Kamu Tak Pernah Ada Untukku

Kamu Tak Pernah Ada Untukku

“Kamu tak pernah ada untukku. Maka, jangan salahkan aku tak pernah ada untukmu...”

Kamu menunjuk ke arah dadaku. Menekan-nekan dengan jemari runcingmu layaknya pisau yang ditebaskan di daging yang kebas. Hanya saja, hatiku ini bukan daging dari hewan mati yang sudah tak berasa. Ini seperti tepat engkau menunjuk ke hati yang pada hakikatnya, entah di mana.

Sejenak aku terdiam. Engkau menunggu sepatah kata dariku. Tapi aku hanya bisa diam menanggapi emosimu yang luar biasa di pagi hari mengguntur ini. Aku tak tahu. Apakah aku akan mengajakmu bertengkar di sini, di kampus besar yang kini mahasiswa semester awal mulai memperhatikan? Atau aku akan bercanda seperti biasa saat kita tak ada masalah? Aku rasa, aku tak tahu. Ah, seandainya ini adalah media dua dimensi, tentu tidak seberat ini.

Kamu tentu paham bahwa aku tak bisa mengungkapkan perasaan hebat yang membadai di hati. Kamu hanya tahu wajah kekanakkan ini siap mendengarkan setiap keluhmu di kafe, kantin, atau bahkan pinggir jalan yang kautentukan seenaknya. Dan aku hanya purna mengikuti kemauanmu. Engkau tentu tahu, lidahku ini hanya sepantasnya dituliskan lewat kata di dua dimensi. Sebut saja kertas, atau media-media lainnya. Aku menahan segala perasaan yang ada.

Membisu, aku hanya bisa pasrah menerima teriakanmu di lorong fakultas kita. Aku benci pada diriku yang dengan cepat memilih untuk segera berbalik dan pergi dari tempat yang menjadi Jahannam ini. Aku masih memikirkan harga dirimu.

Aku melewati lorong-lorong yang terasa amat panjang ini. Laki-laki yang duduk di tetaman mulai melihat dan bercanda. Mereka pura-pura tidak mengetahui yang telah terjadi. Sementara para perempuan mulai berbisik. Ah, mereka pastinya biang gosip yang sudah tersohor. Ada pula yang terdiam membuang muka ke arah yang ganjil.

Aku tidak mau perduli. Tapi sesungguhnya aku perduli. Aku tidak berharap kamu mengejarku untuk sekali ini saja. Aku tidak berharap. Namun, aku hanya ingin kamu memeluk tubuh ini dan berkata, “Maafkan aku.” Apakah sebenarnya aku berharap kamu mengejarku? Bagaimana perasaanku ini sebenarnya? Entahlah.

Matahari bersinar keperakan diterkam dengan mendungnya langit. Mengguntur tanpa hujan. Lalu seperti merangkulku, hujan tiba-tiba menampakkan wajahnya. Langsung saja sekaligus dengan badai. Mengabut.

Aku menoleh ke belakang sejenak. Berpura-pura sewajar mungkin melihat apakah engkau masih berada di sana. Engkau berlari dengan ekspresi yang kehilangan. Mengejarku. Iya, inilah sahabat yang sesungguhnya. Akhirnya kamu mengerti bahwa aku memang menyembunyikan segala masalahku darimu belakangan ini. Bahwa aku sebenarnya bukan tak ingin mendengarkan permasalahanmu. Aku tidak ingin membebanimu. Engkau begitu spesial.

BRRRRAAAAKKK...!!!

Samar. Wajahmu menitiskan air mata. Atau itu hanya hujan? Aku tak tahu. Aku hanya tahu semua terasa ringan. Ringan sekali. Aku ingin menutup mata.


Bandarlampung, 12 Juni 2013

Prima Helaubudi
Nyoba lagi membuat cerpen... :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA