Sejak Kapan Cinta Itu Bersemi

Sejak Kapan Cinta Itu Bersemi

Agak sedikit melankolis bagiku belakangan ini membicarakan cinta. Ah, cinta... Memang tiada habisnya. Namun, tentu saja cinta yang berbeda yang sering aku tawarkan dalam tulisan dan perkataanku sekarang. Kalau kalian alergi dengan cinta, sebaiknya urungkan niat saja untuk membaca catatan ini.

***


Aku sedikit bingung dengan lingkunganku sekarang. Bagaimana mereka memanfaatkan hidup sebenarnya? Aku merasa, jika aku ada di posisi mereka, rasanya tidak seru. Tidak sensasional, dan tidak kontroversi.

Aku heran bagaimana banyak orang di lingkunganku yang dengan tekun memandangi dungunya kertas bisu yang berisikan jutaan teori dan kata-kata rumit di dalamnya?
Bagaimana munngkin banyak orang bertahan dengan hidup yang monoton?
Setiap hari pula. Aku sangat keheranan.

Aku mengamati mereka yang setiap harinya melakukan hal yang sama. Cenderung melakukan hal yang setengah-setengah. Tentu saja ada yang serius, tapi tetap tidak seru melihat fokus yang selalu pada buku.

Kalau kau tanya padaku, melihat keadaanku sedari dulu, aku menyadari sesuatu. Kenyataannya, ketika aku mendorong diriku ke limit akademik, aku kesulitan. Aku hanya maksimal mampu hingga level menengah ke atas/outstanding/advance. Tidak pernah bisa mahir/expert.

Menyadari hal ini, aku mencari hal lain yang bisa membuatku expert di tempat itu. Dan itu aku temukan dalam hal-hal di luar akademik.

Dengan parameter yang nyaris sama pada akhirnya ‘rasa sukses’ itu ada pada hal-hal yang di luar akademik tadi. Dan aku sudah pernah menekuninya dan mengenyampingkan akademik. Tidak baik memang, tapi nyatanya aku pernah.

Dalam banyak hal, aku dituntut untuk seimbang. Walaupun pada akhirnya, tetap juga tidak seimbang.

Jika ditanya padaku, aku sangat suka hidupku sekarang yang banyak risiko terjadi pergesekan konflik di dalamnya. Belajar dalam banyak hal. Memperluas khasanah dengan cara yang berbeda.

Tadinya, aku pun begitu. Sangat suka dengan zona nyaman semacam itu. Namun kini, itu sama sekali tidak menarik bagiku.

“Hidup itu butuh sensasi dan kitalah yang membuat sensasi itu!”

Aku berkali-kali bertanya tentang apa yang terjadi jika terus-menerus berkecimpung dengan ‘sensasi’ ini. Namun kemudian, kembali pada ayat-ayat cinta-Nya yang melarang memanjangkan angan-angan, aku tidak lagi memikirkannya. Toh, besok belum tentu ada, bukan? Santai saja...

Dan akhirnya, aku benar-benar fokus pada ‘sekarang’. Bukan esok, atau kemarin. Namun salah jika dikatakan aku tidak punya tujuan. Aku sudah punya, sejak awal. Yaitu kematian dan awal kehidupan abadi seperti apa yang aku inginkan. Bukan lagi apa rencana esok yang akan aku lakukan, ambisi seperti apa selanjutnya. Sungguh, menghabiskan waktu, bagiku. Dan sebagaimana diriku, aku memilih tidak memikirkannya. Karena jalur kehidupan bisa saja terbalik dalam waktu sekejap dan aku tidak ingin menghabiskan waktu di kemudian hari untuk meratapi apa yang melenceng dari rencana.

Ketika menjadi diri sendiri, memakai caraku sendiri dalam bersikap, rasanya menyenangkan.

Sejak kapan cinta itu bersemi?
Mengapa aku tidak pernah menyadari?

***

Aku menapak tilas kembali kisah-kisah hidupku yang telah lalu.

Kalau aku dahulu benar-benar melakukan  apa yang sebenarnya memang mampu aku lakukan, aku sekarang tidak di Lampung tentunya. Aku sudah berada di salah satu kota besar di Pulau Jawa.

Namun, jika keadaan keluargaku sekarang diasumsikan tetap terjadi, jelas aku akan menyesal sedalam-dalamnya. Karena sungguh, aku akan membebani semua orang dengan seberat-beratnya. Nyaris tidak mungkin berada jauh dari rumah dengan kondisi keluarga yang seperti sekarang? Dan aku sekarang tersenyum. Walalupun tidak bisa memberikan apa-apa untuk mereka, setidaknya aku dapat meringankan sedikit beban mereka.

Allah memang memberikan apa yang dibutuhkan hamba-Nya, bukan apa yang diinginkannya.
Sejak kapan cinta itu bersemi?
Aku tidak tahu.

***

Aku melihat kawan-kawan yang kehidupannya monoton itu dengan mudah bertemu dengan kawan-kawan, sahabat-sahabat, dan orang tua mereka. Sementara aku? Untuk sekadar berbincang saja dengan adik dan ibuku sudah merupakan pengorbanan besar.

Bagaimana bisa?

Tentu saja begitu jika kamu adalah orang yang sering pulang magrib atau isya’ karena urusan kampus. Terkadang tersaput letih dan lelah yang menggunung. Dan menyediakan waktu untuk keluarga sekadar bercengkrama dan menanyakan hari mereka di tengah kelelahan yang menumpuk sudah merupakan prestasi.

Keluargaku baik dari pihak ayah maupun ibu sama-sama punya kekurangan yang sama. Kekurangan yang juga diturunkan kepadaku. Kami sama-sama kesulitan mengungkapkan perasaan kasih sayang kami.

Aku sedikit terkaget beberapa hari lalu ibuku membuka kamarku dan berkata, “Ayang... Kalau hari Minggu usahakan di rumah. Jangan pergi-pergi. Kamu, Mama, dan adik jarang sekali bertemu. Walaupun tidak melakukan apa-apa, setidaknya kita bersama di rumah.” Begitu kata beliau dalam suara yang tercekat dan kikuk.

Aku sangat mengerti perasaan  beliau. Karena sungguh, itupun yang sesungguhnya ingin aku lakukan. Namun, akau harus bisa menyeimbangkan peran-peran yang kini aku pegang,

Aku membayangkan kembali seandainya aku jauh dari rumah. Pastinya, satu tahun dua kali hanya aku akan pulang. Pada hari raya idul Fitri dan Idul Adha. Tentunya dengan asumsi kegiatan yang aku lakukan kurang lebih sama.

Sejak kapan cinta itu bersemi?

***

Tadinya, kawan... aku sama seperti kalian saat membaca buku-buku novel tentang bagaimana perjalanan seorang petualang dunia yang meninggalkan kampung halamannya. Tentunya begitu merasa iri dan berkeinginan.

Aku juga menemukan orang-orang yang mengejar hal-hal tinggi itu. Perjuangan mereka, tentu juga tidak bisa diremehkan.

Namun kemudian, di sini... di tempat ini... aku menemukan orang-orang yang dengan bangga membuang itu semua –padahal mereka mampu- untuk membangun suatu perbaikan dalam lingkungan kami. Kisah mereka tidak dan atau belum pernah begitu santer dipublikasikan. Dan bagi orang-orang ini, hal itu tidak penting.

Mengetahui hal ini, rasa kagumku beralih dari sebelumnya seperti orang kebanyakan yang begitu menyukai dengan mimpi dan kegiatan tinggi itu menjadi kepada orang-orang yang nyaris tidak diperhatikan itu.

Aku tidak menyalahkan jika ada yang mengejar hal itu. Sungguh... aku hanya menyodorkan sudut pandangku saja. Apa yang benar-benar mengagumkan untukku sekarang.

Aku teringat perkataan seorang kakak tingkatku sore itu,

“Ini saatnya kita, mahasiswa yang dijuluki anti-kemapanan untuk berkontribusi. Berpikir global, berkarakter nasional, dan bertindak lokal.”

Sejurus kemudian, seringkali aku bertanya kepada diriku sendiri dan mencari pada bukti empiris tentang siapakah orang-orang yang ‘bertindak lokal’ itu. Dan jawabannya, aku menemukan justru jarang sekali dari mereka yang sudah terlebih dahulu memutuskan berkecimpung dalam mimpi-mimpi besar itu.

Teringat kembali novel-novel yang berasal dari pengalaman hidup orang-orang itu. Aku mulai mempertanyakan apa kontribusi mereka? Apakah sehebat apa yang mereka tuliskan dalam novel mereka? Ataukah mungkin hanya memperkaya diri mereka sendiri? Entahlah... Mungkin kalian bisa menjawab dengan perspektif kalian masing-masing.

Kembali, akhirnya melihat fakta, aku lebih menyukai mereka yang bergerak dari bawah. Dan itu tidak ada persaingan. Hatiku berubah dari begitu tinggi melihat para pemimpi menjadi melihat mereka yang mengorbankan diri memperbaiki secepatnya, sekarang juga, di tengah keterbatasan yang ada.

Sejak kapan cinta itu bersemi?

***

Masih juga, kawan, sampai sekarang aku bersikukuh untuk tidak menginap di luar rumah kecuali dalam keadaan yang benar-benar memaksa.

Banyak orang yang memaksaku untuk mabit, menginap di kosan, bahkan ada yang mengajakku berorganisasi hingga hampir dua belas jam (menginap di sekretariat).

Aku menolak. Banyak hal yang menyebabkanku menolak walaupun tentu saja ajakan-ajakan itu sangat menggoda. Ada yang menggodaku dengan pahala. Ada yang menggodaku dengan pengalaman, dan ada yang menggodaku dengan kedekatan emosional dan pengaruh.

Dan itu sikut-menyikut satu sama lain.
Untuk apa?
Toh pada hakikatnya tetap saja entah itu di kosan, atau di sekretariat, atau di manapun itu tetap di luar rumah, bukan?

Jika bertanya tentang dalil pada diriku mengapa aku tidak mau, banyak. Namun seringkali tidak aku beberkan dihadapan kalian karena aku tahu kalian akan selalu mencari pembenaran terhadap apa yang kalian pegang tanpa melihat kondisiku. Lagipula, sudah berapa kali aku katakan? Dan bukankah sama-sama wajah kalian enggan?

Alasanku:
1.    Aku perempuan. Dan bukankah di dalam Al-Qur’an dan hadist wanita wajib dan tetap lebih utama –walaupun ada kegiatan syar’i- berada di rumah?
2.    Orang tuaku tinggal satu. Dan dia adalah seorang wanita juga sekarang. Tentu berbeda jika orang tua komplit dan atau orang tua yang tersisa adalah ayah. Ibuku sangat khawatir pada anaknya. Dan hati wanita lebih mudah untuk tersakiti dibandingkan dengan laki-laki. Maka, mana mungkin aku tega membantah keinginan ibuku?
3.    Aku di rumah. Dan tidak mungkinaku bersikap acuh di rumah. Anak macam apa itu? Kalau di kosan seringkali tidak ada yang benar-benar mengatur. Saya?

Dan sampai sekarang walaupun sebenarnya aku enggan mengatakan ‘tidak’, tapi aku harus melakukannya. Mengapa? Karena alasan-alasan tadi. Dan juga prinsip diriku sendiri yang tidak suka. Sebenarnya letih untuk melawan kalian. Terutama jika kalian menawarkan hal-hal yang baik untukku. Namun, sungguh... Perlawanan ini telah mendapat persetujuan dari hatiku sendiri. Dia merasa lebih tentram dan tenang...

Sejak kapan cinta ini bersemi?

***

Aku sering sekali melihat kota Bandar Lampung. Terkesan membosankan memang. Melihat selalu Bandar Lampung. Jarang pergi ke tempat yang tidak dikenali pula.

Tapi aku tidak bosan...
Aku melihat kota ini menggeliat dari mulai pagi yang sejuk, siang yang terik, senja yang romantis, dan malam yang mencekam. Sangat indah...

Teringat dahulu aku sangat memberontak untuk pergi jauh dari tempat ini. Namun sekarang, justru aku jatuh cinta dan menyadari seperti ada sesuatu yang membuatku tidak terpisahkan.

Sedikit ironis jika mengingat dahulu aku kurang suka dengan aturan orang tuaku keluar kota. Harus melewati prosedur-prosedur yang pada akhirnya suah pasti aku kalah bernegosiasi.

Tapi sekarang? Aku terkejut sendiri menemukan bahwa aku tidak suka pergi jauh dari kota ini.
Dari rumah ini...

Memang ketika di rumah rawan sekali aku terkena virus-virus melalaikan waktu. Mungkin sekadar tidur siang hari yang jarang sekali aku lakukan, melihat adikku pulang dengan seragamnya dan tertidur di ruang keluarga. Sering ketika momen ini ada, aku sengaja tidur di sebelahnya tanpa ia sadari. Sengaja juga tidak menyuruhnya lekas berganti pakaian karena lucu melihatnya tertidur seperti ini.

Dan yang paling aku sukai saat di rumah adalah...
Ketika menunggu anggota keluarga lengkap. Senang rasanya menunggu hingga semuanya lengkap. Dan seringkali diam-diam aku bergumam, “Oh, seperti ini rasanya.” Gumaman itu disebabkan karena biasanya akulah yang terakhir muncul dari pintu itu dalm berteriak keras karena senang telah sampai rumah, “Assalamu’alaykum... Adhit...!!!”

Sejak kapan cinta ini bersemi?

***

Dan yang aku suka ketika di luar adalah ketika pergi –tetap di dalam provinsi- berkontribusi walaupun sedikit pada masyarakat. Setelah kontribusi lalu pergi dan menjadi anonim dalam benak mereka.

Entah sejak kapan, aku senang sekali orang tidak mengenalku. Namun herannya, semakin aku tidak ingin dikenal, tiba-tiba banyak bermunculan orang-orang yang mengenalku dan dengan menyebalkan aku tidak mengenal mereka. Sebuah hal yang unik, memang.

Sejak kapan cinta itu bersemi?

***

Aku tidak tahu, apakah sebuah visi meraih tujuan akhirku akan tercapai atau tidak. Namun, ketika bermimpi tadi siang, aku mengingat sebuah penggalan lirik samar yang sudah hampir tidak aku nyanyikan lagi sejak berusaha menahan diri dari musik...

Nun jauh di sana..
Masa depan ku terka..
Pandang terus ke depan..
Dan melangkah..

Sekarang ku rasakan derita..
Sekarang ku rasakan tersiksa..
Ingin memilih peluk dirimu...
Tuk ungkapkan...
Tapi sekarang belumlah bisa..
Sampai saat impianmu itu...
Telah kau raih...
Pastikan bilang..
Aku percaya...

-penggalan ost. Shaman King first ending terjemahan bahasa Indonesia-

Kata seorang motivator kala itu, bahwa kita harus menunda kesenangan kita untuk masa depan. Dan sesungguhnya aku pun sedang melakukannya. Namun bukan berarti aku terus membayangkannya. Sungguh membayangkan saja tidak cukup. Tapi kau harus ambil bagian dan buktikan bahwa kau layak untuk mendapatkan yang kau percayai itu... ^_^

Wallahu’alam bish shawab...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA