Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2014

Sajak Anak-anak Mati

Sajak Anak-anak Mati Tiga anak menari tentang tiga burung gereja Kemudian senyap disebabkan senja Tiga lilin kuncup pada marmer meja Tiga tik-tik hujan tertabur Seperti tak sengaja “Bapak, jangan menangis” Goenawan Mohamad * Mendengar suara merdumu pagi hari ini. Teringat puisi ini, untukmu. Bedanya, aku tidak tiga, tapi satu. Aku tidak tertabur. Engkau bukan ayah. Dan aku tidak mati. Selama itu, untuk kita.

Diri, Pengaruh, dan Perbaikan

Diri, Pengaruh, dan Perbaikan Manusia itu menarik. Baru saja aku membaca buku psikologi sosial. Psikologi sosial merupakan irisan dari ilmu psikologi dan juga ilmu sosiologi. Dan aku pribadi sebagai konsentrasi manajemen sumber daya manusia barang tentu berhubungan dengan beberapa ilmu. Ilmu yang berhubungan di antaranya ilmu psikologi, sosiologi, manajemen, strategi, sumber daya manusia, kepemimpinan, dan juga komunikasi. Aku menemukan bahwa manusia itu sangat mudah terpengaruh. Masalah pengaruh-memengaruhi tentu saja aku pelajari. Tepatnya dalam materi pemimpin dan pengikut dalam mata kuliah kepemimpinan. Pengaruh ini terdiri dari dua hal, eksternal dan internal. Secara eksternal, manusia terpengaruh, tersugesti, termotivasi terutama oleh jumlah orang mayoritas dan orang yang punya otoritas. Sementara secara internal, pengaruhnya adalah dari kebingungan; keraguan dan juga kebekuan pikiran. Aku sangat tertarik. Di dalam agama Islam, jelas dikatakan bahwa suara mayoritas b

Fragmen #18

Dia: “Dia parah banget, Prim. Dia nggak suka ngejabarin sesuatu. Dia itu maunya dikasih clue (petunjuk) dikit, kita ngerti. Bagi dia, aku rese karena aku ingin banget tau apa yang dia pikirin. Gimana nggak? Kelakuannya itu bikin aku penasaran. Aku ingin semua jelas, dijabarkan rapi. Dan dia nggak suka ngomong langsung. Ibarat kotak, Prim. Di dalam kotak itu ada kotak lagi yang ada isinya. Jadi kalimatnya itu ada maksud lain. Dia kalo suka sama orang, loyal banget. Tapi sekali benci, benci banget.” Aku: (ketawa) “Sejujurnya, aku ngerti maksud dia. Aku gitu soalnya. Haha. Kalau kata ilmu psikologi dan SDM-ku sih, dia orang perasa, feeling (F). Sementara kamu itu orangnya pemikir, thinking (T). Jadi bentrok. Kamu dekat sama dia, jadi dia percaya kamu bisa tahu tanpa harus dia menjabarkan panjang-panjang. Menjabarkan sesuatu terperinci itu susah lho bagi dia.” Dia: “Nggak enak, Prim digituin. Kamu jangan gitu, Prim.” Aku: “Aku melihat di sisi dia, nggak enak juga tau dikepoin begitu

Musim Gugur, Kisah Cinta, dan Prosa-prosamu yang Kusembunyikan

Musim Gugur, Kisah Cinta, dan Prosa-prosamu yang Kusembunyikan Musim Gugur Aku sangat menyukai musim gugur. Kauakan selalu melihat tampilan blog -ku yang selalu sama dari waktu ke waktu tahun-tahun terakhir. Kuharap ini tak lagi membuatmu jerih untuk memahami. Aku menyukai musim gugur—walaupun tak pernah kuinjakkan kaki ke negara empat musim—sedari lama. Mungkin hanya dari beberapa literatur dan juga film di televisi. Kautahu literatur yang sangat menarik buatku? Salah satunya kudapati pembatas buku cantik dari kering jingga merona daun maple saat musim gugur tiba. Tiba dan menutupi lantai hutan yang semula adalah kanopi. Kanopi itu semulanya aku ibaratkan kerudung. Kerudung yang selalu menutupi kepala—dan dalam beberapa kesempatan wajahku—karena malu. Mereka bilang, literatur yang menyajikan tentang musim gugur terlalu mendayu. Sebagai bukti—kata mereka—, tidak pernah ada telenovela mengangkat musim gugur sebagai kisahnya. Meskipun musim gugur setara dengan musim salj

Cinta Hitam

Cinta Hitam Di laptopku sudah tertuliskan 23.03 WIB saat aku mulai menuliskan catatan ini. Well, hari ini akhirnya setelah hampir seminggu, aku benar-benar tidak bisa banyak bergerak. Pagi tadi saja, enam jam sudah aku habiskan untuk tertidur lagi. Ditambah pula dengan rangkaian keringat dingin di mana-mana.           Aku ingin rasanya tetap tidur saja... Aku sadar sebagai seorang perempuan, mau tidak mau, pasti memiliki sisi perasa. Aku pribadi secara sepihak mendeklarasikan bahwa sisi perasaku sangat kuat. Adapun jika aku terkesan acuh terhadap suatu hal, bisa jadi hanya di luar saja. Bisa jadi pula, itu bukan hal yang aku anggap harus intens menjadi perhatian. Sehingga aku berhenti untuk sensitif.           Sayangnya, sepertinya usahaku untuk menguatkan rasionalku belum cukup. Begitu banyak hal yang harus kucemaskan. Aku tidak ingin cemas, tapi keadaan memaksaku untuk cemas. Entah berapa kali aku menepis kecemasan yang menyesak di dadaku. Mengusirnya dengan sepe

Kota Lain

Kota Lain Apakah perasaanku akan menjadi lebih baik jika berkelana? Ke tempat lain, ke dunia lain, ke dimensi lain? Tak pernah dikenal dan dijamah sebelumnya? Berhakkah mencari suatu yang menenangkan dengan berkelana ke kota lain? Di kota lain, siapakah yang akan kutemui? Seorang pendosa, Seorang pendusta, Seorang pendoa, Seorang yang bersuara, Hingga rintih itu terdengar di sebuah tempat yang masih menjadi bahan pertanyaan. Di kota lain, Tak kupunyai mata uang yang kalian kenakan. Tak kupunyai juga suara-suara sengau menderit khas kalian. Aku tetap menjadi seorang yang asing. Entah mungkin di manapun aku berada. Kota lain dapat kumiliki dengan beberapa baris paspor, visa, dan uang jalan. Tapi apakah semuanya dapat membeli sebuah identitas? Dan apakah identitas itu dapat mengobati rasa sepi itu? Oh, tak lagi aku tahu. Pada akhirnya, kutemui, Dan akan selalu kutemui bahwa Kota yang tak pernah sampai dan selesai untuk kujamahi Adal

Catatan dan Sedikit Tentang Takdir

Catatan dan Sedikit Tentang Takdir Semester 7 adalah tingkat yang paling acak-acakan sejauh ini. Lihat saja catatan yang biasanya selalu tersusun rapi sudah bertaburan bak kisah-kisah terbuang. Kubuka secara acak pula, kutemukan sebuah kalimat dengan tulisan tanganku yang secara sepihak kunyatakan ia berkaitan dengan apa yang aku alami sekarang, "Abdullah bin Samit berkata kepada putranya, "... Hakikat iman bahwa apa yang ditakdirkan menimpamu tidak akan meleset darimu. Dan apa yang tidak ditakdirkan padamu tidak akan menimpamu."" Di catatan tertulis lemah dalam tinta yang mulai menangis dalam luber yang sedih, "8-11-2013". Tak perlu kautanya siapa dan apa literasinya telah aku cocokkan. Melihat keadaannya yang terlampau lusuh, sudahlah pasti belum kuliterasi lagi dengan barisan buku-buku di rak atau lewat pencarian dunia mayaku.                                                                             *** Manusia tak bisa mengatur tak

Lintasan Pikiran #1

Lintasan Pikiran #1 ___Merekonstruksi kejadian Desember 2013 lalu: Mala: "... Kasihan, Prim. Kalau kata penelitianku sih, ada dua lokus kendali, yaitu internal dan eksternal. Orang yang senangnya selingkuh itu... (sambil mengendarai motor tangannya seolah menjelaskan dengan mahasiswa) ...perlu lokus eksternal. Tapi kalau ceweknya lemah, susah. Apalagi kalau si cowok nggak punya inisiatif memperbaiki lokus internalnya. Susah!" Aku: “Ya begitulah... (mengambil nafas berat kemudian diam sejenak) Hem... (mengangkat tangan kanan dan memijit dahi dengan sok bijak) Ck, ah, bagaimana mau bersatu jika visi-misi saja tidak sejalan?" Mala+aku: “Eaaa....” Mala: (tertawa sampai oleng bawa motor) Aku: (panik) “Heh! Konsentrasi, woy! Nyawa nih, nyawa!! *** __Merekonstruksi kejadian kelas 1 SMA: X: “Jadi selama berproses, apa kendala utamanya?” Y: “Susah membagi waktu, Kak.” X: “Maksudnya?” Y: “Ya, susah membagi waktu. Antara sekolah, teater, d

Kamu Sampai Mana, Prima?

Kamu Sampai Mana, Prima? Belakangan ini akibat aku sering di rumah disebabkan suatu hal, terjadi sesuatu hal dengan kepribadianku. Aku menyimpulkan aku sangunis-melankolis sekarang. Belakangan ini karena di rumah terus, aku cenderung mengeluarkan kemelankolisanku. Jadi suram-suram bagaimana begitu. Aku jadi sering menyalahkan diriku sendiri. Jangan bilang ini tidak boleh. Karena ini dicontohkan juga oleh para tabi’in dan tabi’ut tabi’in dalam beberapa literatur yang aku baca. Menurutkau pribadi, ini juga lebih baik dibandingkan aku memarahi orang-orang sekitarku. Sama sekali tidak elegan. Aku pernah mendapati diriku demikian. Sewaktu berusia belasan. Aku merasa tertinggal jauh. Orang-orang sampai mana, aku masih sampai mana. Alhasil, aku tertinggal jauh sekali. Mungkin aku bisa menyalahkan keadaan. Momentum yang tidak ada, keadaan yang tidak memungkinkan. Begini dan begitu. Akan tetapi, ketika melakukan itu, tidak ada yang terjadi, bukan? Itu menyalahkan takdir Allah, bung

I Am Not A Nice Guy

I Am Not A Nice Guy “I AM NOT A NICE GUY.” Begitu kalimat seorang aktor dalam laganya di televisi saat aku menemani adik dan ibuku menonton. Kalau ada yang stalking —bukan bermaksud berharap sih. Pemikiran ini muncul begitu saja melihat fenomena kawan-kawanku yang stalking bilang-bilang. Siapa tahu, kan, mereka ikut stalking di sini?—ini blog yang isinya tidak seberapa ini, aku sudah pernah mengungkapkan bahwa diriku sangat tidak mengerti. Aku sangat tidak mengerti pemikiran dan psikologis para laki-laki. Jelas karena aku adalah seorang perempuan. Kaitannya dengan kalimat tadi juga sama dengan apa yang pernah aku tuliskan. Bagaimana seorang laki-laki bisa membiarkan seorang perempuan yang dicintainya. Tapi dalam keadaan dia berkencan, berpacaran dengan perempuan lain. Bagiku itu sangat tidak logis. Hal tersebut juga notabenenya tidak sesuai dengan makhluk logis bernama laki-laki. Aku hanya menyintesiskan semua itu bahwa dalam beberapa hal, perempuan dan laki-laki dapat

perempuan penunggu api

I jika angin selatan memang ada, aku meminta belas kasihnya agar apiku tak lagi peri entah pada sajak ke berapa kumainkan perasaan-perasaan kuaminkan pikiran-pikiran berperisa pada kacang-kacang dan beberapa makanan ringan berbau asap--tapi bukan berasal dari dapur yang sejenak terkesan ramu II mataku memandang peri api-api. dan berharap ia menjelma anak. sehingga tak lagi picis. kami perempuan penunggu api, setia menanti. di penghujung trotoar yang sunyi. saat manusia kembali. bersama setumpu api yang tak padam jadi arang, adakah sejenak tempatku menyusun masa lalu? ah, barangkali hanya setangkai melati ibu, juga ranting-ranting mahoni, dan dedaunan akasia yang menyerpih. menyerpih di dalam raungan api kecilku yang kini kian menua. beberapa sajak telah selesai dan kulempar pada api. hingga hangus terbakar dan mengabu. terbawa pada angin. menuju utara. di tempat kauberada. Bandarlampung, 7-5-2014 Prima Helaubudi

perempuan penunggu hujan

di setiap garis hujan yang turun gelisah gerah di pangkal musim kemarau membentuk ritmis tipis menggaris pada mantel abumu yang kusukai itu mendung hari ini membawa hujan ke tempat lain meninggalkanku dengan secangkir kopi yang akhirnya kuhabiskan sendiri setelah hirup dan beberapa silap dipersilahkan oleh kemilau yang tak kunjung jadi pelangi selandai-landainya hari yang bersatu melawanmu di meja persidangan perpisahan ada aku, kamu, dan kita yang tak berujung menjadi siapa-siapa hanya untaian kata (yang terkesan) tanpa makna hingga awal bulan baru datang aku tetap menunggu hujan tapi aku tidak lagi ingin menemui hujan (seperti) hari ini yang malu-malu Bandarlampung, 7-5-2014 Prima Helaubudi