20 (Chapter 1)

                           Waktu telah berganti dari tanggal 30 Maret menjadi 31 Maret. Aku yang tadinya hanya mengurusi formulir pendaftaran sebuah seminar tingkat nasional beralih membuka sebuah jejaring sosial yang bisa dibilang terbesar sedunia saat ini. Langsung saja status-status yang bisa dibilang ‘panas’ mengenai isu-isu kenaikan harga bahan bakar minyak memenuhi berandaku.
                          Aku tertarik untuk turut andil membuat status. Kala itu, aku berpikir, ‘Ah, sudah tengah malam begini, apa iya sidang paripurna masih dilangsungkan?’ Aku mengetes pikiranku dengan menghidupkan televisi rumah yang sedari tadi mati suri memperhatikan. Ternyata benar. Masih juga berlangsung.
                          Aku memperhatikan para pemimpin bangsa ini keluar dari ruangan satu-persatu. Menykasikan juga perdebatan mengenai pasal dan ayat dalam undang-undang (mungkin) yang sekilas terdengar sama saja. Kemudian, aku terkesiap melihat mereka saling berteriak, saling berdebat, saling meyakinkan penonton Indonesia mengenai komitmen mereka membela rakyat.
                          Sepintas, aku teringat mengenai terminal Rajabasa. Berisik. Tapi, aku masih juga memperhatikan mereka menderukan pasal dan ayat. Melihat saikap politik mereka satu-persatu.
                          Aku lanjutkan dengan melihat sebuah diskusi politik di sebuah stasiun televisi. Ya, masih di stasiun televisi yang juga sama. Ternyata, isi dari pasal dan ayat-ayat yang mereka perdebatkan itu memiliki makna yang jauh dari berbeda. Jauh dari aspirasi. Ingatanku melayang pada kitab suciku. Disebut suci karena tidak satu pun manusia yang dapat mengubahnya, menggantinya betapapun ia dianggap suci oleh khalayak manusia. Bayangkan saja jika kitab suci itu dapat diubah. Tuhan... Pasti seperti itulah perdebatan yang akan terjadi.
                          Letih menunggu, aku tertidur dan berharap waktu subuh akan menyapa kelopak mataku yang sayu ini. Aku bersiap. Ya, bersiap. Seperti dahulu, setiap waktu ulang tahunku datang, pasti selang beberapa saat ujian akan datang. Aku berharap tidak ada yang mengingat hari ulang tahunku. Karena aku tahu, siapa diantara lingkunganku yang akan lupa aku berulang tahun. Orang terdekatku yang akan lupa. Jadi, aku tidak lagi berharap.
                          Sebelum tidur, ternyata sahabat dan beberapa kawan telah memenuhi beranda jejaring sosialku. ‘Ah, mereka ini,’ aku tersenyum. Dan kemudian, aku terbenam ke alam mimpi.
Selepas subuh dan beberapa kegiatan yang aku lakukan, aku duduk dan mendengar seseorang datamg dari pintu depan. Memanggil namaku. “Ayang!”
                          Aku datang menghampiri dan membuka pintu rumah. Aku menemukan salah seorang tanteku yang baru saja mengenakan hijab datang dan masuk membawa kabar buruk. “Datuk terkena penyakit yang sama dengan ayah (kanker paru-paru),” ucapnya. Dan aku memasang wajah yang dingin guna menyimpan rasa sakit luar biasa itu. Kehilangan, perpisahan, dan merasai kesendirian.
                          Segera aku menghadiri acara organisasi kampus walaupun ini hari Sabtu. Aku datang terlambat karena menunggu kepulangan tanteku itu. Sambil lalu, aku mendengarkan materi-materi mengenai administrasi organisasi yang diberikan pada adik-adik tingkatku. Sama dengan apa yang diberikan padaku saat masih menjadi mahasiswa baru tahun lalu. ‘ah, waktu sedemikian cepat,’ gumamku dalam hari.
                          Waktu telah menunjukkan jam 12 siang. Dan aku berpamitan beralih pada agenda selanjutnya. Aku pergi ke SMAN 9 untuk melatih adik tingkatku. Jalanan begitu lenggang dan jiwaku melayang memikirkan kata-kata tanteku tadi malam.
                          Sesampainya disana, entah berapa kali aku harus menunggu dibawah beringin ini. Mereka belum datang semua (lagi). Aku terduduk bosan selama hampir setengah jam. Lalu...
                          “Mbak Prima, ya? Aku kira siapa,” kata suara dibalik tubuh beringin yang tinggi itu tiba-tiba. “Oddie tho’,” ucapku. Oddie adalah adik tingkatku dua tingkat dari angkatanku. Segera saja aku berbicara padanya. Bukan aku menafikkan bahwa pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang aku pelajari saat fiqh interaksi. Akan tetapi, karena disini ramai. Jadi, aku tidak berdua saja.
                          “Aku kira tadi mbak-mbak ROHIS pakai jilbab mau BBQ,”,”Oh, gitu. Tidak salah juga sih. Aku anak ROIS juga di kampus sekarang. Dan ada kemungkinan aku masuk ke sekolah pertengahan tahun ini,” jelasku.
                          Sedikit banyak memang paradoksial apa yang aku ambil. Sekarang dalam lembaga keagamaan dan seni secara bersamaan. Dunia memang gila. Tapi Allah telah menjadikanku dalam tempat ini. Dan aku telah berkali-kali menolak. Selain takdir, rasanya tidak ada penjelasan lain kenapa aku tidak bisa kabur dari hal-hal ini.
                          “Mau masuk mana kuliah?” tanyaku pada Oddie. Namanya juga akan UN. Apalagi yang pantas aku tanyakan? “Aku mau masuk ISI Jogja, Mbak.” Aku terkesiap dan rasanya luka lama dalam hatiku robek kembali. Aku sontak menutup mulut, ternganga. “Ya Allah, dek. Aku dulu sangat ingin masuk kesana.”
                          Betapa beruntungnya adik tingkatku. Dia bisa menjangkau keinginannya untuk profesional dalam bidang seni.
                          Dan tiba-tiba, masuklah SMS dalam telepon genggamku. Seorang sahabat SMP menghubungiku mengucapkan selamat ulang tahun dan mengatakan bahwa mereka berdua telah berada didepan rumahku selama satu jam. Oleh karena itu, aku terbelalak. ‘Wah, kacau.’
                          Aku meminta mereka menghampiriku di SMAN 9. Langsung saja dalam sekejap mereka datang tanpa pakai permisi. Dengan hangat mereka memeluk tubuhku dan mengucapkan selamat ulang tahun. Lalu, mereka berkata, “Kitaorang mau nraktir lo, Budi. Jadi, lo yang pilih tempat makannya, kitaorang yang bayarin.” Ah, aku jadi galau dibuatnya. Kalau sudah ditentukan, aku bisa minta macam-macam. Tapi aku justru bingung sendiri. Aku juga dilanda kebingungan karena hari ini adalah waktuku melatih. Aku melihat telepon genggamku yang sudah menunjukkan pukul 14.00 WIB. Sudah satu jam sejak perjanjian. Akhirnya, aku mendatangi adik-adik tingkatku dan mereka memperbolehkanku untuk pergi. Dan seperti yang aku duga, mereka sangat bahagia aku tidak hadir ditengah-tengah mereka. Tepatnya, bosan dan tidak ingin latihan.
                          Aku akhirnya dapat pergi. Tatkala aku datang mendekati sahabat-sahabatku, mereka justru menyembunyikan telepon genggamku. Parah! Sejak SMP tidak pernah berubah. Apa boleh buat? Jadilah aku teriak-teriak mencari telepon genggamku. Wah, dan mereka menelantarkan telepon genggamku di pavling lapangan. Kacau!
                          Kami pun akhirnya berpetualang menuju tempat makan yang cukup terkenal. Aku pun belum pernah makan di tempat itu. Dan sintingnya, mereka tidak bawa helm ganda. “Niat nggak sih?” kataku sambil setengah bercanda. Jadilah kami melanggar peraturan lalu lintas. Wah, parahnya, aku dibonceng dengan Noverta. Dan dia? Sampai melawan arus jalan! Wah, kacau!
                          Sesampainya di tempat tersebut, kami parkir di tempat yang cukup ribet. Naik lagi, naik lagi. Dan kami pun parkir di tempat paling tinggi dan dapat melihat seantaro bangunan-bangunan ditambah lanskap perbukitan yang asri. Yah, meskipun berarti mulai botak karena telah dikuasai oleh rumah-rumah berhimpit. Aku mengambil waktu sejenak untuk mengabadikan hasil ciptaan Allah yang luar biasa indah tak terkatakan ini.
                          Kami masuk melalui sebuah pintu yang sepintas lebih mirip pintu toilet. Ternyata itu adalah pintu masuk menuju ruangan yang lebih elit. Aduh, aduh. Jadi teringat istilah: “Don’t judge the book by the cover.”
                          Kami bertandang di sebuah restoran yang kata orang terkenal dan enak. Kami yang saat itu asik tergelak canda memasuki ruangan restoran dalam dengan percaya dirinya. Dan sontak terkaget-kaget karena seantaro ruangan memperhatikan kami.
                          Tak hanya sampai disitu. Kami masih juga meributkan tempat duduk yang akan kami gunakan. Akhirnya, kami memilih tempat duduk tengah didekat tembok yang keunguan. Segera saja, seorang pelayan berpakaian mini datang dan membawakan kami sebuah daftar menu yang sepintas mirip hasil makalah yang dipisah-pisah.
                          Segera saja setelah pelayan tersebut pergi, kami bergiliran memilih menu-menu apa yang akan kami pesan. Pada akhirnya, aku yang paling bingung memilih menu. Sepertinya memang Miss Galau adalah julukan yang sangat pas untukku sekarang.
                          Kami pun telah menentukan menu yang akan kami pesan. Rupanya masalah belum selesai sampai disana. Kami bingung lagi masalah minum. Temanku berinisiatif membeli minuman dari luar restoran walaupun telah ada keterangan bahwa ‘Dilarang membawa makanan dan minuman dari luar.’
                          Akan tetapi, terjadi inkonsistensi dalam kenyataan. Kawanku Noverta segera saja memesan minuman. Dan dengan takzimnya aku mengikutinya untuk membeli minuman. Aku mengira bahwa persepsiku tentang minuman yang dibeli Mona adalah untuk kami bertiga adalah salah.
                          Mona datang. Kemudian, dia meminta kami pindah di ruangan yang disekat bagian luar. Kami mengikutinya. Dan aku senang sekali dengan kursinya yang terbuat dari rotan itu. Nyaman.
                          Makanan kami datang satu-persatu. Sambil menunggu, kami bercerita kehidupan kami. Wah, rupanya tiga tahun tidak intens bertemu telah banyak kejadian dalam hidup kami yang benar-benar ajaib terjadi.
                          Ketika makanan komplet, kami segera memfoto makanan dan minuman tersebut sebelum kecantikannya rusak oleh tangan-tangan lapar kami. Dalam sekejap makanan habis. Dan lagi-lagi aku dijadikan tumbal foto seolah aku yang memakan semua itu. Ada-ada saja.
                          Kami berlanjut ke agenda berikutnya, yaitu foto box. Kali ini aku yang diminta membayar. Disela-sela menunggu giliran, kami terserang galau. Apa yang akan kami lakukan setelah ini? Rasanya terlalu cepat untuk berpisah. Kami akhirnya mendapatkan ide untuk pergi ke tempat Mona dimana dia berdagang pempek. Aku juga sudah lama tidak singgah kesana dan bersilahturahmi dengan keluarganya.
                          Selesai kami berfoto, aku merajuk. Bagaimana tidak? Kawan-kawanku ini menempelkan foto-foto kami –walaupun berukuran kecil- di papan tempat kami berfoto itu!
                          Aku, Noverta, dan Mona berjalan ke tempat awal kami masuk. Disana kembali aku disuguhi pemandangan alam yang asri. “Kepingin lho jalan kaki jelajah gunung.”
                          “Lo cocok masuk Mapala, Prim,” kata Teta. “Masa naik gunung pakai rok? Yang benar saja?” polosku. “Kepingin sih. Tapi Mona-nya?” katanya menoleh ke arah Mona yang sedang menghidupkan motornya di kejauhan.
                          Aku tentu saja mengerti. Dan selepas dari itu, motor-motor ini menuruni jalanan aspal terjal. Aku hampir syok dibuatnya karena turun tidak pakai perasaan ditambah intrik-intrik hendak terjatuh. Sekeluarnya dari horor tersebut, terjadi horor yang lain. Noverta berjalan melawan arus!! Sinting! Syok jantung rasanya. Namun selamat. Untung saja.


bersambung...


Kejadian : 30 Maret – 1 April 2012
Selesai : 24 April 2012

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA