Diawasi? Never Mind!


Diawasi? Never Mind!

Anonim? Secret admirer?

Sejenak kata-kata ini sudah sangat lumrah di telinga kita, bukan? Bahkan mungkin kita salah satu di antara yang melakukannya. Mengaku sajalah.

Aku tergerak membuat tulisan tentang ini dan juga membagi pengalaman tak seberapaku dengan para pembaca karena mendengar seseorang, blogger di sana mendapatkan beberapa komentator misterius. Dia bercerita bahwa dia sangat penasaran dengan profil si anonim.

Bicara soal diawasi, aku adalah orang yang plegmatis. Kadang orang sampai berkata, “Kamu ini aneh. Kadang sangat peka. Tapi acuhnya bukan main!” Dan aku cuma santai menjawab, “Hehe.” Benar-benar gubrak.

Aku punya banyak cerita untuk tema ini. Dari yang lucu, membuat kesal, sampai yang mengharu biru.

Tahun kemarin, aku baru mengetahui seseorang yang dekat denganku adalah pengamatku semasa SMA. Suatu hari saat diam di mushala menunggu waktu masuk kuliah, dia berbicara.

“Prima, nanti dateng ke acara reunian ***** SMA?”

“Aduh... Gimana, ya, Mbak? Aku ‘kan dulu cuma nampang nama aja. Malu amat dateng.”

“Eh, nggak apa-apa.”

“Itu ‘kan kata Mbak. Lha kata yang alumni yang lain?”

Udah dateng aja...”

Kami hening sejenak. Dan aku memikirkan akan datang ataukah tidak. Lalu, tiba-tiba...

“Prima... Dulu nggak pake jilbab ‘kan?”

“Eh, iya.”

“Kenal Mbak *** dan ***?”

“Oh, kenal, Mbak.”

“Dulu mereka satu divisi sama Mbak.”

“Wah, aku malu nih. (diam sejenak) Mbak, kenapa dulu namaku dan si * dimasukkan ke dalam kepengurusan? Padahal kami tidak pernah hadir?”

“Hem, kami semua tahu udzur kalian.”

Wow? Jadi mereka tahu kalau aku dan kawanku adalah pengurus dan aktif di salah satu organisasi seni di sekolah.

“Ya... Mbak dan kawan-kawan selalu ngeliat Prima khususnya di mushala. Dan, ajak aja. Malah kalau setiap syuro, kami selalu saling bertanya, “Prima mana?””

Aku langsung berkaca-kaca. Aku mencoba menyembunyikan rasa haruku dengan nada riang mengatakan, “Wah, jangan-jangan mbak-mbak ini pada doain aku dapet hidayah, ya?”

“Ya, iyalah!” jawab kakak tingkatku galak menyelesaikan pembicaraan kami siang itu.

Terharu. Sangat terharu.

Aku datang ke mushala sewaktu SMA tidak ada motif lain selain shalat. Titik. Bagiku yang waktu itu belum berhijab, aku hanya ingin berdoa dan bersimpuh. Aku kurang begitu perduli dengan kawan-kawanku yang juga belum berhijab sempat mencibirku, “Udah sih, Prim. Santai aja shalat mah.” Aku dulu sangat lugu (sampai sekarang mungkin). Aku hanya berpikir, kalau saya, dan kalian mengaku muslim, tunjukkan. Apalah arti muslim kalau shalat saja malas? Kalau tidak shalat? Apa bedanya kita dengan agama lain. Malu dong mengaku believer tapi bertindak sebaliknya?

Well, aku memang dulu terbilang salah satu pengurus yang dicap cerewet dalam segala hal, terutama shalat. Jadi, organisasiku waktu itu latihan selepas shalat Jumat. Aku mekik-mekik di dalam sekret jika yang laki-laki belum pergi shalat. Sampai saking kesalnya, mereka berujar, “Iya, iya. Ampun dah gua sama cewek satu ini!” Kalau sama perempuan, sebelas dua belas. Aku pasti ngeromet,Udah shalat, belum? Apa? Belum? Wei, gila aja, boy! Shalat, shalat. Gua tungguin latiannya.”

Aku menikmati saat itu perbedaan-perbedaan dalam organisasiku. Aku santai-santai saja menghadapi orang yang memiliki persepsi berbeda. Asal toleransi saja. Jadilah dulu kalau yang Islam shalat Jumat dan shalat dhuhur, aku memberikan kompensasi bagi kawan-kawanku yang Nasrani untuk agama dan menyanyikan lagu pujian sambil menunggu. Lalu, saat latihan, kita latihan.

Itu sebabnya, mbak-mbak di mushala kenal denganku. Aku juga dulu tidak takut dengan jilbab mereka yang lebar. Sikap yang baik adalah parameterku. Jika sikapnya tidak baik, ya pergi.

Selanjutnya...

Sewaktu SD aku berkenalan dengan sahabatku sekarang. Bisa dibayangkan melongo dan jeleknya wajahku saat suatu ketika dia datang, menyalamiku, dan menanyakan sesuatu yang luar biasa naif buatku. “Eh, nama lu siapa? Oh, Prima. Temenan, yuk?” Gubrak banget. Ternyata, dia sudah  dari lama melihatku dari kelas sebelah. Hanya saja, dia belum berani menyatakan keinginannya untuk berkawan denganku. Bagiku, it was so weird orang yang datang minta berkawan dengan agreement begitu. Aneh.

Kejadian senada aku alami saat SMP. Aku adalah anak yang diam—pada awalnya—di kelas. Duduk paling belakang dengan wajah pucat dan ekspresi diam. Freak banget. Dengan keadaan aneh seaneh-anehnya umat itu, ternyata ada seseorang dari bangku depan yang memperhatikanku. Kalau dipikir-pikir, aneh nggak coba? Dia duduk di depan dan aku di belakang. Seharusnya, seharusnya jika aku memang orang yang peka, aku tahu dia sering menoleh ke belakang dan memperhatikanku.

Mungkin yang menyedihkan adalah orang yang menjadi sahabatku sekarang ini, yang menemukanku saat SMP harus setengah gila hanya untuk mengenalku. Dia sengaja satu bulan berada satu angkutan kota (angkot) denganku, mengikutiku ke kantin, dan juga berjuta kali menyebutkan namanya kepadaku karena aku lupa. Ketika mengenang masa lalu, aku bahkan lupa perjuangan dia itu. Memang memori otakku agak-agak.

Kok kita bisa kenal, ya, dulu?”

Lo nggak inget?”

Wajahku melongo, “Enggak.

Dia memutar bola matanya yang kemudian menyipit seraya mengedutkan bibirnya yang tipis marun, “Coba lo inget apa? Jangan-jangan nggak ada yang diinget, lagi?”

“Eh... Kita ketemu di kelas?”

“Uuuuu...” Jadilah kawanku mengeplak kepalaku dengan tangannya.
“Dasar bego! Bisa-bisanya lupa! Ngenal lo itu perjuangan tauuuu!!!”

Jadilah aku yang saat itu memang benar-benar lupa menerima ocehannya tentang betapa tangguhnya dia hanya sekadar berkenalan denganku. Aduh, aduh.

Kalau di kampus, yang benar-benar aneh adalah saat aku mengenakan pakaian baru. Untuk perempuan sih oke. Secara, mereka pastilah melihat kita setiap hari dan juga hafal dengan apa yang kita kenakan. Meskipun tidak juga. Sebab, aku sering mengenakan jilbab hitam. Jadi, pakaianku tidak terlihat. Herannya, ada saja yang tahu.

Baru beberapa hari kemarin sebelum aku tulis post ini, pakaianku dari terkena banjir bulan Januari lalu datang dari laundry. Alhamdulillah. Aku senang bukan main karena sebenarnya bajuku benar-benar kurang. Dan otomatis esok harinya aku kenakan.

Seusai mata kuliah Teori Pengambilan Keputusan (TPK), dia menghampiri dan bilang, “Cie... Baju baru.”

Aku langsung menoleh kaget. Dia tahu!

Kejadian unik lainnya pernah aku dapatkan...

Suatu ketika, ada seseorang yang menyalamiku. “Prim, ada salam,” ujarnya.

“Dari siapa?” aku menjawab malas-malasan. Aku pikir itu hanya mainan. Biasalah.

“Dari ******.”

Aku menoleh dan bingung. ‘Itu siapa?’ pikirku.

“Oh, iya.” Saat keherananku hilang, aku memanggil kawanku yang hampir berlalu.

“Dia itu siapa? Dari mana?”

Aku diberitahukan bahwa perempuan yang mengirim salam itu adalah seorang kakak tingkat. Kawanku bercerita sempat dibuat bingung untuk mencari orang yang dimaksud perempuan tersebut.

“Dia bilang, “Ada nggak anak manajemen yang badannya kecil, mukanya imut? Lucu anaknya.””

Oke. Aku sempat tertawa dibuatnya. Memang aku badut apa, lucu?

“Aku bingung. Siapa... Terus aku pikir si ***. Jadi aku bilang, “Oh, mungkin si ***.”, “Oh, namanya ***.” Nah, pas naik motor, aku tunjukkin mana yang namanya ***. Terus dia bilang bukan. Nah, inget nggak waktu kapan kamu naik angkot terus aku di belakang naik motor?”

Aku mengangguk.

“Nah, dia yang aku bonceng. Terus dia bilang, “Nah, itu dia!””

Seriously... aku sama sekali nggak kenal mbaknya itu yang mana. Sampai akhirnya, qadarullah, aku bertemu dengannya. Dan wajahnya saat bertemu denganku sangat dingin. Aku berpikir mungkinkah aku salah orang. Namun, setelah dipastikan berkali-kali, mau atau tidak, dia orangnya.

Lucunya, kadang perempuan ini sering mengenal-ngenalkan aku pada orang lain yang aku juga nggak kenal. Lalu kadang, orang tersebut menghampiri dan bilang, “Prima, ya?” Aku jelas bingung. Dan tidak bisa bicara selain menjawab, “Ya.” Dan pasti perempuan itu yang mengenalkan. Wew.

Aku pernah juga kadang dapatkan SMS dari orang tiba-tiba.

Prima, pake baju pink, ya?

Jleb. Nah lho? Memang aku jadi sawan.

Aku mengelilingi daerah yang ada. Tidak ada siapapun yang sedang memperhatikan. Wah, gawat!

Itu beberapa kisahku. Mungkin ada yang lain namun aku lupa juga entah. Padahal, aku adalah tipikal orang yang berusaha tidak terlihat, tersamarkan kalau di dunia nyata, dan hanya orang-orang yang dekat saja yang tahu diriku. Entah bagaimana pandangan orang tentang diriku di dunia maya. Mungkin kamu, yang ada dibalik layar kaca di sana yang mampu jawab.

Kadang, aku berpikir. Untungnya aku memang bukan orang yang punya semua jejaring sosial walaupun terkadang ada yang bilang aku update banget orangnya. Menurutku, culun punya (cupu) mah iya. Bayangkan mereka yang memang meng-expose dirinya itu? Apa nggak repot, ya? Yang lebih penting, biar apa gitu?

Ada beberapa hal yang perlu kita rahasiakan dalam kehidupan kita. Dan aku, sebagai seseorang yang pernah jadi secret admirer selama enam tahun sewaktu jahiliyah punya prinsip sendiri. Prinsipku, jangan tanggung dalam bersikap. Jika kamu memang ingin melihat dari jauh, jauhlah. Jangan ganggu dia dengan merasa diawasi. Berjalanlah sehalus mungkin. Sebab, ada baiknya, orang yang kamu anggap sempurna tetap terlihat sempurna saja. Titik. Kita tidak punya jaminan ketika dekat kita akan menyukainya dan/atau dia akan menyukaimu dengan cara yang kamu harapkan. You never know how their feeling!

Atau, jika kamu memang ingin mengutarakan keinginan untuk terang-terangan, datangi dia terang-terangan. Tapi, kamu harus siap risiko jika dia memang tidak menginginkanmu dalam kehidupanmu. Jalankan yang bisa berakhir dengan baik, atau jangan mulai sama sekali. Itu lebih baik daripada orang tersebut sebenarnya tidak menyukaimu namun memaksakan diri agar suka hingga pada akhirnya justru menyakiti keduanya. Heemmm... yang terakhir aku katakan pernah aku lakukan. Seriously.

Agak sebal juga melihat orang yang datang-datang menganggu demikian. Maksudnya, datang dengan merahasiakan siapa dirinya, namun menegaskan bahwa dia ada. Mau atau tidak mau, itu akan mengusik rasa penasaran kita. So, I can say... Orang yang datang tanpa nama tersebut sepertinya belum expert jadi secret admirer. Ckckck...

Ketika ketahuan, jujur, pasti susah bersikap biasa.

Dan untuk yang diikuti, prinsipnya sama. Tapi, yang paling penting be yourself. Jangan karena dilihat mereka kamu jadi mawas. Ada yang lebih agung yang mengawasi setiap tingkah lakumu.

Soal diikuti, aku cuek, bebek. Aku tidak mau ambil pusing.

Di dunia maya? I think pantas-pantas saja kita bertanya-tanya, “Adakah yang perduli dengan hal ini? Dengan karya kita?” Seperti kawanku bilang, “Rasanya seperti penulis buku yang diapresiasi.” Keep luruskan niat. Itu!


Bandarlampung, 26 Mei 2013
Kalimat terakhir... Mario Teguh amat, yak? --___--a
Tapi... pantesnya gitu.. Aku mau endingnya gitu, geh? :p

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA