Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2013

Memperpanjang Bukan Memperpendek

Seperti biasa saat menjadi anak pertama terutama di keluarga besar, kamu akan selalu menjadi passing grade untuk sepupu-sepupumu yang lain. Celakanya lagi, juga disamakan sebagai penerus kebiasaan orang-orang tempo dulu. Demikian pula saya. Kemarin selepas melayat meninggalnya nenek saya, seperti biasanya: Family Gathering . Salah satu ciri khas family gathering di keluargaku adalah yang paling mencemaskan dan paling "gagal" akan jadi sasaran. Dan saya, dalam kesempatan ini mendapatkan keberuntungan ini, setiap kali. Saya ditanya rencana ke depan. Saya tidak menjelaskan keinginan saya untuk menuntut ilmu agama di suatu tempat. Cukup ibu saya yang tahu. Keluarga saya orang sekuler murni. Jadi jangan dan memang sulit diharapkan untuk bersetuju dengan saya. Saya bilang salah satu rencana saya yang lain untuk menjadi dosen. Sontak saja, dari sepupu hingga tante dan om saya meminta saya untuk berkuliah di luar negeri. Tanggapan saya? Aih, demi apa? Ini lucu. Dulu ketika aw

Kritis dan Krisis

Aku benar-benar sesak malam ini... Bukan hanya karena rasa lelah yang menggelayuti, ada hal lain memang... Aku sedemikian sedih... Hatiku memanggil dengan keras.. Tak tertahankan... Aku pikir dengan menolak tiga-empat amanah di kampus yang ditawarkan kepadaku, aku bisa lebih mudah mengomunikasikan diriku dengan Pemilik Alam Semesta.. Dengan mesra dan intim.. Dan insya Allah amal-amalku bisa terjaga sedikit banyak karena jeda waktu yang lumayan banyak dan limitasi pekerjaan yang juga tercukupi oleh raga... Pertama kalinya dalam hidupku aku bisa menolak pesona organisasi, pesona keilmuan dunia, dan pesona-pesona dunia lainnya yang itu sangat adiktif buatku... Tentu saja... Banyak yang bisa diargumenkan... Aku dan kamu berbeda... Dan tentu pemilihan kita juga berbeda... Aku jenuh dengan kekosongan yang ditawarkan.. Apa sih yang dicari? Rendahan! Aku sendiri pun tidak mau berjudi dengan amal-amalku yang tidak seberapa itu walaupun Allah yang mengukur keikhlasan itu... Namun, aku mau yang t

Sandiwara

Sandiwara Lampu sorot mulai menakar panjang ruangan kerap. Seorang lakon berpantonim di panggung bawah. Mengisyaratkan jemari (kelingking, telunjuk, ibu jari, tengah, dan terakhir manis yang bias cincin keemasan). "Purnama menggantung miring di langit. Cerah seperti wajahmu yang tak tampak durja." Olah kata lakon lelaki yang tersandar gadis lugu di bahunya. "Iya, kangmas ." ujarnya rekah. Detik kemudian, maskara mengelupas oleh peluh dan lelaki menjadi marmer rapuh masai. Lelaki jelma di panggung bawah, mengatakan hal yang sama seperti pada gadis lugu. Mengerjap-ngerjap ia pada cincin emas yang dilampirkannya. Hanya cercah tangis tak bersuara. Gadis lugu menjadi figuran dalam birama melodi romantis kedua madu. Tangan gadis menggapai-gapai panggung bawah. Tapi ia tak bisa karena sekat tak boleh dilewati. "Dua... Ya, dua ratus persinggahan hanya kutahu berakhir seperti ini. Namun kini kualami." Berdiri ia memandang bulan purnama menggantung miring dan

Merapal hidup

Merapal hidup Diamlah, Dan saksikan diagram hidupmu saling bersilang, menyabang dalam suatu keutuhan. "Pahlawan merekam jejaknya diatas batu!" ujarmu. Di batu hanya ada lumut hijau. Licin. "Tidak, rekam jejak sempurna diatas pasir!" lontarnya. Apa dia lupa asin air laut merengkuh tiap lekuk menjadikan tiada? "Rapalan hidup berupa jejak adalah derita helaian daun yang terinjak." Daun koyak, kawan saat jemari kakimu merajainya. "Simpanlah trilogi jawaban kalian yang sukar karena tak kutemukan fakta yang paling purna selain jejak-jejak telah ada dan aku mengikuti. Jalanan sepi, namun ramai. Sayangnya, angin tenggara tak kuasa menghapus rapalan hidup yang telah terang. Medianya bukan kertas, tapi baris kehidupan." Bandarlampung, 15-2-2012 Prima Helaubudi

Perempuan-perempuan Bergincu

Perempuan-perempuan Bergincu Perempuan-perempuan itu memamah gincu lama yang disematkannya dibalik raga meja rias paling rahasia. Gincu semerah darah mulai dileburnya dalam tiap sobek luka masa lalu paling hulu. Semua rangkum satu dalam bingkai orbit tanpa putus. "Dunia terlalu pagi untuk lelap. Diantara sisa hamparan cerita yang semai antara trotoar, dan gerai pembangunan, kaisan anjing masih sisa menunggu jemput." ujarnya pada gerombolan mata yang fana. Semerah gincu, semerah tas, dan semerah pakaian tak bisa menutupi ungu urat bertonjolan di kulit yang terkadang biru. "Malam di kota ini jelma menjadi prairie di dataran rendah tempatku mengarung dahulu. Ia kini koyak disobek oleh beton-beton dan menjadi serpih-serpih abadi di asaku." Gincu yang kian pudar menandai datangnya fajar putih di fondasi langit. Namun gerai trotoar tetap sisih. Burung-burung gereja datang berciap mencium amisnya torehan malam. (mereka jelma menjadi cendrawasih bersayap emas) "

Wahyu yang Terpotong

Wahyu yang terpotong Ini bukan alkisah tentang kitab suci. Kitab suci pada awal turunnya. Ini tentang segelintir majas. Dalam kenyataannya, kita tidak pernah tahu. Kecuali apa yang telah ditakdirkan pada kita. Bandarlampung, 24-10-2012 Prima Helaubudi

dirimu dalam secangkir bulan Oktober

dirimu dalam secangkir kopi bulan Oktober Seduhan kopi membayang wajahmu di permukaannya. Seduhan kopi pekat dan kelam. Seperti rangkaian malam dan picisan roman-roman. Begitu romansa. "Mari gantungkan cermin-cermin masa depan di bilik bintang." Bintang itu beranjak jatuh. Hanya saja, hanya aku yang melihatnya. Oktober deras, mengguyur Kopi terasa pahit Awan-awan tak lagi membiarkanku berdoa Bandarlampung, 31-5-2012 Prima Helaubudi

Tak setara

Tak setara Bulan menggeliat diatas ranjang putih. Tak ada lagi gelap abu meruncing di desah tirus. Bulan bangun kesiangan dan kesakitan. Dia tak sanggup tanpa ada malam. Mentari menyeretnya kelua. Bias amarah mentari menghujam-hujam dinding kamar berwarna pastel. Tempatmu bersama malam, Bulan. Sadarilah bahwa ruang tak akan bisa memantulkan wajahmu yang rona. Karena ruang tak bisa menolak jamahan mentari setiap siang. Biarlah sayangku, bulan. Terbagi gelap malam. Biarlah sayangku, bulan. Kian harus menggenapkan hari saat kau terlalu sakit menampakkan wajah. Saat bulan baru, ruang tahan rindu padamu. Lelapmu di ranjang adalah kesah. Namun selalu basah. Bandarlampung, 5-5-2012 Prima Helaubudi

Korona Malam

Korona Malam -- surat dari pecinta I Untukmu kuserahkan malam Yang didalamnya ada bulan dan bintang Mengintip dari celah arungan kelam Kubingkai ia dengan pelangi Tak pernah berujung di bumi Menghantarkannya pada sudut kamarmu Untukmu kugariskan warna keperakan Di sela pipi tirusmu kala terlelap Dengan baris doa yang tiada usai "jauh disana pertemuan antara belikat akan jadi nyata untukmu dan untukku" Untukmu kuaduk lauh, dan kujalani benang tipis Kita tidak bisa bertemu dengan kata mudah Sebab sajak terindah tak pernah lahir tanpa syair II Malam ini purnama. Aku mencintainya seperti seorang ibu yang mereguk rindu pada bayang sentir-sentir berpelayar di pucuk pelabuhan. Dia akan kembali, sayang. Seperti purnama purna di antara bebilah bulan hijriah. Hanya menunggu di balik bayang pepohonan atsl yang dipenuhi pancang pias dari bus-bus pariwisata. Bandarlampung, 30-4-2012 Prima Helaubudi

Perwujudan

Perwujudan I jadilah wujud bersanding dalam ruang hampa waktu berdegup, tapi tak dengar lagi detaknya jadikan aku mimpi alih-alih ada di dalamnya rikuh ini sudah lama berpangku pada dua lutut senja kini terasa hambar tak ada jingga, pudar II bayu tak pernah mangkir mendatangi daun pintu : ini rahasia, "di sana ada kisah terlarang" ini bukan kisah Hawa yang memakan khuldi, tapi kisah pintu yang dahulu terbuka, lalu tertutup selamanya, tanpa sebuah Nama bayu masih saja mengetuknya dan bertanya tanpa jawab, : "siapa namamu" Bandarlampung, 11-10-2012 Prima Helaubudi

Embun, Masa, dan Kepalsuan

Embun, Masa, dan Kepalsuan I Embun-embun telah rontok di kepalaku pagi ini. Sumsum ini beku terasa. Sulbi yang terikat, dan hati yang tertambat di pucuk dermaga yang kini tersulap. Menjadi sebuah lantai nirwana. Ini bukan sihir. Ini bukan cerita semata. Karena Tuhan telah mengutuknya hingga beku. Semua agar kau tak perlu mengalir jauh dan memperbanyak embun-embun putih terserak. Menimbunku dalam saraf-saraf bumi yang terbanjiri oleh bara. Pelukanmu merikuhkanku dalam damai. Seperti pujian ibu pertiwi pada anak laki-lakinya. Atau seperti ranum kisah ibu saat mengantar anaknya lelap. Inilah satu dari sebuah masa. II Air mataku meleleh.. Dan mereka berwarna biru. Serupa musim telah membekukan warna bening menjadi gigil. Sisanya hanya lebam. Dan kantung mataku kini kusam. Bagaikan terus arung dalam tepian malam. Dan kau masih terus datang, memegang jemariku, dan menawarkan minuman berlak kasturi yang kutahu itu palsu. Dan jentikan kenyataan mengaburkanmu pergi dalam hibernasi. B

Menggambar

Menggambar Itu. Kertas-kertas putih di meja. Bawakan. Bawakan untukku! Aku ingin menodai dengan sebenar-benarnya. Warna-warna akan kuberikan bayang dan rupa yang pasti. Parasnya akan kian ayu kala tergores. Bandarlampung, 16-6-2012 Prima Helaubudi

dua-satu Maret

dua-satu Maret Kusaksikan hujan gugur di ambang Maret. Dan aku saksikan matahari melengkung, mengelijang seperti geliat rahim ibu. Perpindahan fase dua-satu Maret, katamu. Bandarlampung, 23-4-2012 Prima Helaubudi

Fragmen #5

Inilah saatnya memilh diantara jalan-jalan fajar yang kini hadir. Berjalanlah, anakku. Sebab kini benang putih dan hitam telah tampak. * Kita bicara tentang sebuah nama. Dan aku tahu apa yang kau pikirkan. Unik, atau aneh. Tidak biasa memang. * Aku ingn menyimpan bulir-bulir kenangan yang kau taburkan di atas meja kaki tiga ruang tengah itu. Aku menyusunnya satu-satu. Menjelma menjadi tinta perak menghias pudarnya buku-buku. Tiba ia menjadi warna lama. Penuh tengu. Tapi tak sekalipun aku tinggalkan. (belun selesai) Bandarlampung, 23-11-2012 Prima Helaubudi

Fragmen #4

Wahai sang raja, tidakkah gelak tawa para dayangmu itu cukup? Masih juga kau inginkan sepucuk bunga berwarna rembulan. (belum selesai) Bandarlampung, 2-12-2012 Prima Helaubudi

Fragmen #3

aku terima engkau telah menyemai luka. mengalir menuju muara. menderas di hulu yang paling pilu. kini, telah berbunga. dengan lili, lilaka, mawar, dan anyelir. tumbuh di atasnya. seolah tanah tak pernah ada. (belum selesai) Bandarlampung, 18-6-2013 Prima Helaubudi

Fragmen #2

mengapa kamu mendengarkan kabar angin, sementara aku di sini sedia untuk menjawab pertanyaanmu? lihatlah, bibirmu mulai membiru laksana relung samudra yang hindia. merupa salju penyuka gigil. (belum selesai) Bandarlampung, 7-6-2013 Prima Helaubudi

Fragmen #1

Dua remaja itu duduk di pinggir jendela bening. Mereka memandang keramaian mall yang lambat di luar. Siluet bunga-bunga tulip merah muda memedar di ujung mata mereka menyiratkan kerahasiaan. Seorang dari mereka memegang handphone model terbarunya dengan cemberut. Dia menyisir rambut panjang kemerahan bermodel shaggy trap-nya dengan tangan. Sembari menyilangkan kaki-kakinya yang cokelat keemasan bercelana pendek, dia menerima segelas milk shake cokelatnya, tersenyum tipis. Sementara di sudut seberang, kawannya dengan sederhana dan sabar menggelung rambut panjangnya. Bersabar atas keheningan panjang yang menggejang karena lagu rock yang sayup-sayup terdengar di antara kicauan para pengunjung restoran. Celana belelnya, merajuk ingin diperhatikan. "Jadi begini..." (belum selesai) Bandarlampung, 31-12-2012 Prima Helaubudi

Ketetapan

Ketetapan Banyak yang mengecam Las Vegas sebagai surga judi. Banyak yang mengelukan Mekah sebagai pusat pengampunan. Samakah persepsimu? Lalu, bagaimana jika di Las Vegas kau menjajakan makanan? Lalu, bagaimana jika di Mekah kau menjual khamar? Samakah persepsimu? Tapi, apakah kau menyatakan tanya kala bertemu dengan orang-orang ini? Kau, aku mungkin belum menginjakan kaki disana. Lalu, darimana sebuah penetapan ini berlaku? Sebelum bahas telah kau cabik-cabik harga diri saudaramu ke tempat paling hina. Tahukah kamu, mungkin dia yang lebih pantas mencabik harga dirimu. Ataukah, ada suatu ketetapan harga dari harga diri? Aduhai, bagaimana kau menetapkan? Di syair yang begitu pilu, dan rekam wajah yang demikian sendu, dimanakah kasih itu? Bandarlampung, 5-2-2012 Prima Helaubudi

Hidangan

Hidangan Kusajikan hidangan panas di piring bertahtakan ransum padamu. Kelebat angin menyapanya. Dan hidangan kusajikan padamu dalam keadaan dingin. Rautmu sedikit bercerita tentang komposisi bahan yang lebih (atau kurang) dalam hidangan yang kini masai oleh hentakan alat makanmu. "Enak." ujarmu singkat. Tapi hidangan tak habis kau rampas. Kutanyakan kembali, "Apanya yang enak?" wahai pembohong. Bandarlampung, 4-2-2012 Prima Helaubudi

CRITICAL REVIEW OF JOURNAL -- NAVIGATING PARADOX AS A MECHANISM OF CHANGE AND INNOVATION IN HYBRID ORGANIZATIONS BY JASON JAY

Gambar
CRITICAL REVIEW OF JOURNAL NAVIGATING PARADOX AS A MECHANISM OF CHANGE AND INNOVATION IN HYBRID ORGANIZATIONS BY JASON JAY DISUSUN OLEH: NAMA          : PRIMA HELAUBUDI NPM              : 1011011027 JURUSAN    : S1 MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS LAMPUNG T.A. 2013 CRITICAL REVIEW OF JOURNAL NAVIGATING PARADOX AS A MECHANISM OF CHANGE AND INNOVATION IN HYBRID ORGANIZATIONS BY JASON JAY By Prima Helaubudi J urnal buatan dari Jason Jay yang merupakan peneliti dari Massachusetts Institute of Technology, Amerika ini memiliki pokok bahasan menarik yang dituangkan dalam abstrak beliau. Dalam abstrak beliau dituliskan intisari jurnal sebagai berikut: Organisasi hibrida mengombinasikan logika-logika institusional dalam usahanya untuk mengeneralisasi solusi-solusi inovatif dalam masalah-masalah yang kompleks. Mereka menghadapi konsekuensi-konsekuensi yang tidak diperkirakan dari kerumitan institus

Ada Apa?

Aku lagi-lagi jet lag . Aku melankolis sekali hari ini. Hatiku benar-benar menuntutku merasakan kesendirian malam ini. Meskipun ada Rabb-ku, secara fisik seperti sendirian. Mungkin ini panggilan jiwaku yang sungguh merasakan bising. Aku benci keramaian. Aku melakukan apa-apa yang aku kekinian tak lagi sukai. Men- download gambar-gambar es, gunung es, salju, mawar yang dilapisi es, Mount Everest pagi-malam, dan lain-lain. Aku mengubah tampikan handphone- ku suram kembali. Aku menggunakan QWERTY keyboard dan mengubahnya menjadi horizontal di handphone yang biasanya aku juga tidak sukai. Lalu, aku tiba-tiba kelelahan mencoba merekapitulasi apa yang dikoreksi orang-orang padaku. Lelah. Lelah sekali. Sesak rasanya. Ada apa gerangan? Alhasil, aku melepaskan sifat 'buas'-ku. Ada pepatah luar yang mengatakan, "Perempuan adalah makhluk yang paling bijaksana dalam rumahnya, tetapi adalah makhluk paling buas di luar rumahnya." Aku melepaskan egoku, kekeraskepalaanku. Aku mer

Ritme kematian

Ritme kematian I bawalah lukamu berlari. ya, berlari. menuju apa yang kaudamba. jangan kauabai dan biarkan ia menjadi gelap; atau kauterlalu intai sampai tak lagi melaju. ini hidup, sayang. akhir pencapaianmu menentukan. semua akan abadi; nanti. II Sayangku, apakah kita melihat kematian dengan cara yang berbeda? Setiap kulihat mereka menghela nafas satu per satu; begitu rintih. Setiap kulihat kematian silap tiap tahun; hatiku perih. Setiap dari mereka yang paling mempunyai pengaruh di keluarga kita, aku merinding pedih. Aku terluka, Sayang. Aku membayang bertemu dengan-Nya dalam keadaan nista; menjijikkan. Tapi bagaimana bisa kamu hanya sedu sejenak lalu bersikap biasa kembali? Tahukah kamu, Sayang, itu membuatku terluka. Demikian pula dengan salat-salat yang kautinggalkan. Sementara itu adalah apa yang paling aku jaga. Aku meringgis. Adakah kita begitu sama dan berbeda sekaligus. Hatiku berembun. Ya, berembun. Lalu menderas membentuk delta. Ah, air mata pendosa memang yang pali

Nuansa Dukaku

Nuansa Dukaku, aku melipat ujung-ujung surat dari perkamen yang paling mahal. Esok, aku akan mengirimnya lewat kantor pos dalam tempo sesingkat-singkatnya. Aku berandai, jika ada yang dapat lebih cepat. Ya, akan kutunaikan detik ini juga. Tak peduli bahkan kredit juga. Nuansa Dukaku, ia telah menyiksa segenap aliran darah. Laksana mendaki pegunungan, menjadi tulahku. Aku hanya ingin berhenti selayaknya pecandu yang tercemar zat adiktif. Aku bertanya perihal Nuansa Dukaku. Sebab apakah ia hadir. Dan aku hanya menuliskannya dalam barisan tanda titik; pernyataan. Seolah ia adalah bagianku sendiri. Bukan makhluk berbeda. Kudengar, kini masa telah jauh melangkah. Kukirim ia ke tempat paling jauh, paling lupa. Namanya : Alfa. Bandarlampung, 1-11-2013 Prima Helaubudi Kenapa kita berduka, Sayang?