Resensi Media Edukasi - Harmoni yang Rapuh



(Resensi media edukasi Asia’s Paradise – Japan’s Hidden Paradise, Nat Geo Wild pukul 21.30 / GMT +7, 21 April 2013)

Harmoni yang Rapuh

by Prima Helaubudi

Jepang merupakan negara dengan tingkat ekonomi terbaik kedua di dunia. Jepang juga merupakan salah satu dari negara terpadat di dunia. Jepang juga menyumbangkan lima persen dari pasokan ikan segar di dunia. Kebudayaan Jepang yang berkembang di dunia seperti Perayaan Mekarnya Bunga Sakura (Hanamatsuri) dan juga budaya disiplin megapolitan juga sudah diketahui. Tapi bagaimana dengan kehidupan ekosistem yang juga berada di sana? Bagaimana jumlah spesies di Jepang? Apakah mereka bertahan? Regulasi apa yang telah dibuat oleh pemerintahan Jepang?

Dilihat dari geologis, Jepang merupakan negara yang tercipta akibat benturan lempeng-lempeng tektonik. Hal ini menyebabkan banyaknya jumlah gunung berapi di sana. Bahkan, Gunung Fuji yang berdiri sekitar empat kilometer dan ditutupi salju selama sepuluh bulan juga merupakan gunung berapi yang masih aktif. Konsekuensi ini menjadi pertimbangan genting bagi manusia dan juga spesies yang berbagi ruang di negara ini.

Bukan hanya lempeng-lempeng tektonik. Sebut saja geyser (sumber mata air panas), gas panas, dan gempa bumi terjadi merata di seluruh Jepang. Bahkan dapat terjadi di dalam rumah seseorang. Maka, manusia dituntut untuk aktif dan kreatif guna menemukan pemecahan dalam setiap masalah kelingkungan mereka.

Di sisi lain, Jepang yang memiliki enam ribu pulau dan tiga pulau utama juga menuntut kekuatan bertahan hidup dari spesies-spesies yang ada di sana. Ketiga pulau yang disorot, yaitu: Pulau Hokkaido yang berada di wilayah paling utara Jepang, Pulau Honshu, dan juga Pulau Okinawa yang unik.

Keanekaragaman hayati tercermin dari banyaknya spesies yang ditunjukkan dalam observasi peneliti. Di daratan ada Bangau Mahkota Merah, Beruang Cokelat, Monyet Muka Merah, Elang Shelter, Ulat Habu Pit Viper, Garangan India, Rusa Sika, dan lainnya. sementara di perairan ada Ikan Glodok dan Kepiting sebagai sorotan. Akan tetapi, mereka terancam kepunahan.

Meskipun terancam, tetap harus diwaspadai. Di dalam tayangan, berbagai sudut dilihat. Kepunahan ini terjadi akibat dua hal utama. Seleksi alam dan juga ulah manusia.

Pada seleksi alam, dapat dilihat dari tantangan masing-masing daerah di Jepang. Pertama, musim dingin di Jepang bisa menyebabkan salju setebal dua puluh meter di daerah Nagaya. Pada musim ini, bahkan Monyet Muka Merah di Pulau Hokkaido harus berdiet untuk mengunyah makanan. Selanjutnya, di subtropis Pulau Okinawa memiliki tantangannya sendiri. Pulau yang tercipta unik antara lempeng tektonik dan terumbu karang memiliki daerah pantai dengan tanah yang asin. Kondisi ini hanya menguntungkan untuk bakau. Bakau dapat menyerap oksigen dengan lentiselnya. Saat surut inilah Ikan Glodok dan kepiting keluar dari rumahnya dan mencari makan. Sementara saat surut, mereka bersembunyi.

Ulah manusia tidak dapat dimungkiri memiliki perannya sendiri. Dengan kota yang sedemikian sibuk, orang Jepang sendiri tidak seberapa memperhatikan kondisi ekosistem alam di luar himpitan beton perkotaannya yang padat. Sebagai bukti, banyak dari gugusan pulau di Jepang belum terjamah. Demikian pula dengan relief-relief pegunungan dan juga berbagai daratan. Tampak jelas di sana, kebijakan pemerintah Jepang belum tepat sasaran.

Ada dua kebijakan pemerintahan Jepang yang tercatat dalam tayangan. Kebijakan itu antara lain menciptakan konservasi dan juga mendatangkan predator di malam hari. Konservasi terlihat sangat sepi dari penajagaan. Padahal jumlah spesies yang ditangani cukup kritis berkisar puluhan hingga tujuh ratus spesies asli. Selanjutnya, pemerintahan Jepang mendatangkan Garangan dari India—seperti juga Bunga Sakura yang berasal dari tempat tersebut—untuk memburu Ular Habu. Sayangnya, justru jumlah Garangan India berlebih dan tidak ada pengurangan dengan Ular Habu. Sebabnya adalah antara predator dan mangsa jarang berjumpa. Ular Habu berburu di malam hari. Sementara Garangan India berburu siang hari. Akibatnya, justru salah satu spesies burung Jepang yang lainnya yang berkurang. Apalagi jumlahnya sudah sedikit.

Pemerintah Jepang juga membatasi jumlah pemancing tradisional. Pemancing tradisional ini menggunakan cara memancing tidak biasa. Bukan dengan pukat. Ritual memancing memancing menggunakan hewan bernama Burung Kasa dan obor raksasa dengan batang pinus. Jumlah yang diperbolehkan hanya enam pemancing profesional. Ironisnya, justru banyak armada pelaut Jepang kini gulung tikar akibat pemancingan berlebih di daerah utara.

Keharmonisan yang rapuh. Begitulah keadaan lanskap Jepang dengan segala budayanya. Antarkoneksi ekosistem lingkungan dengan manusia. Kurangnya perhatian terhadap lingkungan. Seolah manusia dan ekosistem lingkungan ada suatu garis tegas yang memisahkan. Berbagi ruang namun tidak ada perasaan kasih. Apa yang akan terjadi berikutnya terhadap ekosistem Jepang?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA