Conquer Yourself

Hari ini, tanggal 29 April 2012 aku meliburkan diri sendiri. Keletihan batin menyergap dan syukurnya tidak terlalu terlihat. Semalam ibuku menanyaiku, “Kamu sedang sakit ya? Pakai kaus kaki di rumah?” Aku hanya tersenyum tipis menanggapi perkataan ibuku. Well, itu karena aku mengenakan kaus kaki karena mukenaku sulit saat rukuk dan sujud. Kakinya terlihat. So, mengenakan kaus kaki adalah cara efektif untuk mencegahnya terlihat. Kan kalau aurat terlihat batal shalatnya?

Sebenarnya, aku memang sakit. Entah apa yang sakit. Hanya saja aku merasa sangat lelah. Manja, ya? Tapi apa boleh buat. Satu hal yang aku senangi, orang-orang tidak mengetahui pasti apa yang aku risaukan bahkan ibuku.

 Jumat kemarin selepas kajian, aku menangis mendengar seorang ustadz berkata, “Jangan sampai kita menyiapkan banyak acara besar tapi justru dengan acara besar itu kawan-kawan kita jadi futur.”



Aku tanpa dikomandoi menangis. Sambil menundukkan pandangan dari khalayak dan yang terdengar hanyalah suara hidungku yang mulai basah karena haru. Seseorang menepukkan tangannya lembut ke punggungku menenangkan dan berkata, “Sudahlah, dek.”

Ketika hendak pulang, kakak tingkat yang lain datang dan sambil berdiri melingkarkan kedua tangannya ke leherku yang sedang duduk. “Kenapa, dek?”

“Aku sedih Mbak mendengar perkataan ustadz yang bahwa jangan sampai acara besar membuat kawan kita futur. Dan yang membuatku sedih adalah akulah yang sedang futur itu. Aku merasa bersalah mendzalimi mereka, Mbak.” Air mataku turun semakin deras. Payah!

“Dek, meninggalkan itu tidaklah mengapa. Dianalisis SWOT-nya terlebih dahulu. Jika memang menjadikan kefuturan, maka tinggalkanlah. Kamu boleh turun dari tangga ketiga ke tangga kedua. Tapi saat imanmu bangkit lagi, kamu harus naik ke tangga kelima sehingga kamu tidak rugi adikku. Makanya baca fiqh prioritas,” ujar beliau mengulas senyum.

Selepas dari sana, aku meminta maaf kepada seorang kawan bahwa aku tidak mampu untuk terlalu berperan di acara yang sedang diselenggarakan. Dan kata-kata, “Ya sudah, tidak apa-apa,” yang diucapkannya terdengar semakin menyakitkanku.

Aku menonton Glee. Kalau kawan-kawan tidak tahu itu adalah serial drama dari Amerika. Mungkin pada bertanya-tanya mengapa aku menontonnya? Aku menontonnya karena stress. Aku hanya menonton televisi jika sedang senggang atau stress saja. Aku pernah candu televisi. Dan aku tidak mau kecanduanku kembali.

Isi drama tersebut memang seputar hidup remaja. Banyak pula adegan mengenai homo seks disana. Alih-alaih memang itu yang membuatku bertambah risih dengan acara luar negeri.

Tapi, memang jika kita melihat dari sudut pandang hikmah, banyak hikmah positif pula yang kita dapatkan.

Lingkaran itu ajaib!

Aku menemukan sebuah gambaran klub di suatu SMA disana yang saat briefingnya menggunakan asas lingkaran yang aku sukai. Kemudian disana mereka terlihat sangat bahagia. Bagaimana disana seorang guru memaparkan pengalaman hidupnya dan membaginya dengan mereka yang lebih muda darinya.

“Apapun hal yang membuat kalian kesepian, depresi... Aku ingin kalian berjanji kepadaku bahwa kalian tidak akan membunuh diri kalian sendiri.”

Di drama itu terjadi suatu kejadian seorang karakternya hendak bunuh diri. Dan si guru mengatakan ini berdasarkan translater di bawah drama tersebut bahwa dia tidak ingin muridnya putus asa. Dia bercerita bahwa dahulu dia pernah ingin bunuh diri karena ketahuan mencontek saat ujian matematika. Ayahnya dipanggil datang ke sekolah dan dia melihat wajah kecewa yang sangat dalam dari sang ayah. Kemudian, dia berlari ke atap sekolah dan hendak bunuh diri. Dia menganggap dengan satu lompatan semua putus asa dan malu akan lenyap. Namun beruntungnya, dia tidak melakukan itu.

“Kau ingin bunuh diri hanya karena ketahuan mencontek? Aku sering ketahuan mencontek saat ujian, namun aku tidak berpikir demikian,” kata seorang anak di lingkaran. Dan kawan-kawan yang lain juga menimpali rasa tidak percayanya pada sang guru.

Ada suatu keberkesanan dari kata-kata sang guru :

“Mungkin bagi kalian itu adalah sesuatu yang biasa. Namun ada sesuatu. Ada sesuatu dalam setiap diri orang lain yang membuatnya ingin bunuh diri. Ketika perasaan itu muncul, bayangkan kejadian bagus apa yang akan kalian lewatkan.”
“Jika saat itu aku jadi bunuh diri, aku tidak akan bertemu dengan Emma, dengan Rachel, dan sekolah ini.”


Seketika, sang guru meminta anak-anak muridnya membayangkan apa saja yang ingin mereka lihat pada diri mereka lima sampai sepuluh tahun yang akan datang.

Aku sangat terkesan dengan itu. Aku membayangkan suatu rasa hangat menjalar di seluruh tubuhku. Dulu aku adalah manusia yang sangat rentan. Sejak SD, SMP, SMA aku sering memikirkan opsi bunuh diri itu.

Sampai sekarangpun, masalah yang membuatku sakit seperti itu tetap sama. Kesedihanku yang terdalam adalah bagaimana segala sesuatu yang sudah ada pada gerbang keberhasilan, pada gerbang kesuksesan dan sangat aku inginkan tiba-tiba hancur berkeping-keping dengan beragam alasan.

Ada hal benar yang aku lakukan namun aku tinggalkan karena ketidakmampuanku walaupun sudah aku paksa sampai limit. Adapula hal-hal yang aku lakukan berkenaan dengan orang lain yang aku tahu itu salah, tapi aku menginginkannya. Karena aku bukanlah tipe orang yang bisa melanggar hal prinsip, maka aku menghancurkannya dengan tanganku sendiri karena itu salah. Aku melihat orang-orang itu bahagia sekarang.

Dan aku sangat senang melihat teman-teman, bahkan musuh-musuhku bahagia walaupun tidak ada aku dalam lingkaran itu. Melupakanku. Aku tetap bahagia melihatnya. Namun ada sesuatu dalam hatiku yang sedih karena segalanya sudah tersusun rapi seperti puzzle yang telah hampir jadi. Tinggal satu kepingan di tengah yang aku pasangkan maka semua akan usai. Lalu tiba-tiba, semua hancur saat tinggal sedikit lagi aku meletakkannya.

Sedih rasanya. Tapi lucunya, tidak terjadi apa-apa. Atau lebih tepatnya seolah tidak pernah terjadi apa-apa dan aku melanjutkan hidup. Namun, dia datang kembali di suatu waktu dalam bentuk kulminasi tajam yang sangat menyakitkan.

Untungnya sekarang aku telah cukup kuat karena tarbiyah yang aku jalani sehingga tidak ada lagi kata “bunuh diri menyelesaikan masalah” di benakku. Yang ada hanya rasa sesak. Tarbiyah menguatkanku.

Ketika merasa lemah, aku melingkarkan kedua lenganku pada bahu. Menutup mata. Membayangkan suatu ketika aku membuka mata dan yang hadir disana adalah orang-orang yang menyayangiku dengan tulus.

Walaupun itu semu, namun itu cukup. Terasa seperti lingkaran utuh. Dan seringkali aku membayangkan semua orang baik sahabat-sahabat maupun musuh-musuh hadir dalam imajinasiku dengan senyum kebahagiaan. Kadang aku aneh dengan diriku sendiri yang senang melihat orang lain bahagia.

“Life just suck!”

Kalimat diatas ada dalam drama yang aku tonton. Terjemahannya kira-kira, “Adakalanya hidup menyebalkan. Namun, kita harus terus maju. Bayangkan berbagai hal bahagia yang kita ingin dapatkan di kemudian hari.

Aku tersenyum menyaksikan kedua pemuda itu membayangkan hidupnya di masa yang akan datang. Indahnya melihat orang-orang yang optimis ini.

Ini menjadi pertanyaan besar untukku, “Aku bagaimana?”

“Hidup ini terlalu singkat!”

Kata-kata ini ada juga dalam drama tersebut. Aku membayangkan usiaku hanya 65 tahun. Lalu, aku hanya menghabiskan hidupku untuk meratapi apa-apa yang telah lalu dan meneteskan air mata hanya untuk itu. Untuk apa? Bukankah masih banyak hal yang bisa dikerjakan disana?

“Apa yang tidak membunuhmu akan membuatmu lebih kuat!”

Aku berpikir, sejahat-jahanya ide menyakiti diri sendiri yang didengungkan di kepalaku pada nyatanya belum ada satupun yang membuatku stagnan dan mati di tempat. Bukankah berarti aku lebih tangguh dari itu? Lalu, mengapa aku hanya diam dan meratap? Tidak ada keren-kerennya!

Sesuai dengan judul, aku harus menaklukan diriku sendiri! Menaklukan arus-arus negatif yang luar biasa kuat karena aku juga luar biasa kuat untuk mengatasi apa yang diberikan kepadaku!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA