpa rasa salah ia menunggu. Memang kenangan ada berlintasan seperti lalu lintas penghujan dan kemarau. Ia merasa jadi tua dalam lalu lintas musim itu. Tapi, ia merasa tiada beban untuk menjadi seakan tua dalam lintasan musim itu. Ia wanita dengan gerak evolusi di rahimnya.  Ya, di perutnya telah tumbuh pertumbuhan. Ia mengandung seluruh sejarah. Ia ingin sekali melahirkan manusia. Mungkin ia sedang menunggu dirinya sendiri. Kelahirannya.)

Seseorang I
mungkin memang kau tak datang ke rumah ini. mungkin hujan renyai, bulan tak tandang. cuma salam daun gemetar terkulai di peraduan. dan binar berahi mengerjap. dan nadi dan detak jam mati dalam cawan yang abadi—menggaung di sela kursi, mawar plastik dan segelas kopi yang mulai basi. sampai ujung nafas tertatih, beringsut ke cemas, ke sampul buku tua yang terkelupas—
           
            kau dan cerlang bulan mungkin memang tak datang. mungkin hujan renyai.  mungkin kututup tirai


 
Seseorang II
 
Tentang tubuh yang tumbuh tanpa suara
pernah aku tiba dengan mata yang ingin merengkuh tubuhmu. Tapi kau mengelak dan membiarkan tafsir mataku menggelombang,Tanpa silsilah ayah dan ibu. Padahal amat kuingin sekarat yang nikmat ini. Sambil melihat tubuhmu menari, di geliat lampu lamat dan dengus maut yang kesumat. Walau tetap kau tak acuh padaku. Lupa pada temu di padang arafah dulu.

200 tahun kukhayalkan perjumpaan ini. Tanpa matahari—aku telanjang mendaki bumi, tanah, jejak, hasrat, basah di pangkal lidah, dan lubuk tempat nikmat melontar kita dari dekap harum surga. 200 tahun kukhayalkan tubuhmu lekat pada tubuhku. Pada jasadku yang kian merapuh, karena tak usai mengeja namamu, ayah, ibu, tuhan, dan (hantu!). 200 tahun kukhayalkan hanya untuk melihat jasadmu mengeras dan meledak menjadi kota-kota tanpa suara.

dan kini jasadmu menyusun percakapan, tentang tetangga sebelah yang telah membeli sejarah lain, lepas dari keluarga, kebun belakang rumah, dan sekolah. Aku termangu: membayangkan kau berceloteh tentang surga, nikmat pertama kita. Dan dalam laknat, tubuhku pun berkhianat. Dendamku mencair, mengalir, memenuhi jasadmu dengan peluru dan mesiu. Tubuhmu pun kian kacau. Bahasa tinggal sesal.

Tentang menunggu
(seseorang di taman. Tubuhnya adalah  keramik yang dibuat dari tanah liat kering. Ruhnya adalah api, tapi dingin. Di taman itu ia dibatasi oleh dinding dua musim yang mengurung dirinya; kemarau dan hujan, yang berwarna merah dan biru. Setiap ia bergerak, kedua musim itu menyentuhnya, sehingga atom-atom  yang menyusun keramik itu runtuh satu-persatu. Gemetar. Menjelma bunga-bunga. Di sekelilingnya—waktu membatu)

Seseorang I
kutunggu dan kau tak  menjemputku, padahal sudah kusiapkan; segelas teh, pisang goreng, dan sore remang yang kemarau bersama daun kuning gugur, pekarangan yang telanjang,

kami  bercakap-cakap “bahwa mungkin telah lengkap datang kemarau: dirimu, hujan yang angin, juga dinding yang batu”. perlahan, jalanan kosong tak berumah gerimis merantau terbang, dan jam hanya diam. asmara perlahan mengelupas wajah jadi air, dan jam jadi hampa.

 

Seseorang II
dan kini jasadmu menyusun percakapan, tentang tetangga sebelah yang telah membeli sejarah lain, lepas dari keluarga, kebun belakang rumah, dan sekolah. Aku termangu: membayangkan kau berceloteh tentang surga, nikmat pertama kita. Dan dalam laknat, tubuhku pun berkhianat. Dendamku mencair, mengalir, memenuhi jasadmu dengan peluru dan mesiu. Tubuhmu pun kian kacau. Bahasa tinggal sesal.
           
Seseorang I & II
200 tahun kukhayalkan perjumpaan ini. Tanpa matahari—aku telanjang mendaki bumi, tanah, jejak, hasrat, basah di pangkal lidah, dan lubuk tempat nikmat melontar kita dari dekap harum surga. 200 tahun kukhayalkan tubuhmu lekat pada tubuhku. Pada jasadku yang kian merapuh, karena tak usai mengeja namamu, ayah, ibu, tuhan, dan (hantu!). 200 tahun kukhayalkan hanya untuk melihat jasadmu mengeras dan meledak menjadi kota-kota tanpa suara.

Seseorang II
dan kini jasadmu menyusun percakapan, tentang tetangga sebelah yang telah membeli sejarah lain, lepas dari keluarga, kebun belakang rumah, dan sekolah. Aku termangu: membayangkan kau berceloteh tentang surga, nikmat pertama kita. Dan dalam laknat, tubuhku pun berkhianat. Dendamku mencair, mengalir, memenuhi jasadmu dengan peluru dan mesiu. Tubuhmu pun kian kacau. Bahasa tinggal sesal.
           








(fragmen 1, Adegan 2)
Dua orang melintas
Seseorang melintas. Membawa tiang penunjuk jalan.meletakkannya di sudut jalan itu. Kemudian diam memandang langit.
Dua orang melintas. Membawa koper. Ingin berjalan pulang?atau menanti yang datang? Mereka berhenti di bawah tiang penunjuk jalan itu.

Seseorang 1
“apa yang kau nantikan?”

Diam

“teman seperjalanan”

Seseorang 2
“mau pergi ke mana?”

Diam

Seseorang 1
“bukan pergi,  pulang. (diam) Aku tak pernah meninggalkan. (diam) Dan kau, di sini, apakah kau sedang meninggalkan?”

Seseorang 2
“tidak. Kami telah menyusun rencana.”

Seseorang 1
“Aku akan pulang. Aku juga telah menyusun jalan menuju rumahku dari pecahan-pecahan cuaca. Mudah-mudahan masih ada sumur bapak di pekarangan belakang rumahku itu. Sumur untuk membasuh masa lalu”

Seseorang 2
“dia berjanji akan datang ke sini.”

Seseorang 1
“dulu, setiap pagi dan petang, aku menimba air di sumur itu. Aku dan adik-adikku mandi, minum, dan mencuci menggunakan air itu. air yang telah puluhan tahun menemani bapakku tak pernah mengeluh betapa ia luluh diserap tubuh kami”

Seseorang 2
“untuk menyiapkan apa yang perlu disiapkan. Untuk memastikan apa yang perlu dipastikan”

Seseorang 1
“mungkin ia tahu di dalam tubuh itu ia akan berkembang biak melahirkan sumur-sumur baru. yang kelak juga akan kau timba untuk mencuci, minum,  atau mandi anak-anakmu.”

Seseorang 2
“menyempatkan yang biasanya terlupakan.”

Seseorang 1
“suatu waktu, tali timba yang bergelanyut di sumur  hampir putus. Segera aku mencari tali baru untuk mengganti tali timba yang telah rapuh itu. tapi, kata bapak, cukup kusambung saja dengan kawat,  maka ia akan kembali kuat. Jangan pernah kau ganti tali timbaku dengan tali baru, ujar bapak. Biar tetap jejakku di tali itu. Biar terikat tali itu ke dirimu.”

Seseorang 2
“ kami pernah melihat cakrawala bersama. Dan ingin sekali lagi memandangnya dari jendela rumah. Rumah yang mungkin akan kami bangun sendiri. Rumah yang menyusun dirinya sendiri.”

Seseorang 1
pernah aku ingin melihat gambar wajahku di bayang sumur itu, tapi ia amat dalam. hingga yang kulihat hanya bayang hitam. “takkan pernah dapat kau lihat wajahmu di wajahku.jangan gegabah kau ukur kedalamanku,” ujar sumur bapak kepadaku.”

Seseorang 2
“tapi, mengapa selalu saja muncul keraguan terhadap apa-apa yang pernah terucapkan, dijanjikan. Seakan cuaca tak hendak  sendiri dalam pelarian. Berubah-ubah. Melamurkan apa yang pernah dibersihkan. Menggugat setia untuk menjadi lelah.”  

Seseorang 1
“terkadang aku lelah menimba air dari sumur itu. namun bak mandi dalam tubuhku tak juga jemu ingin menyusu. jangan-jangan tubuhku selalu kemarau, sehingga berapa puluh tahun sekalipun tetap aku harus menimba air dari sumur bapakku.”

Seseorang 2
“dia akan datang ke sini. Kami akan melihat cakrawala bersama. Dan cahaya—akan seperti tarian naga. Membuat masa depan dari serpihan-serpihan senja.”

Seseorang 1
“benar dia akan datang? (diam) apakah telah lengkap rencana? (diam)

Seseorang 2 seperti memastikan sesuatu. Seperti ada yang melintas di  ujung jalan itu.

Seseorang 2
“benar kau akan pulang? (diam) untuk apa? (diam)

Seseorang 1 seperti melihat masa lalu .

Seseorang 1
“aku ingin berenang di sungai bapak. (diam) Dan melihat batang-batang padi tumbuh seperti  rumah-rumah kayu di sepanjang jalan itu. Ada senja yang terbingkai di daun jendela. (diam). Mungkin aku ingin melihat wajahku sendiri. Dan kau—untuk apa menunggu?”

(diam) mungkin aku pun ingin melihat wajahku sendiri.”  

(Lampu 3 Fade out dan Lampu 4 fade in)


(Fragmen 2, Adegan 1)
Orang-orang sibuk menyusun pagar dari kenangan dan harapan. Tapi pagar itu mulai terbakar. Dan asapnya menjadi selimut di ranjang keluarga.

Tentang bangku kayu dan siapa nama aslimu

a)   
A
sayang aku tak  sempat bertanya  siapa nama aslimu
kita bertemu di cuaca beku, berjabat tangan, bertukar alamat memperlihatkan potret diri masing-masing--seperti tak ingin jadi palsu. kita bercengkerama di pemakaman di sebelah taman, kutunjukkan potret ayahku-- tekun, di beku bangku kayu, menjahit pakaian ibu. sedang kau mengurai lapuk serpih salju,lapangan rumput, kawanan kupu, dan kalimat-kalimat yang telah jadi yatim dalam buku harian.

lenguh kita hilang di telan kenangan, tubuh mencair membasahi dedaunan menguap, membentuk sehimpun asap ungu, berikut bayang panjang di kolam tengah taman

seandainya dirimu kekal di situ. di bangku kayu,  di huruf buku, di pose lelah lelaki yang memegang payung di sisi pintu sebuah binatu. tapi, mungkin kenangan pun palsu hingga sulit dibayangkan oleh kepala yang beku

“mungkin kita dapat tamasya bersama?” katamu kita bisa mainkan drama yang dikarang ayah sebagai pembunuh waktu. kau bisa menulisi kembali buku harian dan aku menyiram bunga plastik di sisi pagar halaman rumah-rumahan

seperti dulu,” kataku. sebelum kau berkenalan denganku. sebelum ada kota lain, di tengah cuaca palsu di bangku kayu, di pemakaman itu.
(diam)

“mungkin kita disusun oleh sejumput cahaya yang sama.  Mungkin kita disusun oleh rencana. Oleh silaturahmi air dan api. Kaca dan cahaya. Lalu, mengapa tak kunjung kau memahamiku? Mengapa tak juga genap tubuhmu di tubuhku?”

B
“aku tak tahu. (diam) sampai sekarang aku tak ingin tahu.”

A
“bukankah kita disusun oleh siasat yang sama. Oleh semacam siasat cerdas yang mengalir di pembuluh darah. Oleh sebersit sunyi yang ingin memecahkan dirinya sendiri. Lalu mengapa tak kulihat bayang wajahku di bening matamu?”

B
“entahlah. (diam) aku tak menentu.”



A
“bukankah kita dilahirkan oleh sebentuk hasrat, yang ingin melarikan diri dari rasa pedih, dari perangkap ribuan tahun perjumpaan dan perpisahan. Bukankah kita ingin dikenal, ingin dikenang. Tapi, mengapa tak juga aku kau simpan?”

B
“pernah. (diam). aku tak tahu.”

A
“bukankah pernah ada sebuah khasanah, harta yang tersembunyi. Kita ingin sekali menjadi buku yang khusuk dibaca. bahkan oleh dendam. Tapi, mengapa untuk mengingat pun kau enggan ?”

B
“aku tak ingin mengingat.”

A
“lalu, apa makna harapan? Lengang jalan yang jauh di depan. Apa makna rencana?
 coba kau hitung, berapa riak yang telah kita tinggalkan? Berapa ombak yang telah kau  tenggelamkan?”

(Diam)

(Di dadamu suara gersang gurun dan lengang kota yang mati. Ada daun pintu yang menutup dan terbuka berulang kali. Ada detak langkah yang menjadi ragu-ragu. Ketika ingin memasukimu. Menjauhlah! Lupakan dada hampa ini. Sebentar lagi malam. Wajahmu adalah lukisan pucat seorang penunggu peti jenazah.)

B
“aku hanya ingin menjadi pasti. (diam) aku hanya ingin kau berikan peta ketika kita memasuki kota. Memang pernah kau janjikan aku lirih suara di ujung jembatan itu. Tapi, kemudian aku menjadi tahu, tak ada yang sederhana dari rencana. Harapan, mungkin cuma igau saat tidur siang.”

(diam)

A
“aku ingin menikahmu.”

            (diam)
            A
            “apa kabar ayahmu?”

            B         
            “baik. (diam) Mungkin.”
           
A
“ibumu?”
           
            B
“baik. (diam) Mungkin”
           
            A
            “adik-adik?”

            B
            “baik. (diam) Mungkin.”
           
            A
            “tidak kau lihat cahaya?”

            B
            “tidak. (diam) cuma malam.”
           
            A
            “aku mencintaimu”
           
            B
            “tidak. (diam) kita hanya berusaha mencintai diri sendiri.”


Seperti suara yang menyela dari jauh:
 “ kau tidak pernah bisa mencintai diri sendiri. Kau adalah sekumpulan ingatan dari orang-orang. Kau adalah seikat kenangan yang tak pernah berjalan sendirian, menempuh malam, hujan. Kau hanya bisa membayangkan bahwa kau ada. Tapi, lihat, ketika sekuntum bunga runtuh, tak sanggup kau mendengarnya.”





















(Fragmen 2, Adegan 2)

(dingin yang sangat merambat dari kedua tapak kaki. Sekerumun semut bergerak  membawa butiran-butiran es di jalur pembuluh darah. Memasuki perut dan berputar-putar.

Mulutmu terbuka—ada lorong yang sepi dan panjang di dalamnya. Matamu terbuka—ada lorong yang gelap dan panjang di dalamnya. Lengan dan jemarimu bergetar, seperti ranting akasia kering dan putih.
 
Dari suaramu, berjatuhan pecahan kaca) 

            b)
Seseorang
 “ berilah aku kesempatan, duhai, untuk pulang. Telah kususur malam telah kutebus dendam, tapi mengapa rumah tetap lepas dari jangkau.  berulangkali telah aku kembali  ke kota ini, namun tak kunjung kujumpai, rumah yang dulu kudiami. Padahal peta lama masih jelas terbaca. Berikut nama-nama jalan, remang lampu taman, dan tanda merah di perempatan. Tapi, di manakah engkau gerangan, rumah—tempat tubuh pernah tergenang?

cuaca masih sama, ada debu-debu yang menyusun rapih sisa hujan di kisi-kisi jendela kaca, bunga bungur yang gugur di undakan jalan, serta teguran lirih masa silam di ujung jembatan

kudatangi lagi rumah yang pintunya menutup diri bak perawan, kudatangi juga kawan-kawan, bekas pacar, dan bangku panjang di pinggir pantai. Tapi cuma khusuk pesisir, gerak pelan perahu dan pertokoan kaku menjawabku”


Mengapa aku selalu gagal memimpikanmu

Seseorang
mengapa aku selalu gagal memimpikanmu. Padahal telah banyak doa dan dosa yang kusiapkan sebagai bekal perjumpaan. Pernah, dulu, kita bertemu. Engkau sekilas melihatku, dan aku melihat cita-cita.

Sejak itu, keinginan untuk berjumpa menjadi semacam upacara untuk membunuh diri sendiri. Tiada lain yang kujumpai dari perjalanan ini, selain sekilas tatapanmu itu. Tatapan yang menjadi kekal. Tatapan yang menjadi peta bagi perjalanan.






(Fragmen 3)

Tentang persepsi
(seseorang memandang langit dengan mulut terbuka. Langit merah menyala. Matanya biru. Tenggorokannya sepat, kering, penuh dengan kenangan yang berteriak-teriak. Leher dan matanya mengejang seperti batang pohon dengan ribuan tahun perjumpaan dan perpisahan. Engkau pernah ada di situ. Engkau pernah ada di situ. Berkemaslah. Hari telah senja. Sebentar lagi.....) 

Seseorang di bawah tangga. Tangga itu menuju langit.

“hoiiii....apa kabar ayahmu (diam)  apa kabar ibumu...(diam) ....aku ingin menjemput cahaya (diam).”.

sepasang manusia melintas.

“ada apa? Sedang jatuh cinta. Atau mencari silsilah”

“aku sedang mencari pintu. Aku ingin membuka jendela”

“untuk apa?”

“aku ingin memandang langit”

“untuk apa?”

“menghapus ingatan”

“apa warna langit menurutmu?”

“bergantung masa lalu”

“masa lalu?”

“ya. Yang ada di dalam mataku.”

“demikianlah...taman-taman itu telah begitu lama menyimpan ibumu. Seperti keranda, taman itu telah pula memerangkap kita ke dalam prasangka. Waktu, seperti lintasan-lintasan cuaca, tak ingin menetap. Dan di sini—engkau terus saja menduga-duga. Hari ini aku masih bersamamu. Besok—entah.”

“aku ingin sekali menulis diriku sendiri.’ 

“lupakan, maka engkau akan menemukan!”

Sepasang manusia masuk ke kegelapan

Seseorang

kau ucap namaku
lalu namaku, melarut ke dirimu
kuucap namamu
lalu namamu, melesap ke diriku

kita lupa nama
lupa wajah, penuh luka.
nama kita lupa
atau luka, tanpa nama.
lalu di mana wajah
bila lupa, pada luka.

kau ucap nama lupa
kuucap nama luka.
wajah yang lupa nama
wajah yang lupa luka.

Seseorang

“ada jam yang kutemukan tergeletak di taman. Jarum-jarumnya masih menancap di ceruk jantung ini. Sedang detaknya mengaung. Seperti membawa lintasan-lintasan  waktu yang mulai retak. Apakah kau tahu bagaimana cara menambal waktu, yang telah mulai retak itu? Yang tergeletak  di taman dan membangun sebuah rumah bagi ketakpastian dan harapan.

Seseorang

Hujan turun. Dan seperti garam—jam itu melarut ke setiap unsur dalam diriku. Aku tak tahu lagi, apakah jam itu pernah pula singgah di tanganmu. Tangan yang pernah menggenggam selembar peta. Peta yang menunjukkan jalan ke arah rumah.”

Seseorang
“ aku ingin berdiri di perbatasan. Aku ingin mencatat setiap perlintasan. “

Seseorang
“ catatlah. Tapi jangan kau tunggu”

Seseorang
“ aku inginkan kekal. Keabadian”

Seseorang
“tak ada yang abadi di perbatasan itu. Setiap yang lewat memang membawa rumahnya masing-masing. Rumah yang rapuh. Yang pagarnya mulai terbakar.” 

Seseorang
“ jangan kau bakar rumah itu. Biarkan saja. Ia akan karam di larut waktu.”

Seseorang
“ tapi aku tak ingin menunggu!”
(Tiba ada gelombang seperti menghempas.  Angin menerpa, lurus melesat seperti anak panah, mengibas, daun-daun yang diterpanya terhempas.)
         
Seseorang
“ada apa?”

Seseorang
“ada jam yang kutemukan tergeletak di taman. Jarum-jarumnya masih menancap di ceruk jantung ini. Sedang detaknya mengaung. Seperti membawa lintasan-lintasan  waktu yang mulai retak. Apakah kau tahu bagaimana cara menambal waktu, yang telah mulai retak itu?

Seseorang
“ada jam yang kutemukan tergeletak di taman. Jarum-jarumnya masih menancap di ceruk jantung ini. Sedang detaknya mengaung. Seperti membawa lintasan-lintasan  waktu yang mulai retak. Apakah kau tahu bagaimana cara menambal waktu, yang telah mulai retak itu?

(Fragmen 4)

            Tentang tumbuh

            Seseorang
“kini aku akan abadi, di sini, saat ini. Tak ada lagi perjalanan untuk menempuh waktu. (diam) tahun-tahun berlalu. Cuaca berulang-ulang melahirkan kemarau dan penghujan. Cuaca yang bahagia.

Butiran-butiran air memercik ke kaca jendela. Seperti ingin memenuhi setiap lekuk ruang dengan rasa dingin dan cahaya. Ah, mengapa tiba-tiba aku seperti melihat wajahmu, pada embun yang mulai menguap di kaca jendela itu.

Kini aku akan abadi, di sini, saat ini. Bersama cahaya yang juga abadi. Cahaya yang sejak semula telah ada di lubuk tubuh ini. Di ceruk jantung ini.

Sebenarnya kita akan menjadi abadi bersama. Tapi, kau tak hendak sabar menyentuhku. Kau tak hendak yakin menungguku, untuk mempersiapkan apa yang perlu kusiapkan, untuk tak menunda apa yang mesti dilayarkan.

Tapi tak apa. Melangkahlah. Aku ingin istirah sejenak, dari perangkap waktu dan rencana. Yang aku tahu, dulu aku pernah bahagia. Mengumpulkan debu-debu, dari ribuan kemarau yang indah. Mungkin memang kita tak sempat bersentuhan. Mungkin penantian ingin menjadi kekal.

Kini kau akan menjadi abadi. Kini kau akan abadi. Kini kau abadi.

            Juni 2007
            ari pahala hutabarat

Komentar

Postingan populer dari blog ini

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA