Kematianku

Kematianku

Aku bermimpi-mimpi kapan akhirnya aku tuliskan dalam wujud nyata. Dan akhirnya setelah sekian lama aku mengumpulkan waktu, kekuatan, dan kerangka utuhnya... Aku berhasil membuat ringkasan ini.

Jika bertanya seperti apa aku ingin mati, ada baiknya melihat sedikit perbedaan keinginan yang dahulu dan sekarang aku miliki.

Dahulu, sebelum mengenal tarbiyah, yang aku pikirkan tentang kematian adalah sebuah sosok putih terang nan kosong yang menyapu seluruh kenangan dan ingatan ketika ruh sudah terlepas dari raga. Terasa begitu plong alias lega.

Bayanganku dahulu yang amat sangat pemurung dan tidak optimis menjalani hidup adalah aku akan mati dalam keadaan yang sangat sepi dan muram.



Bayanganku tidak pernah utuh mengenai bagaimana aku bekerja, keluargaku aku mau seperti apa nanti, dan sebagainya. Yang aku pikirkan adalah sampai pada pucuk kematiannya saja.

Aku membayangkan diriku lulus dari sebuah perguruan tinggi. Lepas itu, aku akan berusaha setengah mati untuk masuk ke dalam bank. Seperti yang ibuku inginkan dahulu dan harapan keluarga besarku agar aku menjadi seorang wanita yang sangat independent. Bahkan aku sampai memikirkan untuk tidak perlu menikah saja. Toh, akan lebih mudah, bukan? Apalagi banyak sekali latar belakang keluargaku yang sedikit banyak menjadikan laki-laki sebagai makhluk yang kurang dapat dipercaya dan diandalkan.

Aku membayangkan berada di posisi budeku sekarang ini. Masuk bank, hanya di-routing sana-sini tanpa sebuah kejelasan yang pasti mengenai promosi jabatan. Dan seperti biasa, arus nepotismelah yang melandasi itu semua.

Lanjut...
Setelah itu, aku membayangkan sebuah apartemen di lantai yang cukup tinggi. Sedikit ironis karena aku sendiri punya semacam phobia ketinggian. Faktor utama mengapa aku melihat sebuah apartemen dengan ketinggian itu adalah agar suatu ketika aku melihat ke bawahnya dan terus merasa tersiksa untuk berlari menjalani hidup yang penuh dengan kesengsaraan.

Perabotannya sederhana. Sebuah ranjang besar, berkarpet abu-abu dengan warna putih abu-abu yang kental. Sementara jendela berbingkai coklat yang ditutupi tirai putih.

Kematian yang sederhana. Sendirian, tanpa siapapun di sampingku. Lalu mati di ranjang besar itu dalam keadaan mengidap suatu penyakit akut. Karena sudah tidak punya harapan lagi, aku tertidur pulas menunggu kematian menjemput lewat hembusan napas terakhir.

Tragis. Dan menyedihkan. Tapi sangat rasional untukku saat itu.

Namun sekarang, saat mengenal tarbiyah ini. Setelah 4 tahun aku mengenyam tarbiyah, keinginanku berubah.

Kalau Allah perkenankan aku menjadi orang berpengaruh, aku berharap bisa mengambil posisi penting yang menunjang umat Islam di negaraku untuk perbaikan. Menuju Daulah Islamiyah. Suatu dunia di bawah naungan Islam.

Atau jika Allah memberikanku suatu kehidupan sederhana, bahkan menengah ke bawah yang aku inginkan adalah mengikuti jejak murabbi pertamaku saat kuliah sekarang. Tapi mungkin sedikit modifikasi di sana-sini.

Aku ingin menjadi seorang pentarbiyah/murabbi yang melakukan dakwah di tempat yang jarang terjamah orang-orang. Menemukan orang-orang yang sama ‘haus’nya dengan diriku dahulu sebelum mengenal tarbiyah. Menemui mereka yang ingin tahu tapi tidak tahu ke mana.

Aku ingin menemui mereka. Memberikan mereka segenap ilmuku. Namun aku tegaskan, aku tidak berminat mengajar di sekolah. Mengapa? Karena aku tidak memiliki latar belakang dan keinginan ke sana. Aku ingin hal informal yang membuat orang kuat.

Aku ingin menemui mereka. Orang-orang berbakat yang kuat. Kuberikan semua yang aku tahu –walaupun aku yakin masih belum cukup- untuk mereka. Membuat mereka lebih kuat dari aku. Membuat mereka lebih tangguh, lebih baik, dan tidak memiliki kelemahan-kelemahan milikku.

Jelas...
Kelemahanku adalah milikku sendiri, bukan?

Lalu, setelah mereka kuat dan mengenyam pendidikan yang umum aku berharap mereka duduk di pos-pos strategis atau paling tidak pos kecil yang aku duduki sekarang. Mengambil posisi dan siap berperang pemikiran di jalan Allah. Masya Allah... Indah, bukan? Aku bisa melahirkan mujahid-mujahid muda dan tangguh dari suatu tempat yang dahulu tidak diperhitungkan orang lain.

Belum sampai sana saja keindahan itu berhenti. Aku ingin sekali hidup nomaden. Jika ditanya mengapa, jawabanku adalah karena aku tidak ingin dikenal. Seorang yang bermain di belakang layar. Seorang misterius yang tidak diketahui namanya, namun orang tahu lewat perantaraannya. Keren.

Kematian yang sempurna untuk itu adalah...
Aku terbangun di suatu Jumat subuh. Dalam keadaan paling suci. Dengan firasat kematian yang hanya aku yang tahu. Di kelilingi oleh suami, anak, dan cucu-cucuku yang berlarian di beranda rumah. Hamparan hijau yang dilingkupi embun. Sebuah rumah mungil di pedesaan yang asri seperti gambar yang kudapatkan.

Aku bercengkrama dengan mereka semua. Membaca al-matsurat, makan, berdiskusi, olahraga, dan lainnya. Dengan sigap, aku menunaikan shalat dhuha, berdzikir, dan terakhir membaca Al-Quran. Dan... Pas, khatam.

Waktu menunjukkan pukul 09.00 WIB. Dalam keadaan bersih dan suci, aku mengamati keluarga kecilku di beranda sedang bercengkrama. Aku tersenyum pada mereka tanpa mereka sadari. Menguapkan embun di jendela dan menulis “Aku mencintai kalian karena Allah...”

Aku membaringkan raga di ranjang itu. Siap beserta kain kafan dan perlengkapan mayat serta surat wasiat untuk semuanya.

Dan akhirnya... Ruhku diangkat... Kusebut Laa ilaaha illallah Muhammadar rasulullah...
Meninggal dalam keadaan tersenyum dan sedikit air mata menitik dari manik mata.
Dan kemudian, selang beberapa lama, keluargaku menemukanku. Membaca wasiat itu, dan tersenyum dan mengatakan, “Semoga amal ibadahmu diterima Allah, Bunda...”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA