KISAH-KISAH YANG MENGINGATKAN Karya : Iswadi Pratama
KISAH-KISAH YANG
MENGINGATKAN
Karya
: Iswadi Pratama
Fragmen Pertama
Perempuan itu Berdiri di depan jendela. Menatap lurus
ke arah hujan yang hampir reda di luar sana. Sedang di sebuah kursi, di sisi
ruang lainnya, seorang laki-laki duduk terpaku menatap padanya. Lalu semua
kisah, semua kenangan berlintasan.
Perempuan
: Kalau saja jalanan itu tak pernah ada, mungkin kau tak akan melintas di sana
dan bertemu aku. Tetapi jalanan itu terlanjur ada, maka bermulalah semuanya;
kisah-kisah itu: harapan dan kecemasan itu. Ingin kuledakkan saja semua
yang bersarang di otak belakangku. Tetapi jalanan itu akan melahirkannya
kembali. Jauh lebih buruk dari sebelumnya…
Lelaki
: Apa kau sedang membicarakan kita?
Perempuan
: Yang indah selalu luput dari kata-kata...
Lelaki
: Apa kau sedang membicarakan kita...?
Perempuan
: Aku hanya mengenang?
Lelaki
: Mengenang kita?
Perempuan
: Mengenang kenangan…dongeng-dongeng, cerita, kisah-kisah..
Lelaki
: Apa ada kita di sana?
Perempuan
: Tak ada siapa pun, hanya ingatan
Lelaki
: Tolonglah….katakan bahwa kita pernah
ada di sana
Perempuan
: Kau datang suatu hari dan bercerita tentang apa saja, seperti biasanya.
Aku cuma menyimak ceritamu, seperti biasanya pula. Lalu aku merasa
utuh, dan kau merasa lengkap. Kita duduk di beranda sambil menikmati sore
yang tergesa. Menyaksikan anak-anak berlarian di lapangan desa..
Lelaki
: Aku tak berani merangkul bahumu, tapi bahagia..
Perempuan
: Aku tak berani memandang matamu, tapi bahagia…
Lelaki
: Aku tak kuasa mencium keningmu, tapi bahagia…
Perempuan
: Aku tak sanggup bersandar di bahumu, tapi bahagia…
Lelaki
: Kau hanya menyuguhkan segelas kopi, dan aku bahagia
Perempuan
: Kau berpura-pura nikmat mencicipi kopi itu, dan aku bahagia
Lelaki
: Kopi itu terlalu manis..
Perempuan
: Serbuknya mengotori bibirmu..
Lelaki
: Kau cium selembar tissue lalu kau berikan padaku..
Perempuan
: Kau bersihkan bibirmu dengan tissue itu lama sekali..
Lelaki
: tissuenya kulipat dan kuselipkan dalam buku catatan…
Perempuan
: Lalu kau berlari ke tanah lapang itu dan ikut bermain bersama
anak-anak.
Diam-diam aku ikut mencicipi kopimu dan mencari-cari bekas bibirmu
pada
gelas itu..
Lelaki
: Sebenarnya aku sempat melihat ketika kau mereguk kopi itu, hatiku semakin
mengembang dan tubuhku terasa ringan…aku terus berlarian bersama anak-
anak itu..merasa sentosa dan
tentram..
Perempuan
: Sesekali kau masih memandang ke arahku yang tak bisa menahan tawa melihat
tingkahmu..
Lelaki
: Sebenarnya aku ingin kau datang ke tanah lapang itu dan berlarian bersamaku
Perempuan
: Sebenarnya aku ingin kau memanggil atau menghampiri dan menarik lenganku
menuju tanah lapang itu…
Lelaki
: Tapi aku tak melakukannya…
Perempuan
: Dan aku tetap diam saja, duduk terpaku memandangimu..
Lelaki
: Menjelang malam, aku berpamitan pulang
Perempuan
: Aku masih sempat membersihkan bekas rumput kering di rambut dan bahumu
Lelaki
: Sebenarnya aku ingin kau mencegahku berpamitan…
Perempuan
: Sebenarnya aku ingin kau tetap duduk di beranda itu bersamaku..
Lelaki
: Tapi kita tak melakukannya..
Perempuan
: Dan tak sempat mengucapkan apa-apa..
Lelaki
: Maukah kau kuceritakan lagi kisah itu…?
Perempuan
: Lalu kita tersesat di dalamnya?
Lelaki
: Tapi kita akan merasakan pesona
Perempuan
: Dan terus merindukan apa yang tak ada?
Lelaki
: Dengarkanlah…
Setelah tiba waktunya, perempuan yang bernama Sang itu pun, pergi menuju
ke
sebuah lembah di batas ingat dan lupa. Lembah itu dijaga prajurit bayangan
dan
hantu-hantu pemangsa kenangan yang tak bisa dikalahkan. Semua
yang mencoba merebut kembali kenangan yang adalah pesona dan keindahan
bagi seluruh penduduk negeri, tak satu pun yang dapat kembali.
Tanpa kenangan itu, mereka tak ubahnya para pengembara tanpa peta dan
arah, lalu perlahan-lahan terhisap jurang gelap kesepian… (perlahan suaranya
menghilang)
Sang berdiri mematung memandang ke arah
cakrawala yang dipenuhi burung-burung elang. Ia tampak seperti sebatang pohon
lapuk di tanah tinggi. Selendang yang telah koyak dan melekat di bahunya
itu berkibaran ditiup angin dari arah padang ilalang. Sementara di
dataran yang lebih landai, di sisi lain dari tempat Sang berdiri, Pembaca
Mantra bergerak beriringan bersama orang-orang desa yang rapuh dan
tua. Hening. Suwung. Tak ada suara selain gemersik angin di
hamparan ilalang dan pohonan.
Juru Kisah
: Dalam perjalanan, jangan sekejap pun kau lelap. Sebab, di batas
ingat dan silap,
Sebelum kau tiba di lembah para hantu, akan kau lalui hutan tempat sembunyi
arwah-arwah jahat yang menyediakan muslihat. Di hutan itu, semua yang kau
cintai
akan berpaling, segala yang telah kau campakkan bangkit menghadang.
Akan remuk jantungmu, akan tumpas segala daya, akan lumpuh semua pikiran, akan
berkeping semua ingatan. Jika kau mampu melampaui hutan itu,
kau akan tiba
di
lembah penuh ilusi yang dijaga para hantu. Menghadapi perang tanpa
akhir, perih
tanpa batas….sejuta mata pedang, panah, dan tombak-tombak beracun
akan terus
mencabikmu namun tak akan membuatmu tumpas. Tak ada yang mampu
menyelamatkanmu kecuali Yang Telah Dikehendaki.
(Hening). Dan di sanalah ia
kini…..
Sang
: Siapa Yang Dikehendaki itu?
Juru
Kisah : Kita
tak pernah tahu. Telah baratus petualang , pengembara, para pendekar yang
mencoba menyelamatkannya, namun tak ada yang kembali. Tak ada kabar selain
burung-burung gagak yang memenuhi cakrawala…
Kau boleh membatalkan niatmu. Jika juru mantra telah membukakan pintu-pintu
kabut
yang di baliknya membentang jalan menuju lembah itu, tak ada sesiapa yang
bisa mencegahmu…
Sang
: Mengapa kau mencoba membuatku meragukan hatiku sendiri?
Juru
Kisah : Kau
akan menghadapi hantu-hantu dan prajurit bayang-bayang
yang tak dapat dikalahkan. Setiap kali kau tikamkan pisau atau pedang,
perihnya akan
kau tanggung di badan….
Sang
: Tapi aku amat merindukannya….lebih baik aku terjebak dalam kecamuk perang
yang
tiada akhir itu bersamanya, daripada tinggal bertahan di tempat yang tentram
ini
sendirian, sementara jiwaku nelangsa terpaut padanya….
Hatiku hanyalah tempat bagi keindahan dan pesona
Juru
Kisah : Kau
akan dirajam dan tak bisa musnah, luka yang tak dapat disembuhkan..
Sang
: Nyanyian kebahagiaan dan kepedihan sama indahnya….semuanya hanyalah
keadaan- keadaan yang sama nilainya di dalam cinta. Aku tak ingin hanya
menanti
batas segala yang tak ada batasnya, menunggu akhir segala yang tidak ada
akhirnya.
Aku akan menempuh…..kini bentangkanlah di hadapanku segala rasa sakit
itu….
Dari balik gelap, muncul tiga sosok bayangan
menghadang laju kuda Sang
Kelebat
: Apa pun yang hendak kau cari, kumohon jangan pergi
Sang
: Siapakah engkau?
Kelebat
: Aku Kelebat. Aku adalah semua yang hendak kau tinggalkan
Sang
: Telah kuingat semua yang hendak kuingat, kulupakan semua yang hendak
kulupakan
Kelebat
: Aku tak berharap kau mengingatku, aku hanya ingin kau tahu, semua yang
ingin
Kau cari telah bersemayam dalam dirimu. Semua yang indah ada padamu.
Hantu-hantu itu tak pernah mengambil apa pun dari dirimu. Mereka hanya
membuat
Kau merasa telah kehilangan semua yang indah dari dirimu dan seluruh
penduduk
Negeri ini, agar kau—juga mereka semua--terus mencari, mengembara di lembah
lembah tanpa arah, tanpa kau sadari perlahan-lahan kau menjelma seperti mereka.
Sang
: Kalaupun yang kau katakan itu benar, bagaimana aku bisa bersabar
terpisah dari
Dia yang menjadi tempat di mana hatiku terikat. Biarkan aku pergi
Kelebat
: Bukankah dia telah begitu dekat menyertaimu. Hantu-hantu itu telah membuat
mata
Dan pikiranmu menipumu.
Sang
: Menyingkrilah dari jalanku….
Lalu mantra-mantra dibacakan,
syair-syair purba dinyanyikan. Tarian. Mengiringi Kedatangan Kuda Bersurai Biru
yang akan membawa Sang menuju lembah para hantu.
Pintu-Pintu kabut pun disibakkan!
Padang Ilalang yang dihuni seribu dongeng membentang. Sang menempuhnya bersama
kuda bersurai biru secepat angin menderu.
Dongeng
Ilalang
: Maka berangkatlah ia memacu kudanya. Hari pun gerimis, meski mendung
tak ada dan terang mash berjaga. Angin awal tahun memeluk tengkuk, prenjak
dan kutilang terkesiap di dahan dadap. Rerumpun kabut tersibak. Pilar-pilar
cahaya pun tegak.
Di hari yang sebenarnya telah letih, tubuh sang pertapa menghitam perlahan
Menghisap gelap dari tanah, pepohon, dan udara. Dari setiap lekuk dan celah
Lembah. Lalu Sang pertapa itu berbisik; ia pergi untuk pertempuran
yang
Musykil dimenangkan pun dielakkan…
Kuda bersurai biru larinya mendahului angin memintas waktu. Senja pun
berulang tenggelam. Ia tiba di tanah masa datang juga masa silam.
Padang ilalang tersibak.
Fragmen Kedua
Perempuan
: Kita selalu tersesat dalam kisah-kisah kita sendiri
Laki-laki
: Dalam kiasan-kiasan
Perempuan
: Terlalu banyak lambang
Laki-laki
: Terlalu banyak tanda
Perempuan
: Dan kita terus mengikutinya
Laki-laki
: Beratus-ratus tahun mengembara
Perempuan
: Beratus-ratus tahun bertanya
Laki-Laki
: Dan tak sampai-sampai
Perempuan
: Dan tak capai capai
Laki-laki
: Semuanya sudah usang
Perempuan
: Tapi harus tetap dilanjutkan..
Laki-laki
: Semuanya sudah selesai
Perempuan
: Cobalah memulai
Laki-laki
: Aku tak punya cerita lagi
Perempuan
: Dongeng, pantun, sajak, syair, kitab-kitab….
Laki-laki
: Berulang-ulang aku telah membacakannya untukmu, bosan..
Perempuan
: Kita tidak bisa bosan, mungkin masih ada yang indah
Laki-laki
: Semuanya sudah dijelaskan, tak ada lagi pukau….
Perempuan
: Berceritalah….! Kumohon…
Laki-laki
: Laki-laki itu pun akhirnya tiba di lembah tempat para hantu
menyembunyikan
seluruh kenangan; semua pesona itu: rasa sedih dan bahagia, kecemasan
dan ketenangan, harapan dan putus asa, ketentraman dan ketakutan, dosa
dan kemuliaan, kehancuran dan kebangkitan, restu dan kebencian,
kesejatian dan kepura-puraan…! (Perlahan suaranya menghilang)
Membentanglah tanah gersang. Tak
tumbuh selain perdu. Tak ada hewan selain kupu. Tak terdengar selain ngilu. Tak
ada warna selain abu. Di tempat itu, seorang lelaki; Yang Mencari, dengan tubuh
yang penuh luka berdiri dengan bertopang sebatang pedang.
Koor
Ranting
: Untuk siapa kau datang? Duhai si lemah yang banyak impian. Dataran ini tak
bertuan, hanya milik para pemberani. Enyahlah! Tubuhmu batang pisang!
Jiwamu
kain tua! Pikiranmu asap! Hatimu remah sampah! Enyah! Enyah!
Yang
Mencari
: Kalau mau pupus, pupuslah! kalau mau hancur, hancurlah! Kalau mau
musnah
Musnahlah! Kalau mau binasa, binasalah!.......(Bertarung).
Duhai kau yang menjadi pautan hatiku, kau pukau aku lalu kau luput dariku.
Kau sihir aku menujumu, tapi kau hapus semua tanda dan jejakmu.
Bahkan kini aku tak tahu, apakah aku menujumu atau menjauh darimu…!
(Bertarung)
Koor
ranting
: Di sini tak ada jawaban! Yang ada hanya pertanyaan. Sekali kau bertanya,
Seribu
malam kau akan gelisah,mencari dan tak menemukan apa-apa.
Enyahlah!
Enyah! Kau yang menyangka telah mengenal apa yang indah,
Padahal
hanya wajahmu sendiri yang kau puja! Enyahlah! Enyah!
Dari pintu-pintu Rumah Peribadatan
itu menggema suara-suara pujian yang tenang namun menyayat. Seperti gaung yang
memanjang. Seribu bayang-bayang di segenap penjuru.
Yang
Mencari
: (Dalam igauan)
Kau pukau aku, lalu kau luput dariku.
Kau pukau aku, lalu kau hapus semua tanda menujumu
Kau bujuk aku, lalu
kau hapus jejakmu dalam debu
Kau rayu jiwaku, tapi tak terbaca isyaratmu..
Kini,
jika mau pupus pupuslah! Jika mau hancur, berkepinglah!
(Di lembah itu, Di sepanjang jalan, tubuh-tubuh
mati seperti monumen-monumen dari segala rasa nyeri. Nyanyian, teriakan,
tangisan, menggema di mana-mana)
Yang
Mencari
: (dalam igauan)
Dengan seribu racun di darahku
Kutempuh semua hutan,semua wadi, semua ngarai, semua jurang…
Mengapa
hanya lengang, mengapa hanya teka-teki, mengapa hanya tanya..
Monumen
1
: telah kuarungi sunyi, kusebrangi yang fana dan sejati, kugendong mayatku
sendiri, kupanggul seluruh luka sakit hati. Aku berlayar di samudera
waktu, menyaksikan keruntuhan demi keruntuhan. Berharap sampai ke
mihrabmu…
Kini, dalam kobaran api pembakaran ini, temanilah aku…temanilah aku..
Monumen
2
: Loi..eloi, lamakh sabakhtani…(Tuhan, tuhan…jangan tinggalkan aku..)
Monumen
3
: Telah Kau belah dadaku bagi tempatmu, sehingga tak ada yang selainmu.
Tapi mengapa kabar tak datang-datang darimu? Apa kau membenciku..?
Mengapa kau biarkan aku sendiri….?
Monumen 4
: O..telah fakir aku!
Telah
kurenggutkan segala yang melekat pada diriku, agar hanya jiwa
Yang menanggung rindu tersisa untukmu….datanglah…..!
Yang Mencari
: Dimanakah batas, jika memang ada batas. Dimanakah akhir, jika memang ada
akhir. Datanglah datang segenap rasa sakit, rajamlah rajam…
Fragmen Ketiga
Perempuan
: Sebenarnya apa yang mereka cari?
Laki-laki
: Apa pun yang indah; kenangan, kekasih, cinta, kesetiaan..
Perempuan
: usang, konyol…
Laki-laki
: Apa ada yang selain itu…?
Perempuan
: Maksudku cerita-ceritamu: sepasang kekasih yang canggung dan senang
sekali
Bercerita . Dan ceritanya pun tentang sepasang kekasih yang selalu
tersesat
Dalam cerita-cerita, dongeng, legenda, yang usang dan konyol..
Laki-laki
: Apa kau mau membuatnya tak jadi konyol?
Perempuan
: Seharusnya Sang tak perlu meninggalkan negeri yang telah tanpa
pesona
itu.
Seharusnya dia tetap tinggal dan hidup sebagaimana setiap orang
hidup..
Laki-laki
: Pucat, gersang, angkuh sekaligus rapuh, dingin, datar, kesepian
(Menengadah ke langit)
Perempuan
: Sedang mengapa kau..
Laki-laki
: Melihat…
Perempuan
: Melihat apa?
Laki-laki
: Burung-burung, langit, cakrawala, keluasan…di sanalah…
Perempuan
: Di sini…
Laki-laki
: Aku pergi
Perempuan
: Temani aku….
Laki-laki
: Berceritalah…
Di layar; peperangan. Sang berada di
antara kecamuk itu dengan kuda bersurai birunya. Ia bertarung dengan seorang
yang seakan pernah ia kenal begitu lama. Apa pun yang dilakukan Sang, ia pun
bisa melakukannya dengan persis.
Kelebat
: Mengapa berhenti? Hunuslah pedangmu!
Sang
: Tidak. Siapa kau sesungguhnya?
Kelebat
: Hanya seorang sahabat yang lama tak kau ingat
Sang
: Kau yang terus menerus mengikuti langkahku untuk kemudian menghadangku
tepat
di saat aku tak wasapada, apakah ada itikad lain selain menghujamkan
belatimu?
Sahabatkah kau?
Kelebat
: Sejak kau disihir oleh keindahan syair-sayir itu, kau begitu mencintai apa
yang
di hatimu menjelma sebagai keindahan itu. Lalu kau mengabaikanku;
sesuatu yang bernama laknat, rombeng, busuk, najis, buruk, kegelapan..
Padahal, bisakah kau mengerti apa yang indah, bagus, terpuji, mulia, cahaya
Tanpa aku di sisimu?
Sang
: Kau boleh saja ada di sisiku, bahkan bersemayam di jantungku. Tapi tak
berarti
Aku harus percaya padamu.
Kelebat
: Aku tak meminta kau percaya padaku. Aku hanya ingin kau mengingat
Muasalmu. Kau tak terbentuk hanya oleh kecemerlangan cahaya. Kau juga
berasal dari segumpal najis dan kegelapan. Kau terlalu sombong ketika
hendak mencampakkanku. Kau hanya merindukan apa yang indah, tetapi
kau merasa telah memilikinya bahkan menjadi. Hingga tak pernah kau
memandang padaku, sekejap pun! Kau hanya seorang yang terpukau!
Sang
: Setidaknya aku terpukau pada apa yang menurutku indah
Kelebat
: Itu karena aku telah menujukkan padamu apa yang buruk. Kau tak pernah
belajar apa pun selain memuja dirimu sendiri. Selama kau tak memahami
ini,
Apa yang indah akan mencampakkanmu kembali. Dan hanya akulah,
Yang selalu berkenan menemanimu di saat kejatuhanmu. Aku datang, bukan
Untuk diriku sendiri.Tapi agar kau membenciku dan tetap merindukan yang
Indah
itu. Hingga kau bangkit lagi dan mencoba meraihnya dengan
Meninggalkanku. Aku tak memintamu membawaku serta. Aku hanya ingin
Kau sekali waktu memandang padaku agar kau mengingat muasalmu…
Sang
: Jangan kau tipu aku dengan kefasihanmu. Telah beratus kali kita lakukan
pertarungan ini dan tak ada yang berbeda. Selalu seperti ini. Jadi,
hunus saja pedangmu. Aku lebih senang mati karena menghadapimu daripada
harus percaya..
(Pertarungan antara Sang dan Kelebat. Apa
pun yang dilakukan Sang terhadap Kelebat, begitulah Kelebat melakukannya
terhadap Sang)
Fragmen Ke Empat
Tiga Perempuan di dalam sebuah ruangan
dengan terang lampu. Tiga lelaki ada di sisi luarnya, dalam remang.
Perempuan
: Masuklah, udara di luar amat dingin dan sebentar lagi gelap
Lakilaki
: Aku memang sedang menunggu gelap itu turun. Dari sini kau tampak
Lebih indah dan nyata bagiku
Perempuan
: Tapi, aku tak bisa melihatmu
Laki-laki
: Kaulah yang harus terlihat, kaulah yang layak di bawah terang lampu
Kaulah yang kini harus bercerita..
Perempuan
: Kau sembunyi dariku dan aku nyata bagimu. Kau merasa pasti dan bahagia.
dan aku terus menduga-duga dalam seribu tanya
Laki-laki
: Kecemerlanganmu, membuat apa pun yang ada padaku tak layak
Perempuan
: Apakah itu kebijaksanaan atau kelemahan?
Lakilaki
: Aku memujamu, tak penting apakah aku menjadi bijaksana atau lemah
Berceritalah…
Perempuan
: Dongeng dongeng, legenda, syair, sajak, nyanyian….usai sudah
Laki-laki
: Apa kau mau kupeluk?
Perempuan
: Nyatakah kau bagiku? Nyatakah aku untukmu? … Apa kau mau segelas kopi..?
Laki-laki
: Kopimu selalu kemanisan
Perempuan
: Aku masakkan semangkuk sayur dan ketupat?
Laki-laki
: Masakanmu selalu hambar…
Perempuan
: Maukah kau berpura-pura kopi yang kuseduh dan masakanku memang
sedap?
Lakilaki
: Maukah kau berpura-pura menyukai cerita-ceritaku?…
Perempuan
: Kita berpura-pura, tapi bahagia…
Laki-laki
: Kita bahagia, meskipun pura-pura..
Perempuan + Laki-laki : Kita berpura-pura
bahagia…
Lalu si lelaki hendak masuk ke dalam ruangan
yang terang. Namun tiba-tiba berhenti dan berpaling ke dalam gelap; menjadi
sosok dalam kisah-kisahnya…terlunta di kota-kota, pelabuhan, stasiun kereta.
Sementara para perempuan tetap menunggu di beranda itu.
Di stasiun Kereta
Sepasang Pengamen menyanyi dan berjoget. Seorang juru
kisah menceritakan kisahnya kepada orang-orang yang tak hendak diusik. Tak ada
tegur sapa. Sepi dan keletihan mencabik mereka.
Dalam keletihannya, ketiga lelaki kembali lagi ke
beranda menemui ketiga perempuan.
Sang, aku sudah di stasiun
Menunggu kereta malam
Kemarau menyisakan debu dan guram
Pada tiang tiang besi tua, sebaris bangku hijau
dan tubuh boyak pendongeng
Yang kehabisan cerita
aku bercerita pada seseorang
yang tak ingin mendengarkan
(apapun tak diminatinya selain jadwal keberangkatan)
pada pendongeng yang mnduga-duga
kisah apa yang luput dari ingatannya
sang, aku masih belum mengerti
apa yang patut kusimpan dalam perjalanan pulang ini
wisata ke kuil, pagoda, sungai-sungai bertuah, para
santo yang kecewa?
Sang, apa yang paling berharga dari setiap pertemuan
Selain ruang antara tadi dan nanti
Sang, aku sudah distasiun
Kau sudah kutinggalkan
Kereta mungkin tak datang
Perempuan
: Mengapa lama sekali…?
Lakilaki
: Aku sudah mencoba secepat-cepatnya
Perempuan
: Aku hampir tua dan putus asa menunggumu…
Laki-laki
: Tuhan memberi usia amat panjang kepada Adam dan Hawa
Perempuan
: Untuk terlunta?
Lakilaki
: Untuk berjumpa
Perempuan
: Dan usia kita singkat, kesepian kita panjang
Lakilaki
: Apa kau tidak menyeduhkan segelas kopi untukku?
Perempuan
: Duduklah….
(Lalu dua pasangan laki-laki dan perempuan pergi dan
tak datang lagi)
Perempuan
: Kau berjanji akan melanjutkan ceritamu kalau kita bertemu lagi
Lakilaki
: Ya. Dan kau berjanji akan mendengarkannya. Tapi, di mana lapangan desa itu?
Perempuan
: Anak-anak itu sudah dewasa, tak ada lagi yang membutuhkan tanah lapang
Untuk bermain…Sekarang, berceritalah…
Laki-laki
: Kuda bersurai biru itu membawanya ke tepi lautan yang telah membeku.
Seorang Juru Syair yang paling masyhur amat mencintai ombak di lautan itu.
Lalu dengan kesaktiannya, ia hisap sukma ombak menjadi sajak. Sejak
itulah
lautan membeku dan menjelma menjadi gurun garam. Konon, di tempat itu
bersembunyi hantu-hantu pemangsa ingatan. Siapa pun yang melintas di sana
akan tumpaslah segala kenanganya…..
Sementara di angkasa, para rajawali yang adalah jelmaan dari seluruh pesona
dan
keindahan yang dicarinya terus mengawasi dalam keheningan. Rasa
terpukau yang menyergap Sang, membuatnya abai terhadap kuda yang selalu
setia menemaninya, padahal di gurun itu
hantu-hantu pemangsa terus
mengikuti mereka…….
Sementara Kuda bersurai biru tak boleh sekejap pun berhenti—karena
begitulah
titah yang diberikan padanya…
Di tengah gurun itu, Sang dirajam mata
panah dan tombak-tombak para Hantu.
Sang
: O..betapa tak sabar aku ingin segera sampai. Tetapi tak satu pun jalan
memberi kepastian. Tak berguna sedikit pun pengetahuan, peta, dan
Ingatan. Di manakah letak lembah itu? Mengapa tak satu pun mahluk dapat
Menunjukkan.
Telah beratus kali kubaca kitab syair ini, namun arah langkahku
mencarimu tetap tak terjelaskan. Aku tak tahu, apakah aku menujumu atau
malah menjauh darimu…
Rasa rindu telah meremukkan jantungku. Aku tak tahu di mana kau berada.
Tapi
hatiku telah mendengarkan semua syair yang kau dendangkan entah
dari lembah yang mana. Aku disergap rindu yang tak tertahankan kini.
Aku seperti pemabuk yang tak tahu anggur dari cawan yang mana yang
telah membuatnya menjadi pemabuk, mengapa ia mabuk, dan untuk siapa
ia
mabuk..
Rajawali
: Duhai Penempuh yang malang. Kau mabuk untuk dirimu sendiri, kau belum
Melihat tujuan lain dari kemabukanmu selain dirimu sendiri. Syair yang
membuat kau disergap pesona hanyalah syair yang berasal dari rasa cinta
terhadap dirimu sendiri. Anggur yang kau reguk hanyalah anggur dari
kepedihan hatimu sendiri. Bagaimana mungkin kau dapat menemukan jalan
yang tak mungkin bisa kau kenali dari dirimu sendiri..
Kau hanya berpura-pura merindukan dia yang lain, padahal hanya dirimu
sendiri,
kau bersedih dan berduka hanya karena dan hanya untuk dirimu
sendiri. Jubah yang kau kenakan hanyalah jubah kepura-puraan
bagaimana mungkin kau dapat menemukan Apa yang indah itu…
---------------------------------------------------------------------------------------
Teks-Teks Tambahan:
Memandang
Apa yang sedang kita lewati ini
barangkali cuma senyap
daun digoyangkan angin
bunga kening mekar ditepi jalan
maka kenangkanlah kembali ciuman-ciuman panjang
yang pernah aku sematkan pada punggung gigilmu
lalu sesekali berjalanlah tanpa aku
di kota-kota yang sudah kita tinggalkan
yang amat kita rindukan ini
barangkali Cuma senyap
dan kita hanya sebuah kemungkinan
dari kenyataan yang belum seluruhnya terjadi
aku ingin keluar sebentar
memandang gerimis, capung dan kupu-kupu
kau tetaplah disini, dikamar yang telah mekar
oleh harum tubuhmu dan sisa matahari
Pulang
Jangan kau semprotkan parfum Pada baju baju itu
Ia telah tergantung dibalik pintu, Sudah lalu
Aku tak mau kehilangan mau keringatku
Tolong matikan televisi
Supaya ada sunyi
Supaya terdengar keluh meja dan kursi
Aku ingin mengenangmu pada bunyi
air dikamar mandi, Kecut ketiak
atau nasi basi didalam rak
Dan kau bisa mengingatku
Pada derit engsel dipintu kamar
Atau dengus nafas yang tak sabar
Ya, Aku sudah pulang
Lubang hitam di kepalaku makin dalam
Kau rumah dibatas kelam
Asmara
Mengantarmu setelah hujan diminggu lengas itu
Aku tahu, aku akan menyukai kesedihan
Seperti kabut pada rumput di sepanjang
Jalan setapak yang becek dan penuh jejak
Hari-hari akan mengambang
Menjauh dari peristiwa-peristiwa
Melupakan semua pertemuan
Dan percakapan yang menyisakan asam di tenggorokan
Aku tahu
Akan datang saat dimana tangan jadi senyap
Meraba debar dan bentuk-bentuk yang luruh
Sebelum lengkap
Tapi aku akan mengenangnya
Sambil menyusuri kota
Pakaian lembab oleh cuaca
Perasaan-perasaan tak bisa nyata
Aku akan terjaga sepanjang malam
Menyimpan, mungkin membuang
Bagian-bagian tertentu dari hidup
Yang dihancurleburkan waktu
Dan aku tahu
Yang kubuang tak akan kau pungut
Yang kusimpan tak mungkin kau minta
Kita telah saling memasuki dan membentuk sebuah dunia
Tapi kita tak tahu di mana awal akhirnya
Dan setelah hujan di minggu lengas itu
Semua yang tiba bukan yang kita tunggu
Semua yang kita tungu remuk di kaki waktu
Prosa-Prosa yang Hendak DilupakanI
- I.
Berlayar
Kita memang pernah berjumpa di kapal itu, kapal yang
sampai sekarang tak kita ingat namanya. Memang ada yang kucatat, tapi itu cuma
jadwal berangkat dan pluit larat yang kita lupakan setelah beberapa saat.
Di palka, bulan tak terlihat. Hanya gelap mengambang.
Gelap yang seperti lubang maha besar darimana kita sempat melihat getar
bintang; sebentar lalu pudar. Dan kita berharap ada semacam kerlip cahaya
serupa pada sesak dada kita. Dada yang apabila malam menggemakan suara semua
rahasia seperti lautan nun di bawah sana. Kadang kita meminta juga menunggu ada
seorang yang berkenan menemani, mendengarkan suara-suara itu. Kita
sebenarnya ingin sekali suara-suara itu segera menjelma ribuan pisau;
mempersembahkan luka dan darah. Dan kita mereguk anggur dari setip kulit jengat
yang tersayat hingga mabuk dan menjadi pengembara paling jalang.
Genap satu jam kapal menjauh dari dermaga yang masih
menyimpan sisa lambaian dari tangan yang tak pernah tampak wujudnya. Kita belum
juga rampung membereskan ihwal perasaan. Memilah-milah apa yang menyimpan
harapan atu cuma kenangan yang kelewat cengeng dan melumpuhkan.
Kedua matamu masih seperti ungu yang berkilauan; menduga-duga
batas pantai dan aku perlahan-lahan mulai percaya bahwa engkaulah hasrat yang
tak pernah terucap dalam setiap doa juga dosa. Membuatku menjadi pejalan kaki
yang fakir belaka.
II.
Engkaupun mulai bercerita tentang perasaan
tergetar terhadap sesuatu yang sebentar; seperti sebuah firman
dihunjamkan dari segala yang biasa. Membuatmu seperti tiba-tiba terbangun dari
tidur menahun. Yang indah memang akan memilih tempatnya sendiri,
saatnya sendiri, resah-risau tersendiri. Dan air matamu semacam salam selamat
datang untuk semua itu.
Yang pernah menangis akan terisak lagi pada saat
seperti ini, yang telah diabaikan akan berharap kembali dalam situasi seperti
ini. Ketika sedih dan bahagia tak punya beda, ketika hatimu menjelma prisma
dimana setiap pendosa sepertiku mendapat maaf dan restu.
III.
Apabila aku tak pernah memintamu untuk sekali saja
tinggal dan bertahan menghadapi waktu bersamaku, bukan karena telah kutemukan
satu arah yang kukuh. Melainkan karena aku tak ingin sepi yang mengutukku juga
membelenggumu.
Kita memang pernah duduk di sebuah beranda menyaksikan
sore tergesa, berlarian di sebuah lapangan desa menyisakan asam di ketiak
kanak-kanak.
Kau menghidangkn kopi tapi tak berkata-kata, kedua
pipimu lembab seperti bunga-bunga leli di pot tanah liat. Lenganmu tidak putih
dan acap gemetar seperti 9 tahun yang lalu. Tapi itu semua peristiwa yang
terlalu biasa bukan? Aku tak memeluk, apalagi menciummu. Engkau tak
menyandarkan kepala di bahu ringkihku. Semua hal istimewa yang bisa dibayangkan
dalam asmara tak ada pada kita. Bahkan cinta, mungkin memang ada, tapi tak
sempat memberikan apa-apa. Barangkali juga bukan tak sempat melainkan tak
mungkin.
Apabila aku tak memintamu kembali ketika kau
berpamitan pergi itu lantaran kedua matamu telah menangisi sesuatu yang hanya
dijumpai di lubuk paling sunyi.
Maafkanlah aku, karena akhirnya harus menuliskan
semua ini. Jiwaku hanyalah sebuah wilayah gelap dan telah menjadi terang karena
mencintaimu. Aku telah berada di tempat tertinggi dari semua puncak. Di mana
jurang terdalam telah dengan sabar menantiku. Apabila kau mengabaikanku, itulah
saatnya akau akan terjatuh dan menjadi rela kerenamu.
IV.
Masih kuhafal beberapa nama pohon di pekarangan
belakang rumahmu. Pohon turi yang separoh batangnya berwarna gelap, lamtaro
yang bersisian dengan angsana, sirih merambat di dinding bata, batas tanahmu
dan tetangga, dan pacar kayu yang dulu daunnya sering kita tumbuk untuk gincu
di kukumu. Dengan gincu itu, kau jadi gadis kecil dan aku seolah seorang bujang
hendak meminang. Ah, semua ingatan ini…mengapa kian berharga kini. Aku ingin
jadi canggung lag. Sembunyi di balik serut serai menunggu saat sampai kau lena
di ayunan dan rokmu berkibaran, membuatku masygul dan dadaku berdebran.
Pelukan Singkat dan Sebuah Dongeng
Sang, dalam pelukan singkat itu ingin kukaramkan
seluruh nelangsa. Bertahun-tahun kubujuk cinta agar tak menginginkan apa-apa.
Menyembunyikan hasrat dalam debar jantung, sajak, juga doa. Tapi
malam itu aku sudah amat terlunta. Menanggung bisa dari seluruh pesonmu, aku
tak kuasa. Jika kau tak berkenan menyembuhkanku kau harus mengahabisiku agar
tumpah darahku menjadi anggur bagi para pecinta.
Kau rengkuh juga dada lelaki yang canggung dan gemetar
itu. Kau biarkan ia merasakan hangat nafasmu dan di keningmu yang jernih rindu
pun pupus seperti cahaya lampus. Suka cita tanpa kata-kata. Lalu kitapun jadi
tahu bahwa kita tak memiliki apa-apa, selain sepasang tangan yang dingin dan
gemetar, saling menggenggam seperti hendak mengukuhkan apa yang tak terjelaskan
dalam kalimat yang terbatas atau yang tak pernah lengkap diucap.
Kita tak pernah tuntas habis dalam cinta. Kita selalu
bersisa dan karena itu pula kita habis juga terluka.
Sang, barangkali esok kita harus memulai lagi,
membujuk cinta agar tak meminta apa-apa menjadi fakir belaka.
Aku sering membayangkan cinta kita serupa bocah yang
lunak jika dirayu, diam di pangkuan, membiarkan nalar menakuti atau
mendongengkan hutan larangan yang penuh marabahaya. Tapi setelah sang nalar
lelah, bocah itu akan berontak dan berlari memburu kekasih. Karena ia memang
tak pernah letih.
Tidak sang, ia bukan seorang bocah, ia seekor
rajawali. Guru dari semua penjelajah. Menghadapi badai ia tak lari, ia malah
membuka dada dan merentangkan sayapnya. Dalam hening membumbung tinggi setia
pada cakrawala, Sang Kekasih.
Sang, di keluasan yang tak ternamai itu rajawali tak
mungkin tanpa langit biru dan langit biru memerlukan sukma sang burung
penjelajah, agar ia tak menjelma jadi semesta hampa.
Komentar
Posting Komentar