Suara dari Surga

Suara dari Surga

Pernahkah kamu mendengar sebuah hadits yang menerangkan bahwa sesungguhnya suara yang paling pantas dijadikan perhiasan bagi muslim adalah suaranya saat membaca qalamullaah? Ya, Al-Qur’an...

Sebab hadits ini, aku mulai mengganti trading topic santaiku dari mendengarkan televisi dan lagu-lagu yang tidak berguna menjadi mendengarkan murottal Al-Qur’an.  Ternyata tidak mudah. Memang, jadi baik itu sulit.

Aku sungguh tidak habis pikir bagaimana mungkin ketika mendengar suara-suara bodoh dari musik dan lagu, pencerita-pencerita, dan juga semacamnya mudah sekali hati ini terhanyut. Tapi ketika Al-Qur’an? Menguap adalah hal yang paling mungkin. Rasanya bukankah sangat durhaka?

Aku mendengar-dengar berbagai murottal yang kini bercokol 5,65 GB di laptopku. Mencari-cari suara yang paling indah dan... setidaknya sedikit demi sedikit dapat aku tiru. Tidak mudah. Apalagi dengan kapasitas keimanan mereka dan kebersihan hatinya yang menyebabkan suara-suaranya menghanyutkan jiwa. Masya Allah.

Sementara aku sendiri masih banyak kesalahan dalam pelafalan.

Aku sering sekali apabila mendengar suara nyanyian—yang kali ini telah berganti dengan murottal— tidak sadar langsung mengetahui bagaimana gambaran kasarnya si pelantun keseharian dari kontur suaranya. Demikian pula dengan tulisan, langsung terasa bagaimana karakter seseorang secara garis besar. Manusia memang unik. Sekeras-kerasnya ia mencoba meniru sesuatu atau seseorang, pada akhirnya ia selalu punya ciri khasnya sendiri.Mungkin narsis, atau anggap saja statement di paragraf ini berlebihan.

Dari beberapa murottal qari’ di laptopku, aku mendapatkan gambar tentang apa yang dirasakan. Seolah ingin mengatakan sesuatu. Beberapa di antaranya:

“Saya tidak bisa bagus. Yang saya tahu yang paling penting adalah aturan. Turuti aturan Allah dan orang-orang akan mengikutimu. Ikhlaslah!”

“Aku gadaikan kebebasanku untuk-Mu saja, Ya Rabbi.”

“Aku akan melakukan apapun agar Engkau mencintaiku.”

“Kuharap... Engkau tidak benci denganku... Dengan segala kesalahanku... Inilah aku. Semoga tidak ada yang tahu selain Engkau.”

“Sebaik mungkin... Sebagus mungkin... Untuk-Mu...”

Dan kata-kata itu terkadang menjerit-jerit di hatiku seolah benar-benar diteriakan. Padahal hanya delusi singkat pengisi relung hati.

Masya Allah... Kuinginkan keimanan yang tercermin itu... Izinkan aku, Ya Rabbi...


Bandarlampung, 11 Juni 2013
Aku mencintai-Mu...

Kuharap terus meningkat...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA