Mencuri Sikap


Mencuri Sikap

M-e-n-c-u-r-i

Mencuri adalah kebiasaan yang tidak boleh kita lakukan, bukan? Namun, bagaimana jika yang kita curi adalah sikap? Mencuri sikap? Ya, judulnya agak mendeterminasi sesuatu hal yang konotatif bin negatif. Kalau diperhalus (ameliyorasi) kita dapat mengatakan ‘mengimitasi’ atau menginternalisasi. Namun, bagiku agak asing dan berat untuk menjadi sebuah judul pembuka.
Intinya, aku hanya menegaskan bahwa mencuri sikap adalah suatu hal yang positif. Aku adalah tipe orang yang doyan untuk melihat kebaikan dalam diri orang lain dan menginternalisasikannya ke dalam diriku pribadi. Menurutku, itu lebih baik ketimbang sibuk dengan kejelekan orang lain.
Beberapa ada yang bertanya, “Kalau demikian, bukankah kamu berbohong dan tidak apa adanya?”
Mari kita luruskan mis-persepsi ini. Manusia memang terlahir dengan karakter bawaan. Ya, karakter takkan berubah. Namun, kepribadian dapat berubah. Dan inilah yang patut diusahakan oleh setiap manusia yang ingin disebut di akhir sebagai orang baik.
Seseorang pernah menyatakan kepadaku, “Manusia itu tidak apa adanya, Dik. Jika manusia hanya apa adanya, maka manusia tidak akan mencoba membuat pesawat terbang dan menerima bahwa manusia hanya bisa berpergian dengan kedua kakinya di darat.”
Filsafatis. Namun, lihat dari segi hikmah. Jangan buang keyakinan dalam aqidah kita bahwa semua memang telah ditakdirkan. Tapi tetap, usaha dibutuhkan.
Baru saja kemarin, aku membaca sebuah artikel tentang kebiasaan orang Jepang. Sebuah kebudayaan kuat yang—insya Allah—belum berubah.
Ada orang yang mengatakan, “Orang Jepang adalah orang Islam tanpa syahadat.” Aku tidak setuju dengan hal ini. Orang Jepang adalah makhluk Allah juga. Terlepas mereka Islam atau bukan, mereka juga memiliki takdir kauniyah yang didapati semua makhluk. Jadi, mereka dapat saja jadi baik jika memang ditakdirkan. Koreksi jika aku salah secara agama.
Back to the topic, ada apa dengan kebudayaan Jepang satu ini? Mungkin harus kukecilkan ruang lingkupnya menjadi sikap.
Dalam sebuah penelitian disebutkan sebuah fakta menarik. Facebook merupakan aplikasi yang tidak populer di Jepang. Alasannya sederhana. Orang Jepang tidak suka mengekspose dirinya di dunia maya. Mereka cenderung lebih menyukai Youtube yang memang tidak memerlukan banyak tetek bengek detail seseorang. Di samping memang ia disukai karena memiliki aplikasi bahasa Jepang. Kita tahulah bahwa orang Jepang bangga dengan bahasanya. Tidak seperti mungkin, aku, orang Indonesia yang pelajaran bahasa Indonesia masalah Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) saja masih remedial.
Lalu, saat ‘berselancar’ dalam dunia blogger, pernah ada kejadian di mana seorang siswi Jepang diajak—atau lebih tepatnya dipaksa—berkenalan dengan seorang pria berkebangsaan Amerika lewat jejaring tersebut. Sebuah sikap datang kembali. Wanita-wanita Jepang sangat tidak suka berkenalan dengan orang asing. Jadilah siswi tersebut menolak. Kejadian ini menyebar dan kemudian menjadikan sekolah menetapkan peraturan mengaburan identitas jika berada di ranah maya.
Sebagai orang yang dahulu pernah tergila dan otaku dengan kebudayaan Jepang, aku mendapatkan ilmu baru. Sebuah sikap baik. Akhirnya, aku terdiam.
Setelah membaca itu, aku menapaktilasi diriku. Aku mengaku bahwa tidak suka terlalu dikenal dan ‘berselancar’ dengan santai. Aku jadi bertanya kembali, “Apakah demikian?” pada diriku.
Bukankah dalam Islam, memang seorang wanita tidak diperbolehkan ‘menggadaikan’—secara kata kasar—dirinya di hadapan laki-laki? dan memang sepatutnya kita marah dan menganggap rendah orang-orang yang sekadar kenal dan mempermainkan kita. Apalagi di jejaring sosial. Kita dapat lihat muda-mudi bukan mahram yang sibuk chatting tanpa terlihat. Memalukan.
Aku memang tidak seperti orang Jepang yang menyembunyikan 100% identitasnya dan berselancar dengan nama samaran. Aku tidak bisa demikian.
Aku tidak bisa demikian karena aku menemukan sisi lain. Sisi lain bahwa banyak orang yang tidak bertanggung jawab menggunakan kesempatan jadi anonim dan mengacak-acak dunia orang lain. Orang-orang yang memberikan komentar-komentar rasis dengan serius, misalnya. Dan itu sangat tidak bertanggung jawab. Mereka mudah kabur dengan akun-akun tidak beralamat mereka. Ini bukanlah sesuatu yang aku inginkan.
Alhasil setelah berpikir kritis terhadap diriku sendiri seharian ini, aku menemukan sikap pertengahan. Sikap itu bahwa, ya, aku akan tetap menggunakan nama asli untuk apapun. Bukan nama samaran sebagai salah satu bentuk tanggung jawabku terhadap media maya. Namun di sisi lain, aku akan menghilangkan beberapa jejak profilku yang setelah ditilik dan dibandingkan dengan beberapa orang yang secara kasat mata—insya Allah—lebih keimanannya dibandingkan diriku sangat narsis.
Subhanallah! Bahkan di dunia maya pun kita punya celah fitnah dan untuk ujub, riya’, serta sum’ah.
Whoever yang membeberkan tulisan itu kepadaku di Facebook, aku berterima kasih atas pencerahannya.

Bandarlampung, 26 Mei 2013
Nggak seberapa penting... namun kalau ada faedah... silahkan ~~

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA