Linda (Bagian 1)

                        "Intan, kenapa kamu diam tak berbicara?" Lalu aku terhenyak dan menoleh kiri-kanan dengan siapa dia berbicara seolah tak kudengar namaku digemakannya lewat tipisnya bibir dan mata sipitnya yang mengandung keingintahuan yang nyata. Linda.
***

                  
   Di temaram senja ini aku melewati tanjakan jalan yang selalu kau dengungkan saat kita SMA dulu. "Aku turun disini, ya? Rumahku di ujung jalan menanjak ini. Kuharap kau tak keberatan aku meninggalkanmu sendiri." "Iya, tak apa. Jangan canggung begitu ah." senyumku melebar.

                        Andai kautahu Linda, aku sulit menerima orang lain. Pun dia adalah perempuan paling purna sekalipun. Tapi kau Linda, laksana bunga tulip putih nan halus yang melambai-lambai memanggil namaku, sahabatmu. Aku sering mengerjap-ngerjap tak percaya. Aku yang asing ini langsung kau anggap sahabat. Dengan tulus hati, kau menemaniku naik bus kota padahal rumahmu sangat dekat.
                        Telah satu semester kau pindah Linda. Dan aku kesepian. Tak ada teman bercanda. Tak ada teman bersuka. Kau pergi entah kemana.
                        Suatu ketika, aku memberanikan diri bertanya kepada teman sekelasmu. "Dimanakah Linda? Sudah dua minggu dia tak kunjung hadir. Kudengar dia sakit. Takbisakah kita kunjungi rumahnya? Aku tahu rumahnya. Di ujung gang sana." ocehku menahan gugup.
                        Lorong sekolah senyap bersama lisanku. Menunggu kawan sekelasmu menjawab rentetan pertanyaanku tentangmu.
                        "Dia sudah tidak bersekolah disini lagi." Puspa menerawang. "Maksudmu?" Dia menderita liver. Dan vonis dokter menyatakan dia tidak mungkin sembuh. Maka orang tuanya membawa Linda pergi ke Metro. Tapi nyatanya, tak ada yang tahu. Sebab tak secarik alamatpun mereka tuliskan." terang Puspa.
Aku diam. Dan tiba-tiba mendengar alunan musik klasik sedih yang kau dan aku sukai dalam kepalaku.                         "Tapi..."
                        "Tapi, kau tahu? Linda menulis di salah satu diarinya nama kami satu kelas.Tentang nakalnya Rangga, Sonia yang gemar menyontek hasil tugasnya, dan...Ah, komplet semuanya. Bahkan ada untukku. Semua yang dia cintai dan saran untuk kami. Dia..."
                        Puspa tercekat. Kulihat kabut dimatanya nyaris tumpah. "Dia memang kawan yang baik. Aku ikut menerawang jauh bersamanya. Duduk di hamparan rumput dan merasakan semilir angin. Puspa melihat semilir angin sebagai berkah. Harga yang mahal. Dia bercerita tentang kawan kelasnya yang lancang mengobrak-abrik tas anjing pudelnya. Sedang aku merasakan semilir angin ini ritmis menyakitkan. Kehilangan sahabat. Dan ya, dengan pelan aku menoreh kata-kata pada angin. "Linda, kamu dimana?" Dan angin berputar, menderu dalam horison. Bebas.
                        Senja ini, aku menaiki bus kota yang dahulu sering kita gunakan bersama. Duduk berdua di pojok bersama. Berdiskusi tentang musik klasik bersama. Dan entah mengapa alunan musik bus ini berubah menjadi apa yang kuinginkan saat berpikir tentangmu, tentang jalan mendaki itu.
                        Hamparan hutan yang basah akibat hempasan hujan menyatakan kepesimisanku bahwa kau masih hidup dan bernapas kencang kala menceritakan impian kecilmu menjadi dokter di daerah pedalaman.
Namun, rumah-rumah cerah bercat kuning menyatakan padaku, 'Linda baik-baik saja. Dia telah menjadi tulip putih basah mengecap dunia.' Aku tersenyum dibuatnya. Tapi, apakah benar begitu?
                        Aku menyurukkan pandang di kaca suram bus kota yang terterpa hujan. Wajahkumati rasa. Tapi aku semakin dalam menghirup udara senja. Semua karena dadaku sesak memikirkanmu.
Aku terlalu pengecut memang untuk bertanya pada Puspa kala itu apakah ada namaku di buku harianmu? Apakah kau menyatakan sesuatu tentangku?
                        Aku turun dari bus tak jauh dari rumah. Sambil berjalan menyusuri trotoar, kusaksikan lampu-lampu jalan membayang lepas hujan bagai cermin. Kubagikan kata rinduku padamu, sahabatku. Aku mengatakan pada mereka untuk mengabarkan jika kau hadir kembali ke tempat ini.
                        Sebelum kuputar kunci ini, kuedarkan pandangan nyalang pada senja ini. Padadelusi wajahmu di langit yang mulai beku. "Mungkin besok, aku akan lupa pada serpihan ingatan ini. Maka, dimana pun kau berada harapku kau bahagia."
                        Namun, sebelum masuk kutanyakan hal terakhir sebelum aku melupakannya. "Linda, dimana kau, sahabatku?"

4-2-2012

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA