Terlupakan dalam Rima Waktu



Terlupakan dalam Rima Waktu

PUNGGUNG MEREKA TERASA AMAT JAUH. Seperti tak terjangkau. Membuat segenap romaku merinding. Aku ingin sekali mengejar mereka seraya mendapatkan pelukan selamat datang. Yang nyatanya, seperti tak pernah ada. Sebenarnya aku, atau mereka yang lupa? Atau jangan-jangan, kami bersama dalam kelupaan?

“Woi, bangun lage! Udah jam berapa ini? Bisa-bisanya lagi ngerjain makalah ketiduran di tengah siang bolong. Udara mapas! Panas gak pake biasa! Cetar membahana pokoknya.”

Antara sadar dan tidak aku mengerjap-ngerjapkan mata ke arah semua lanskap yang kini mulai terbentang. Ke mana jalanan sepi itu? Punggung-punggung mereka yang dahulu pernah bersamaku bernyanyi di sepanjang jalanan ibu kota? Oke. Ayo kembali ke kenyataan. Sepertinya aku bermimpi. Mimpi buruk. Ya, mimpi buruk.

Kini, aku melihat si “Bulldog” Alby sedang mengipas-ngipasi kepala gundulnya dengan topi seraya menepuk-nepuk perutnya yang buncit. Dia menatapku aneh.

“Heh, Nin.”

“Hem?”

Dia menggerak-gerakan kelima jari di tangan kirinya ke arah wajahku. “Sudah sadar, belum?”

“Dengan logat Lampungmu yang seperti petir di siang bolong mana ada yang tidak sadar?” gerutuku sebal.

Kawan-kawan kelompok lain ikut cekikikan. Aduh, muka ngilerku jadi bahan tontonan agaknya. Si Bulldog satu ini kembali ke posisi tidak perduli semula. Bedanya, sekarang dia menyeka lehernya dengan barisan tisu banyak-banyak milik Sonia, kawanku yang sedang memegang laptop dengan serius.

Aku melihat tampak keseriusan membius dibalik kacamata bundar uniknya. Anak ini. Bukan hanya pintar, tapi misterius. Aku bergegas melihat makalah kelompok kami yang sekitar... sebentar, berapa lama aku tidur? Hanya sepuluh menit. Ah, si Bulldog ini membangunkanku seperti aku tidur sejam saja.

Udah, tidur lagi sana,” ujar Sonia melihat aku mengintipi makalah kelompok kami.

Aku menggeleng.

“Oke. Sebelum lihat, tolong bersihkan dulu sisa ilermu itu. Ih!” ujarnya jijik. Dia mulai menggeser posisi dari sampingku.

“Ada beleknya lagi,” suara cekikikan di samping tempat duduk lainnya. hah, si Nanik. Rese.

“Nanti sajalah,” usirku sambil mengelap sisa-sisa mimpi dari sudut bibirku.

“Anah kidah. Muli sai jorok!” suara si Bulldog ini membuatku sebal. Jadilah aku berjalan sebal menuju kamar mandi. Itu tadi, mimpi macam apa?

Selepas selesai membuat makalah yang njelimet itu, aku kembali sibuk dengan aktivitas membacaku di sudut perpustakaan. Aku memakan sebungkus kacang. Tidak boleh sih. Tapi apa gunanya peraturan jika bukan untuk dilanggar? Apalagi tempatnya bagus begini. Di sudut, sendirian, dan juga jauh dari intaian para penunggu perpustakaan.

Aku tenggelam kembali dalam bacaanku dan tugas rangkuman yang selalu saja membuatku berdecak, “Nggak berguna.”

Selagi mataku yang minus dan berat akibat kacamata minus dua kiri-kanan, aku merasakan di hadapanku terduduk seseorang. Aku penasaran. Dan wanita itu sedang membuka tas Gucci palsu sambil mengambil handphone sebelum melihat siapa di hadapannya.

“Hei, Nindya!” matanya membelalak.

“Shhhhhttt...” suara penjaga perpustakaan kompak. Dan tatapan mata sontak mengarah ke meja kami. Mbak Kiki hanya cengengesan sambil melambaikan tangan meminta maaf. Dia berganti posisi ke sebelahku.

“Eh, apa kabar?”

“Baik.”

“Lagi apa?”

“Biasa. Rangkuman.” Aku menunjukkan tugas rangkuman nggak seberapa yang sedang aku kerjakan.

“Oh... Rajin...”

“Rajin apanya? Aku ngerjain H min dua jam nih.”

“Hahaha. Kebiasaan.” Beliau kembali tenggelam kembali dalam bacaannya. Bukannya aku kek pembokat alias kepo, aku melirik buku yang dibacanya. Filsafat seni.

Aku tergelitik bertanya lagi, “Masih di sana, Mbak?”

“Apa?” ujar kakak tingkatku ini saat aku bertanya sambil melepaskan earphone-nya. Dan perpustakaan kembali ber-shhhhttt ria.

“Masih di sana, Mbak?” ujarku kembali sambil menunjuk judul buku bacaannya dengan pena yang kini mulai luber lagi di ujungnya. Ikut-ikutan flu seperti aku hari ini.

“Masih. Oh, iya. Besok aku akan ke Palapa. Mau dateng?”

“Mungkin. Aku ada kerjaan soalnya.” Kerjaan karangan maksudnya. Alias bohong saja.

“Ini, ada tiket ke sana. Hadir kalo sempat.”

Aku mengangguk kikuk.

“Masih bermasalah dengan mereka?”

Aku tersenyum misterius.

***

Selesai pelajaran yang membuatku mengantuk, aku pulang ke rumah gaya klasik ini. Aku langsung saja menjatuhkan segenap tubuhku ke kasur yang sedikit banyak tidak pas ukuran di ranjang. Suara berdebam terdengar nyaring.

Aku membalik badan sembari merogoh kantong tas. Mengambil tiket yang diberikan tadi siang. Haruskah aku hadir? Entahlah. Gelap masa lalu membayangiku. “Bagaimana jika mereka melupakanku kembali seperti saat itu?” gumamku sendirian.

Aku tidak pernah ada. Sebuah bukti otentik saat aku datang dan mereka memasang kuda-kuda sikap dingin menusukku. Tak pernah menyapa diriku. Apakah aku dianggap pernah ada? Entahlah.

Mereka tidak akan mengenalku meskipun aku datang. Itu sudah pasti. Yah, walaupun pada kenyataannya, aku pernah mengharumkan nama mereka. Atau pernah makan di piring yang sama. Diplonco dengan gaya yang sama. Apa mereka akan ingat?

Apakah aku harus datang?

***

Aku tidak ingin datang. Itu yang aku putuskan malam menjelang ganti hari tadi, sekitar dua belas jam lalu. Tapi kini? Tiba-tiba aku sudah di masjid di dekat wilayah Palapa, memanjatkan doa sebelum masuk ke sana. Apa salah satu doaku? Lagi-lagi keberhasilan mereka. Memang penting? Entahlah.

Aku pun melangkahkan kaki, melipat mukena, dan menuju delta masa laluku yang selama ini aku lapisi dengan es, agar tidak mencair dan melebar.

Aku menyaksikan mereka. Di sini, di pojok paling belakang. Aku ikut tertawa saat mereka tertawa. Aku juga ikut menangis saat mereka ikut menangis. Tuhanku, aku rindu tempat ini. Rumah keduaku. Aku akan menghampiri mereka, sejenak.

Aku mengucapkan selamat kepada mereka. Dan bergabung sejenak dalam lingkaran yang tak pernah aku dapatkan sejak menginjakkan kaki ke tempat baru. Masih dengan cerita dan tradisi yang sama. Tawa canda yang sama. Hanya aku asing. Aku siapa?

Pulang pun aku tetap merasakan asing. Siapakah yang asing sebenarnya, aku atau mereka? Aku berada di sana, tapi tak pernah ada.

Jenuh, aku melihat jejaring sosialku.

Siapa sih? Dateng-dateng!!
Jijik banget dengan mereka. Hueeekkk...

Begitulah nada-nada mereka yang tadi hadir di lingkaran kami dan bercanda ria dengan kami. Adik-adikku. Atau aku yang terlalu percaya diri menyebut mereka ‘adik’?

Di sisi lain, aku melihat jejaring sosial dari akun kakak-kakak tingkatku.

Aku rindu.
Ingat zamanku.
Kenangan manis.

Apakah benar?

Aku masuk ke grup.

... Semoga terus jaya!

Puluhan komentar hadir seperti genangan dari air terjun.

Untuk apa ini semua? Aku menutup mataku yang mulai pusing. Apakah aku benar-benar ada di masa itu? Mengapa aku merasa asing? Entahlah. Dan aku memasuki mimpi-mimpi yang sama. Punggung mereka. Hanya kali ini lengkap dengan lambang dan sikap acuh mereka.

Mungkin aku tak pernah ada. Terlupakan dalam rima waktu.



Bandarlampung, 18 Juni 2013

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA