Setinggi Langit Seharum Bumi
Setinggi
Langit Seharum Bumi
Lebih kurang satu tahun lalu,
aku bertemu dengannya di suatu situasi. Aku haus, sangat haus akan ilmu. Hingga
Allah menuntunku menemui seorang guru yang dahulu menampar kesadaranku. Dia
mengenalkanku padamu di sutu ketika yang Lauh Mahfuzh telah uraikan.
Kesayanganku.
Engkau bercerita. Pada awal, kulihat rumahmu yang memiliki bebauan
khas yang ransum di penciumanku. Kudengarkan dengan lamat dan hikmah setiap
kata yang kaudendangkan mesra tentang Rabb Semsta Alam.
Lambat laun, aku mengenal dan mengetahui sejumput cerita yang
tertoreh di bibir cokelatmu.
Aku tahu engkau adalah seorang wanita tomboy yang sering berkelana. Terhitung Denpasar, Makassar, NTT,
telah kautaklukan; terlalui dengan bangga.
Aku tahu engkau pernah bergabung dengan tim basket sebuah kampus.
Aku juga tahu bagaimana kemudian dirimu setengah hati bergabung
dalam tarbiyah. Aku juga tahu betapa
bandel dirimu hingga murobbimu
menyeretmu untuk hadir.
Aku juga tahu, ketika engkau bercerita perkara hijrahmu yang bertahap. Engkau mulai membatasi diri dengan tidak
lagi bersafar tanpa mahram dan lebih sering diam di tempatmu
berada.
Lalu, aku tahu dari kisahmu bagaimana akhirnya engkau berhijab. Berhijab sedang.
Lalu, aku juga tahu bagaimana kemudian engkau memperpanjang hijabmu dan gemar mengenakan busana abaaya gelap.
Aku juga tahu bagaimana engkau dicurigai oleh keluargamu hingga di
sidang.
Engkau juga tanpa sadar bercerita padaku bagaimana engkau dilempar
dengan handphone dan buku-buku tebal
demi menggadaikan keimanan yang engkau yakini.
Aku haru saat mendengar bagaimana engkau diusir dari rumah dengan
cadarmu itu.
Lalu, dengan itu, engkau terlontang-lantung di kosan seorang akhwat. Seadanya, engkau mengajar.
Engkau mencari penghidupan. Sesuatu yang aku tak bisa bayangkan.
Lalu, setiap diminta kembali, dengan rendah hati engkau kembali.
Namun, dengan keteguhan bahwa keputusanmu akan diterima. Namun, tidak. Orang
tua yang paling menyayangimu ternyata memasung kebebasanmu beragama. Dan
kembali engkau pergi dengan duka.
Hatimu teriris. Namun, engkau tahu bahwa mereka tetap orang tuamu.
Engkau tetap berbaik hati menghubungi mereka. Seperti baja, engkau keras saat
mereka memintamu melepas agamu. Sesuai firman Allah dalam Alquran.
Akhirnya, engkau menikah. Alhamdulillah
dengan ikhwan yang insya Allah shaleh. Dan itupun engkau
belum diterima oleh orang tuamu.
Orang tuamu tidak hadir di sana meskipun kata ‘iya’ sudah dilontarkan.
Engkau berhenti bekerja demi sebuah sunnah yang ditetapkan bahwa wanita haruslah berada di rumahnya. Engkau
pun paham benar bahwa suamimu akan berkelana; berpindah. Engkau tak ingin
menyusahkannya.
Setahun berselang, orang tuamu baru menerima keputusanmu dan mulai
menghampirimu dan keluarga setelah bertahun tercampakkan.
Lambat namun pasti, waktu berganti. Bertahun-tahun lamanya engkau
belum memiliki keturunan dari suamimu. Engkau merasa itu ujian dan khawatir.
Engkau dengan segenap hati menawarkan suamimu untuk berpoligami.
Suamimu tidak menggubris dan tetap pada keputusannya bermonogami.
Was-wasmu tetap kausiagakan. Mawas.
Akhirnya, engkau hamil. Tapi, engkau kembali was-was bahwa itu
adalah bentuk ujian lain berupa kesyukuran. Dan engkau kembali mengungkapkan
tawaranmu pada suami untuk berpoligami. Suamimu tetap geming.
Engkau berkelana, tidak bersafar
selain bersama suamimu. Menahan diri dari keduniawian dan penuh syukur tidak
mengenakan celana dan bersikap jahil.
Masya Allah. Sesuatu yang sulit
kubayangkan. Hingga kini engkau memiliki tiga orang anak di suatu tempat yang
jauh.
Perjumpaan yang telah berakhir. Semoga dapat berjumpa kembali.
Engkau mengingatkanku bahwa langit itu tinggi dan bumi itu harum.
Seindah pemimpin bidadari surga. Begitulah sesosok muslimah
seharusnya.
Bandarlampung, 26 Mei 2013
Uhibbuki fillah... :)
Komentar
Posting Komentar