25-6-2012

25-6-2012

Aku menjajakan waktu sejenak untuk mendeklarasikan diriku. Menunaikan hak orang lain atas diriku dengan mengagendakan silahturahim hari ini. Segera saja semua jadwal sudah aku susun dengan -insya Allah- rapi.

Aku segera menjemur pakaian yang berserakan. Lalu kuselesaikan agenda mengepel lantai dan menggosok pakaian yang hampir satu minggu kubiarkan menumpuk di atas kursi merah yang kusam itu.

Sebentar lagi... Begitu bisikku. Dan ternyata, tetap saja waktu harus mengejar-ngejarku. Subhanallah... Seandainya orang-orang yang tahu betapa waktu mereka yang luang itu sangat berharga. Maka aku berlari-lari mengepel lantai yang menjadi agenda terakhir. Dan aku lupa membereskan kamarku yang sedari pagi aku tinggalkan dalam keadaan berantakan dan tidak aku urusi.

Aku terlambat sampai di kampus. Dan perasaanku sempat kesal karena birokrasi fakultas. Urusanku tidak selesai. Astaghfirullah... Segera aku beristighfar. Pasti ada manfaatnya, Prima... Jangan anggap sia-sia.

Aku sedikit sensitif pagi itu karena kekesalanku hari lampau yang dibiarkan menunggu 1,5 jam di sebuah tempat tanpa kepastian. Dalam keadaan sakit dan suara nyaris hilang. Belajar bersabar memang tidak pernah mudah dan selalu penuh dengan kejutan.

Selanjutnnya, aku mampir ke rumah serang sahabat yang –insya Allah- seringkali sepaham denganku.

Kami berencana menemui salah satu guru kami yang menjadi perantara hidayah Islam ini datang pada kami. Sahabatku ini kebetulan lebih dekat dengan beliau. Dan aku lebih dekat dengan seorang guru yang lain. Mungkin karena karakter kami sedikit berbeda. Sahabatku seorang yang lebih lembut dan cuek dibandingkan aku. Dan aku lebih menyukai guru yang satu lagi karena sikapnya yang tegas dan sangat perduli dengan agama ini.



Kami menghindari seorang anggota keluarga sang guru kami. Namun, ketika kami turun dari angkutan kota tadi siang, justru orang tersebut yang menyambut kami di mulut gang. Dan karena aku tidak pernah suka menjadikan wajah laki-laki referansi dalam otakku, aku lupa wajahnya seperti apa. Dan dengan polosnya aku bertanya siapa orang tersebut. Sahabatku menjelaskan dan aku hanya melongo.

Kami melanjutkan makan bakso yang biasa kami makan saat SMA. Alhamdulillah.. Nikmatnya... Ya Allah... Sedikit hal ini bisa terasa sangat berarti buat kami yang jarang sekali menghabiskan waktu luang.

Selesainya, kami bertandang ke rumah guru kami. Dan lagi-lagi, aku dijadikannya tumbal untuk menghadapi sang anggota keluarga guru kami. Dan seperti biasa juga, aku tidak memandang matanya. Kami berbicara dari jauh. Aku sangat malu mengingat beliau pernah melihatku saat sebelum aku mengenakan hijab. Tapi, semua sudah berlalu. Lupakan. Insya Allah, Allah akan membuatnya lupa dan menutup aib-aibku dulu.

Di SMA 9, tempat kami dahulu menimba ilmu, kami mengadakan semacam rekaman kecil sebagai dokumentasi kebersamaan kami. Mungkin kalian bertanya, mengapa kami ke sana? Jawabannya, karena keluarga sang guru kami mengatakan guru kami sedang di sekolah. Dan herannya, SMS dan telepon kami tidak digubrisnya.

Kami menjenguk semua hal yang ada di sekolah itu. Apa-apa saja yang berubah dan tidak berubah. Dengan cantiknya, kami menandang segala kenangann indah dan buruk di sana. Dan setumpuk kenangan datang kembali bagaikan tampilan slide show yang liar dan perlahan.

Beringin itu.. Mencintai setiap hal yang aku torehkan semasa SMA... :)

Kubuat status itu sambil berdiam di mushala setelah mengetahui bahwa guru kami sedang ada rapat kelompok. Dan berhubung ini sudah hampir memasuki waktu dzuhur, kami berdiam di mushala.

Dan dari kejauhan, -mungkin karena telah lama aku mengenalnya- aku segera saja merasakan kehadiran seorang guru yang kucintai karena Allah. Sosok yang tegas dan keras seperti Umar bin Khattab. Dia datang dengan auranya sendiri.

“Bu May datang, ukh...” kataku riuh rendah pada Desy, sahabatku. Dan tanpa komando seperti kisah sekolah kami setiap mata pelajaran bahasa Inggris yang dipimpin guru kami itu, kami diam dan duduk manis.

“Eh! Kalian!”

Masya Allah... senang rasanya beliau masih mengingat kami setelah beberapa lama kami tak bersua. Dan tiba-tiba:

“Prima... Wah... Wajahnya bersihan ya? Gak kayak SMA jerawatan...”

Hah?! Apa?! Jerawatan? SMA aku tidak jerawatan atuh ibu. Masa kekacauan wajah saya hadir saat SMP. Tapi, seperti biasa... Kelakar yang sedikit menyelekit dari ibu itu sangat aku rindukan. Dan aku justru mengulum senyum. Bukan mengerutkan wajah.

Betapa indah ukhuwah itu, kawan...

Dan segera saja, kami mengambil wudhu. Selesainya, kami berdua mendengar suara guru yang kami cari-carai sedari awal. Aku hendak menepuk lembut pundak beliau dari belakang. Tapi Desy mencegah diriku. Dia ingin membuat surprise.

Tapi herannya, sebelum shalat dzuhur dimulai, lagi-lagi aku yang dia minta maju terlebih dahulu untuk menyapa beliau. Dan... Aku dimarahi karena tidak sedari awal mengucapkan salam dan menegur beliau. Aku tentu saja tidak terima dan mengatakan ide siapa surprise-surprise-an itu.

Kami shalat. Dan itu salah satu shalat yang berkesan karena aku diapit oleh dua orang perantara Allah menurunkan taufiq dan hidayahNya padaku dan sahabatku yang tadinya jahiliyah ini.

Segera selesai shalat dan berbincang dengan guru-guru kami yang juga kami anggap sebagai ibu kami sendiri, kami diajak Bu May berdiskusi. Beliau memaparkan hadist dan dalil dari cara shalat kami yang salah. Mengoreksi sikap kami yang salah. Dengan cara yang cukup keras tentunya. Dan aku... Selalu menjadi yang berkeinginan menangis mendengarnya. Sungguh... Selama ini jarang sekali orang yang berkata frontal padaku bisa mencapai hatiku yang paling lembut. Ya Rabb... Air mataku tahanlah ia! Sungguh... Aku tidak ingin mengekspresikan kebahagiaanku dengan menangis sekarang.

Dan dengan Bu Suji, guru kami kami berpelukan erat. Ya Allah, entah apakah kami masih ada kesempatan bersua kembali.

Kami berdua berjalan mencapai gerbang. Dan Desy mengatakan, “Ukh... Seandainya kita bisa membuat Bu May menjadi guru kita..”

Masya Allah... Betapa kami sangat mirip dalam pemikiran! Segera saja aku mengiyakan. Tepatnya, aku hampir selalu mengiyakan kata-kata orang yang dekat denganku. Jarang sekali kukatakan ‘tidak’. Dia masih ragu. Namun, aku berhasil menyeretnya dengan bujukan, “Ayo, ukh! Sekarang atau tidak sama sekali! Kita belum tentu bisa mendapatkan kesempatan lagi nanti!”

Sesampainya di sana, beliau mengatakan, “Kalo mau rutin jangan sama saya. Ilmu saya belum banyak.... Gini, nak. Di tempat saya kami tidak ke-PD-an memberikan ta’lim pada orang. Yang belum banyak hapalan hadist belum boleh membuat kegiatan rutinnya sendiri. Saya hapalan Qur’an sedang proses. Hapalan hadist saya belum. Jangan sama saya. Saya perkenalkan dengan mereka yang jauuuuh lebih baik dari saya.”

Aku sangat mencintai sikap ceplas-ceplos beliau. Sportifitas beliau dalam mengatakan yang sebenarnya. Dan setelah dari sana, aku dan Desy nyaris menangis bersamaan. Kata-kata beliau yang sangat memotivasi:

“Saya saja yang sudah tua bisa menghapal Al-Qur’an walaupun lambat. Apalagi kalian yang masih muda-muda?”

“Kalian harus bertemu guru-guru saya itu. Insya Allah perkembangan kalian akan jauh lebih cepat dari saya.”

“Dari 73 golongan nanti di akhirat, kita akan dipanggil bersama dengan golongan kita. Tentukan golongan kita dengan mencari Islam yang sesungguhnya. Mau jika kalian sendirian tidak ada kawan (jama’ah)?”

Sebentar..
Namun sudah Surat Ali Imran, Az-Zumar, dan Muhammad yang kami bahas.
Sebentar...
Namun sudah fiqh interaksi, fiqh wanita, dan masalah dosa-dosa yang dianggap biasa yang kami bahas.

Kualitas obrolan yang luar biasa. Dan rasanya seperti taman rahasia yang jarang kuperlihatkan pada orang lain tersirami dengan derasnya guyuran hujan. Hujan itu masuk dan menelusup dalam retakan-retakan tanah yang kehilangan. Menghilangkan dahaga dan menguapkan semua gersang di dalamnya.

Begitulah kami menjalankan semua agenda. Namun itulah yang paling berkesan. Kata-kata yang mengingatkanku pada kejadian hari ini dari hadist yang kembali aku cari di internet karena keterbatasan ingatanku:

Imam Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Musa Al-Asy’ari Radiyallahu ‘Anhu bahwa Rasulullahu Shallallahu ‘Alaihi wasallam bersabda :
“Sesungguhnya orang mukmin bagi mukmin (lainnya) bagaikan bangunan yang satu sama lain saling menguatkan.” Dan beliau pun menyilangkan jari-jemarinya,” kata Abu Musa.
(Shahih Al-Bukhari, 481, dan Shahih Muslim, 2585 ).

An-Nu’man bin Basyir Radiyallahu ‘Anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :
“Perumpamaan orang-orang beriman di dalam cinta dan kasih sayang mereka adalah seperti tubuh. Jika salah satu anggotanya mengeluh sakit, maka anggota tubuh lainnya akan memberikan kesetiaan kepadanya dengan berdagang (susah tidur) dan demam.”
(HR. Al-Bukhari, 6011 dan Muslim, 2587 )

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu.Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal ”
(QS. Al-Hujurat :13)

Dari Anas bin Malik dikisahkan. Ada seorang sahabat yang berdiri disamping Rosulullah Shollalahu Alaihi Wa Sallam, lalu seorang sahabat lain lewat dihadapan keduanya. Orang yang berada disamping Rosulullah itu tiba-tiba berkata „Ya Rasulullah, aku mencintai Dia.“ "Apakah engkau telah memberitahukan kepadanya?“, tanya Nabi. "belum" jawab orang itu. Rosulullah berkata, "Nah, kabarkanlah kepadanya!“. Kemudian orang itu segera berkata kepada sahabatnya. "Sesungguhnya aku mencintaimu karena Allah.“ Dengan serta merta orang itu menjawab, 'Semoga Allah mencintaimu karena engkau mencintaiku karena-Nya“.
(HR. Abu Dawud)

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang."
(Al Quran Al Karim Surah Maryam ayat 96)

Uhibbuki fillah...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA