Fakta Lagi tentang Diri Sendiri #1
Fakta
Lagi tentang Diri Sendiri #1
Hanya menebak. Mungkin di sudut lain
layar laptop yang kini sedang kugunakan mengetik ada orang lain. Ya, kamu. Yang
sedang membacanya dengan adegan mata kilar-kilir di sepanjang kursor.
Atau mungkin tidak. Maka, anggap aku
adalah orang ge-er-an. Sighh... aku tidak mengerti kenapa di usiaku yang sudah
kepala dua ini, aku jaddi suka curhat di media maya. Sebenarnya mungkin ini
efek sugesti.
Hem, aku pernah menyugesti diri sendiri.
Banyak sekali. Dan pro-kontra banyak bermunculan di dunia nyata maupun maya
tentang sifat-sifatku.
Aku terkadang tercengang bagaimana dunia
nyata dan maya memberikan suatu pembedaan besar buatku. Bayangkan, jika di
dunia nyata, aku terkenal sebagai perempuan ‘angker’ yang selalu membuat lawan
jenis dan sesama jenis segan dan harus berpikir masak-masak untuk hanya
bertanya nama. Seseorang mengatakan padaku, “It’s wonderful! Dengan demikian,
kamu bisa menyortir siapa-siapa yang dapat masuk ke duniamu. Dan jelas itu
bukan sembarangan orang.”
Is it wonderful? Hemm...
Sebaliknya, jika di dunia maya, atau di
dunia yang mengenakan media dua dimensilah minimal, aku terkenal sebagai
perempuan yang supel dan sangat menyenangkan. Mungkin ini hanya persepsi
sebagian orang, namun, dari jumlah, anggap saja itu sudah banyak.
Seperti aku menulis blog ini, sebenarnya
menulis bukan suatu hal yang jadi bakatku sedari kecil. Seperti juga membaca.
Bakatku adalah analisis. Makanya jadi anak manajemen. Hehe...
Aku orang kinestetik dan juga dominan
audio. Jadi membaca suatu hal yang tadinya momok bagiku. Tapi tidak sekarang
setelah ada kejadian dan perintah menyukai membaca. Aku juga berasal dari
keluarga yang tidak berpendidikan terlampau tinggi. So, mungkin lingkungan
kali, ya?
Banyak orang di kehidupanku yang
menyatakan aku berkepribadian ganda. Kadang bisa sangat manis dan supel. Tapi
di sisi lain, bisa galak dan beringas. Kenapa harus diributkan? Semua orang
memiliki sifat yang bertolak belakang. Semua sifat-sifat itu. Hanya saja,
mungkin aku orang yang terlalu lugu untuk menunjukkan keduanya kepada
orang-orang sekitar.
Jangan salah, aku tadinya adalah orang
introvert sempurna. Dipukul tidak bereaksi, dibercandai tidak bereaksi. Hemm...
benar-benar seperti patung. Dingin dan acuh. Aku mulai bereaksi ketika bertemu
dengan orang-orang yang memang tulus mnencintaiku sebagai sahabat. Merekalah
yang dikirimkan Allah untuk membuatku berpikir ulang membuka hati.
Membuka hati? Ya, aku bukan orang yang
pandai dalam membuka hati. Dan setiap orang tahu itu. Bahkan ibu dan ayahku
sering tidak paham apa-apa yang aku pikirkan. Namun, kepada beberapa orang yang
aku bisa katakan ‘profesor’, yaitu sahabat-sahabatku, mereka bahkan bisa
mengetahui apa yang aku pikirkan sebelum aku membongkarnya.
Soal perasaan, aku memang dipahamkan
oleh keluargaku bahwa pernyataan ‘maaf’, ‘terima kasih’, ‘tolong’ dan menangis
adalah hal yang paling menjijikan. Seyogyanya perempuan yang itu memang
tabiatnya, aku sering dipukul karena tidak patuh. Hingga akhirnya aku
memutuskan untuk patuh.
Kemudian, sahabat-sahabatku datang dan
mencoba mengembalikan diriku. Aku mencair kepada mereka. Tapi dingin dan acuh
tetap tidak bisa hilang dari diriku. Mereka terlanjur masuk dan menjadi
pribadiku.
Aku dulu seperti orang gila. Jarang
bicara. Seolah bengong dan bego. Tapi, aku berpikir. Dan jangan berharap aku
akan berpikir sambil memegang buku. Buku adalah barang mahal di keluargaku. Aku
mengamati dan mencocokkan. Memilih dan menganalisis. Kadang saking hatiku
sesak, aku sering menjadikan ujung telunjukku sebagai pena dan menuliskannya di
udara. Berharap ada yang membaca. Meskipun jelas itu hanyalah imajinasi yang
bodoh. Namun, aku tidak berhenti. Bahkan sekarang.
Beberapa hari ini, aku merestrukturisasi
ulang pikiranku. Di sela-sela waktu libur untuk menjelang UAS, aku justru
banyak bersendiri dan menemukan fakta lain. Aku tidak menjadi orang yang
benar-benar sadar tiga tahun terakhir. Entah apa yang terjadi. Aku mencari
sebab. Dan, yak, kematian salah seorang di kehidupanku ternyata adalah penyebab
terbesarnya. Aku menyadair bahwa sebagian besar yang kulakukan adalah karena
keinginannya. Dan bodohnya, aku menghabiskan bertahun-tahun demi mencari
‘hantu’ yang ternyata aku tidak sadari.
Apakah semua terlambat? Entahlah.
Mungkin ya, mungkin juga tidak. Aku merestrukturisasi ulang sugestiku.
Membangkitkan ego, id, dan superegoku untuk bangkit. Membiarkan mereka
berkecamuk dan ribut dalam benakku. Aku memerintahkan mereka bangun. Akhirnya
aku memilih...
Ya, aku memilih untuk membangkitkan
semua kenangan dan rasa sakit. Sebab aku mulai merasa bersalah ketika
orang-orang terdekatku mambicarakan masa lalu—bahkan di masa yang dekat seperti
SMA akhir—, aku tidak ingat apa-apa. Aku bahkan tidak ingat apa-apa yang aku
lakukan kemarin lusa. Benar-benar hilang ingatan, tapi tidak hilang.
Aku lupa banyak hal. Dan aku teringat
bahwa ketika rasa sakit akibat kehilangan orang tua pernah hadir, aku
menyugesti diri untuk cepat melupakan sesuatu. Dan ternyata, itu dikabulkan.
Aku sungguh tidak tahan melihat raut kecewa orang-orang terdekatku yang selalu
percaya pada ingatanku. Percaya atau tidak, aku sangat hafal tentang masa lalu
kehidupanku. Tidak sedetikpun aku lupa. Namuns ejak insiden itu, aku melupakannya.
Aku bersyukur saat aku menyugestikan
kelupaan itu, aku tidak meminta benar-benar hilang ingatan. Melupakan
segalanya. Untung hanya sedikit.
Sejujurnya, sungguh sangat menggairahkan
berpikir tetap seperti ini. No pain. Tapi, aku harus memilih. Ingat semua
sedetail-detailnya, atau melupakan segalanya. It’s simple. Tidak seperti
sekarang, setengah-setengah. Menyiksa.
Semoga ini keputusan yang tepat.
Aku memang memilih untuk berubah. Sebab
aku adalah manusia yang punya juga kehendak untuk memutuskan di dalam takdir
yang berjalan.....^^
Bandarlampung, 19 Juni 2013
Kembalilah semua kenangan...
Komentar
Posting Komentar