Biar Berlalu

Aku mencumbu kabut senja yang berbau asap. Ya, bukan asap sebenarnya. Jalan berliku dan barisan pepohonan kelapa meraba merah mega yang mulai menyurati hari.

Dan langit mulai membiru gelap. Di jalanan yang berdesis usai basah, netraku menangkap sepucuk sabit pucat di langit. "Ah, ternyata sudah memasuki bulan baru." bisikku dalam hati.


Dua dayang bersimpuh pinggang lurus dengan Sabit. "Kami berdua adalah mata hatinya."


Aku hanya menjawab, "Jangan terlalu yakin, nanti kalian kecewa." Kulepas senyum indahku ke langit. Kusaksikan mereka berdua meragu, mempertanyakan Sabit. Sedangkan aku? Aku memasukkan kunci pada lubang dan membiarkan semuanya berlalu bersama denting adzan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA