Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2014

Rezeki dan Aturannya

Rezeki dan Aturannya Kawan, sebagai seorang muslim, kita barang tentu yakin bahwa rezeki adalah hal yang sudah pasti dari Allah. Tinggal karena ketidaktahuan kita, kita jadi diminta untuk berusaha sebagai penyempurna tawakkal. Memperbanyak sebab judul besarnya. Aku berkumpul dengan para perempuan dan mendapat banyak nasihat dan pengalaman menarik dari mereka. Ah, manusia memang menarik. Seorang perempuan  bercerita kepadaku bagaimana kehidupannya. Dia adalah seorang perempuan yang mengenakan cadar dan tidak suka keluar rumah. Dia bercerita kepada kami bahwa beliau menikah dengan suaminya sewaktu sedang berkuliah. Sebagai seorang yang tahu agama, mereka berdua (suami-istri) paham mengenai hukum perempuan yang banyak keluar rumah. Alhasil, mereka berdua berhasil meyakinkan kedua orang tua masing-masing untuk tidak memaksa si perempuan untuk bekerja. Mereka hidup kesusahan. Akan tetapi, kamu tidak akan sadar kecuali mereka bercerita sendiri. Diceritakan, bahwa mereka paham me

Kebodohan yang Menyelamatkan

Kebodohan yang Menyelamatkan Aku sempat membaca beberapa artikel di mana para ulama ada yang menyatakan merasa bersyukur bahwa beliau tidak dapat ber-FB-an dengan lancar karena kebodohannya dalam menggunakan media sosial. Beliau bersyukur karena dengannya beliau dapat menjaga waktunya lebih bermanfaat. Bercermin dari beliau, aku melihat diriku sendiri. Aku beruntung juga bodoh dan terlalu patuh. Sewaktu SD aku ingat sekali saat pelajaran TIK, selalu guruku menyatakan bahwa kami (para murid) dilarang membuka internet sebelum SMA. Dan tahukah kamu, aku benar-benar mematuhinya. Aku tidak membuka yang namanya internet sebelum SMA. Padahal aku tinggal di perkotaan yang lumayan cepat pengaruh dari perkembangan teknologinya. Selanjutnya, aku bersyukur bodoh dalam meniru kata-kata kotor. Beberapa orang yang mengenalku dari dulu menganggap bahwa aku berada di lingkungan di mana semua orangnya bertutur kata dengan baik. Sebenarnya tidak. Ornag terdekatku pun itu gemar menggunakan ka

Bergumul

Bergumul Aku sedang bergumul dengan diriku sendiri. Jujur, banyak hal yang membuatku malu belakangan ini. Implikasinya, aku merasa harga diri tergores. *** Aku melihat seseorang yang benar-benar rajin. Aku tahu bahwa para perempuan ini pastilah incaran para kaum Adam. Ditambah lagi dengan beberapa kawan yang menyatakan bahwa perempuan ideal itu adalah yang hafal Alquran, anggun, pendiam, dan kalau bisa dari fakultas kedokteran. Demikian pula sebaliknya. Kalau kawan-kawanku perempuan tidak jauh-jauh dari hafalan banyak, pengusaha, perlente, punya masa depan, dan lainnya. Agak sedikit “sesuatu” buat aku pribadi. Aku sedari dulu menginginkan sesuatu yang sederhana: cukup yang penting beriman dan bertakwa kepada Allah. Artinya mengerti manhaj yang haq, aqidah yang shahih, dan seterusnya. Berimplikasi. Terkadang aku merasa apakah aku tidak terlalu miskin kriteria? Tapi sejujurnya apanya yang miskin sih, ya? Toh, jika memikirkan ribuan proyeksi takdir yang serba berputar, se

Melepaskan Buhul

Melepaskan Buhul HENTIKAN SEMUA INI!!! Itulah kalimat yang berguncang di hatiku saat beberapa hari lalu aku menemukan banyak hal. Aku menasihati sebagian orang dengan apa yang sedang aku usahakan. “Masalah itu ada untuk dihadapi. Bukan dihindari.” Aku punya beberapa masalah dengan orang lain. Aku berkonsultasi dengan beberapa orang tentang bagaimana penyelesaiannya. Mereka mengemukakan kepadaku bahwa ideku untuk menegur langsung dan membongkar apa yang aku ketahui tentang mereka adalah tindakan bodoh. Masalahnya, aku merasa masalah dengan mereka tidak selesai. Menggantung; mengawang. Meskipun posisiku sebenarnya strategis. Aku tidak kenal orangnya. Dia tidak pernah mau bicara langsung denganku. Sudah begitu, ditegur pun tidak seberapa menyahut. Pendiam pula. Bukankah posisiku strategis untuk bersikap tidak kenapa-napa? Akhirnya, aku datangi dan selesaikan saja. Aku terganggu dengan fitnah tentangku yang dia dapati. Sementara tidak ada yang benar dan dia pun juga t

Coba Balik Logika

Coba Balik Logika Aku bukan orang yang pandai materi logika dalam matematika. Aku juga tidak suka dengan filsafat. Jadi, catatan ini tidak ada hubungannya dengan kedua hal ini. Mungkin sedikit. Kemarin, di kala lelah aku mendengar sebuah keluarga dengan suara yang menguar masuk ke jendela kamarku. “Sabar, sabar! Memang dengan sabar kita dapat apa, Mak?” Begitu ucap seorang anak kepada ibunya dengan nada meninggi. Aku kaget bukan kepalang mendengarnya. Mungkin, kalau aku yang menjadi ibu dari anak tersebut, aku sudah menangis. Sang ibu menjawab dengan cukup emosi meminta anaknya bersabar atas besarnya tekanan ekonomi yang melanda keluarganya. Kejadian ini membuatku kembali dengan memori lama. Aku bercermin bahwa beberapa tahun lalu, terutama saat usiaku belasan aku dan orang-orang sekitarku juga pernah menyatakan hinaan atas nama sabar. Meskipun tidak sama persis kejadiannya. “Sabar, sabar. Gundul kamu itu sabar?” “Sabar terus. Bertindak dong.” “Capek, woy.