Mbok Dilakukan Apa yang Diketahui Itu!
Mbok Dilakukan
Apa yang Diketahui Itu!
Hari ini aku
cukup sumringah. Saking sumringahnya,
aku sedikit bertingkah seperti anak kecil dengan guling-guling (memang kapan
tidak?) Meskipun jam dua siang nanti aku akan keluar rumah juga, tapi aku
senang setidaknya hari ini aku tidak dikejar-kejar dengan urusan organisasi,
bisnis, kuliah, dan teman-teman sebangsa setanah airnya.
Sebenarnya,
tidak santai juga, sih. Sebab ada
pekerjaan rumah menumpuk yang harus aku kerjakan. Hanya saja, aku berbahagia. Kenapa?
Entahlah. Mungkin hatiku sedang dibalik menjadi dipenuhi kebahagiaan. Tentu saja
aku tidak bisa mengontrolnya. Hatiku milik Yang Maha Kuasa.
Padahal buku shirah Kerajaan Arab Saudi, buku tentang
aliran-aliran Islam, lalu novel-novel, hadits, dan juga taskiyatun nafs belum selesai aku baca. Bagaimana, ya? Kalau mau
berdalih sih, aku memang sakit tiga
minggu ini. Belum sehat-sehat karena tidak bisa istirahat lama. Yang full-time seharian belum ada. Jadilah setengah-setengah
juga sehatnya. But, tetap saja
seharusnya aku menyempatkan diri. Aku harus berusaha untuk No Excuse untuk diri sendiri.
Entah mengapa
seminggu ini ada-ada saja yang menyebalkan. Orang-orang sekitarku khususnya. Entah
kenapa pada marah-marah dan aku kena semprot. Di satu sisi mereka mungkin ada
banyak masalah, di sisi lain aku bersalah. Sudah, klop!
Aku merasa
sepertinya aku juga terkena penyakit ‘ain.
Sebab, ada beberapa orang yang kemarin terang-terangan menyanjungku. Dan ini
banyak orang. Dan seperti biasa, aku sakit. Aku sering sakit ini sejak kuliah. Alhamdulillah, tidak sampai pingsan. Hanya
badan terasa sangat berat, sakit kepala, dan demam tinggi. Kadang kejang kalau
malam.
Bagi yang
belum tahu, penyakit ‘ain adalah
penyakit akibat pandangan seseorang terhadap diri kita yang kagum berlebihan. Anehnya,
penyakit ini katanya menyerang orang-orang yang memang ber-azzam di dakwah. Soalnya aku
sendiri belum ketemu dengan orang-orang awam yang terkena penyakit ini. Koreksi,
ya, jika aku salah.
Baru saja dua
hari lalu, aku pulang dengan seorang akhwat
menuju rumah. Qadarullah, rumah kami
sejalan. Aku bertukar pikiran dengannya di dalam angkutan umum. Insya Allah yang kami bicarakan tentang
ilmu juga. Dia sempat membuatku menghela nafas panjang karena kesal. Mau tidak
mau, aku terpaksa cerewet.
Orang tua
beliau di sini. Sedang dirundung masalah. Dan aku sangat mengenalnya. Dia tidak
akan mangkir apapun kecuali dia sangat sibuk organisasi atau sakit. Akan tetapi...
“Ukh, kamu nggak pulang ke rumah?” tanyaku di jalan.
“Nggak. Aku pulang ke *******.”
Aku terdiam. “Kok
nggak pulang ke rumah?”
“Aku lagi
sakit.”
“Nah?”
“Aku nggak mau orang tuaku tahu, Prim. Mereka
sudah banyak masalah, terutama ibuku. Kalau aku pulang, aku akan menambah beban
mereka.”
Aku merenggut
dan membuang muka. Tidak setuju. “Kamu aneh. Kamu rela orang lain yang bukan
keluargamu tahu dan terbebani dengan peyakitmu. Tapi tidak dengan orang tuamu. Padahal
soal dirimu, apapun itu, orang tuamu punya hak untuk tahu.”
“Aku tidak
merepotkan mereka. Toh, aku merawat diriku sendiri. Sebaliknya, jika di rumah
aku akan dirawat ibu. Menambah pikirannya.”
Aku ingin
menasihatinya lagi. Namun, aku paham betul dalam hal memandang hal seperti ini
baik urusan muamalah ataupun dakwah, kami cenderung berbeda. Aku memang
tidak seberapa dekat dengan keluargaku. Namun setidaknya, aku ada untuk
mendengarkan mereka.
Kemarin, aku
merasakan bahwa cukup kalau masalah kebaikan itu aku sami’na wa atho’na (saya mendengar dan saya taat), bukan sami’na wa ash shayna (saya mendengar
tapi tidak taat). Ada dua orang yang menyampaikan masalah akhlak padaku. Tahu sih,
tapi tidak dilaksanakan. Tegurannya langsung dari Allah dan aku merasa
bersalah. Untung dibantu Allah untuk menjalankan.
Beberapa waktu
lalu, murobbiku tidak hadir saat liqo karena sakit sehingga digantikan
oleh ustadz. Dengan hijab tembok
tebal, kami mulai. Semua tausiyah beliau adalah tentang ciri-ciri akhwat. Di suatu
penjelasan, beliau berkata...
“Akhwat harus menjaga ma’ruahnya (kehormatannya). Masa akhwat bonceng tiga, sudah begitu tidak
pakai helm. Bukankah itu akan membuat orang awam bertanya-tanya, “Akhwat yang katanya taat pada Allah kok
begitu?””
Yak! Jleb
banget. Tapi masih saja. Sampai suatu ketika, aku kumpul dengan kawan-kawan KKN
dan mereka melihat akhwat bonceng
tiga. Mereka bilang...
“Gila ‘tuh
cewek. Sekosan dibawa!”
“Kalo jatoh gimana coba? Pada pake rok.”
“Nggak pake helm lagi.”
“Mbak-mbak...
Sini gua aja yang anter.”
Ngik!
Yang bicara cowok itu. Aduh. Skak banget rasanya.
Sejak saat itu, nggak lagi dah diusahakan untuk tidak bonceng tiga.
Dan murobbiku pernah pulang bareng denganku. Aku sering mengenakan
tas ransel. Bukan apa-apa sih. Memang
bawaanku banyak. Malah ada kawan yang bilang, “Kamu kayak mau pindah rumah!”
Murobbiku
berkata, “Prima, akhwat jilbab lebar
sebisa mungkin jangan mengenakan tas ransel karena jelas bentuk badannya akan
kelihatan. Sementara kita berjilbab kan untuk menyembunyikan hal itu.”
“Tapi aku
bawaannya banyak, Mbak. Kalo nggak pake
ransel ribet.”
“Iya, sih. Masukkan di dalam jilbab saja.”
“Tapi...
Mbak... ‘Kan aneh?”
“Ya sudah... dicangklongkan
sebelah saja.”
Aku tahu sih sebenarnya sudah dari jauh hari
lewat situs internet Islam yang shahih
bahwa akhwat sebenarnya jangan pakai
tas ransel. Kalau mengenakan sebaiknya masukkan ke jilbab agar tidak membentuk
tubuh. Dan juga agar akhwat tidak mengenakan jaket diluar jilbab lebarnya
dengan alasan yang sama. Soal jaket, aku sudah jarang mengenakan. Atau kalau
mengenakan di dalam jilbab. Tapi tas? Aku masih bermasalah.
Alhasil kemarin,
karena rahmat Allah, aku ditegur. Aku menemani kawanku ke pasar guna membeli
beberapa hal. Dan kemudian, tas ranselku terbuka! Alhamdulillah... tidak sepeser pun uang di dalam tas yang diambil. Sekali
lagi, alhamdulillah.
Selanjutnya,
kami ‘terdampar’ di sebuah toko. Dan kemudian, ibu-ibu penjaga toko itu
berbicara kepadaku dengan raut wajah yang cemas.
“Mbak, tasnya
tadi kebuka?”
Aku menjawab
tenang. “Iya, Bu.”
“Ada yang
hilang?”
“Alhamdulillah tidak ada.”
“Tadi saya
mendoakan Mbak dari sini. Soalnya Mbak memang diincar dari belakang. Tas Mbak
sudah diliatin.”
Anak ibu itu
turut andil, “Iya, Mbak. Hati-hati. Di sini sering kejadian.”
Kawanku
menimpali, “Wah, syukur nggak kenapa-napa, Prim.”
Aku langsung
teringat artikel dan nasihat murobbiku
dong saat itu. Jadinya aku rada tersenyum.
“Ya sudah. Aku
masukin jilbab aja.”
“Iya, Mbak. Lebih
aman.”
“Hem, iya,
Prim. Masukin aja.”
Aku masih agak
enggan. “Tapi aneh nggak, sih?”
Kawanku
meyakinkan, “Nggak apa-apa.”
Sejak hari
itu, lagi-lagi aku berusaha untuk memasukkan tas ranselku ke dalam jilbab.
Soal yang lain, ada lagi. Aku ingat waktu jurusan
manajemen mengatakan agar angkatan kami ke PT. Yakult Indonesia Persada dan
juga ke Bursa Berjangka Jakarta. Saat itu, aku baru saja mencoba mengenakan
jilbab segi empat yang berukuran 1,5 meter.
Jujur, aku
tidak suka jalan-jalan yang tidak ada faedahnya. Dalam artian bukan untuk
silahturahim atau menambah ilmu. Karena, refreshing bagiku yang begitu. Jadi kalau
pergi-pergi bukan untuk silahturahim, ada keperluan, dan untuk menambah ilmu,
itu membuatku jengkel. Meskipun, aku berusaha menyembunyikannya. Dan soal yang
satu ini, jarang ada yang menebak kalau aku tidak suka.
Yang aku
maksud tidak suka, yaitu kami harus ke Ancol. Kepingin? Iya. tapi dengan
keluarga mungkin aku akan senang. Dengan kawan-kawan? Well, seharusnya aku senang. Tapi entah kenapa tidak sama sekali.
Pagi sebelum
ke Bursa Berjangka Jakarta, aku mengenakan jilbab kepanjangan. Aku agak takut
dan minder. Aku merasa ilmuku masih jauh dari mumpuni untuk berjilbab selebar
itu. Tapi kemudian, ketika aku menggerutu kepada temanku saat mengambil air wudhu...
“Ih, jilbabnya
kepanjangan.”
“Kenapa, Prim?”
“Takut nggak sesuai sama ilmu. Masih cetek nih...”
“Nggak apa-apa kok. Bagus. Segitu aja
dari sekarang.”
Ucapan kawanku
demikian meyakinkan. Tadinya aku biasa-biasa saja. Aku pingin, aku mau, tapi
ragu. Tapi setelah dibandingkan dengan keadaan kawanku yang berjilbab kecil
saat itu dan terus memperbaiki diri, aku menangkap satu hal. Dia menyukai aku
bertambah baik.
Hal-hal yang masya Allah orang-orang terdekatku pun
sering meyakinkanku.
Entah dicerita
yang mana yang telah aku ceritakan, sesungguhnya masing-masing adalah teguran
halus Allah kepadaku. Bukan hanya yang memang paham, tetapi juga orang-orang
yang sebenarnya tidak melakukan hal baik yang mereka sarankan kepadaku.
Banyak orang
yang sebenarnya tahu itu baik, tapi tidak dijalankan. Sementara aku, mereka
sarankan. Bukan hanya satu-dua orang yang demikian kepadaku. Dan aku merasa
bersyukur akan hal itu.
Ada orang yang
pernah bilang, “Diam-diam kamu memikirkan apa yang aku katakan, bukan?”
Jawabannya :
iya.
Tapi salah
besar jika hanya pendapat dia seorang. Dan itu bisa dibilang suatu bentuk narsisme.
Aku menyadari
bahwa terkadang egoku (atau nafsuku) terlalu besar untuk mengiyakan sehingga
aku membantah dengan keras. Tapi nuraniku sering memperingatkan. Sehingga ketika
egoku turun, aku sering me-muhasabah diri
dan ketika mendapati itu benar, dan mungkin insya
Allah aku bisa istiqamah
menjalankan, aku lakukan.
Makanya,
Prim... Mbok dilakukan apa yang
diketahui itu!
Bandarlampung,
8 Juni 2013
Komentar
Posting Komentar