Hidup dalam Bingkai Perjalanan

Berjalan menelusuri kota Bandar Lampung. Gila, katamu. Saat kautahu kususuri jalanan lurus antara DCC menuju Teknokrat.

Ah, tidak. Tidak gila. Hanya saja kurang waras. Toh kau pun tak pernah tahu jalanan apa saja yang sudah kususuri.

Sengaja kuuji kapasitas diri. Telah lama aku meninggalkan olahraga, bukan? Aku anggap ini bagai masa lalu bias. Ini jalan sehat.

Waktu menunjukkan pukul 08.56 WIB dan aku mereka-reka kapankah aku sampai di Teknokrat.

Di setiap jalan dan simpang begitu cerdas nafsu menggoda. Ditambah gegar gema kendaraan bermotor di kiri tubuhku.

Seberapa tahan aku sublim? Bertahan dalam keheningan di tengah keramaian? Sedikit bercerita. Aku selalu gagal menuliskan frasa di waktu siang dan sore. Kata mereka, memang demikian. Namun, aku bersikeras berkata kurang latihan.

Ternyata menjadi seorang pejalan kaki masih merupakan suatu anugrah untukku dalam bentuk lain. Aku menyaksikan lolongan bangunan tua menolak modernisasi. Aku juga melihat para pengendara yang individual. Individual? Ya. Mereka hanya fokus pada kendaraan dan tujuan. Bahkan aku yang sejenak memelototi mereka juga akan terlupakan. Wajarlah jika mereka tidak mendengar jerat pembangunan dan rintihan alam. Jiwa yang sudah tertukar dengan kepragmatisan, kehedonisan, dan keapatisan akan terkunci mati.

Lambungku berkontraksi. Ah, aku lupa belum lagi aku isi badan kecilku dengan makanan dan minuman sedari pagi. Deret dan barisan makanan memanggil. Di jalanan ini, kau mau apa? Ada bubur ayam, ada jenang, masakan Padang, burger, bakso, mie ayam, dan beragam lainnya. Namun, tidak satupun menarik perhatianku walaupun tentu lapar menggerogoti.

Terkesiap. Bukankah ini kehidupan manusia itu? Kau bisa singgah di manapun kau suka. Memakan apa-apa yang kau suka. Tapi jangan lupa, uang yang diasosiasikan umurmu terbatas. Ketika kamu mempergunakannya di suatu tempat, maka kamu akan lama di sana. Dan kita tidak pernah tahu, makanan yang diasosiasikan perbuatan mana yang baik dan buruk. Ketika pejalan adalah manusia yang baik, ia hanya akan menjajakan uang untuk makanan baik tujuannya. Bukan makanan sembarangan yang menyebabkan penyakit.

Mataku mengeliling lagi. Aku menemukan hamparan toko pakaian muslimah di ruko-ruko berwarna menarik. Padahal sungguh, aku berharap ada toko buku di sini. Namun, bersyukur pula tak kutemukan. Mengingat beberapa buku belum lagi sempat kubaca. Dan itu belum ditambah yang bentuk soft-copy.

Aku terngiang ocehan orang-orang sekitarku perihal penampilan. Namun, ah, siapa mereka? Bukankah aku yang menentukan? Ingin, ya. Tapi itu bukan prioritas utama. Teringat prinsip diri sendiri. Membeli pakaian itu kalau pakaian sobek/rusak, dibelikan, atau memang dirasa harus membeli.

Alangkah banyaknya mereka di luar sana yang tidak memiliki apapun untuk dipakai membalut tubuh. Alangkah mubazirnya jika terlalu banyak harta titipan ini untuk pakaian. Bukankah sebaik-baiknya pakaian adalah pakaian takwa?

Ya. Aku akan masuk ruko itu. Tapi tidak sekarang.

Aku sampai di Teknokrat. Memasuki lingkup kampus dan sejenak duduk di kursi taman dekat mushala. Perpustakaan dikunci. Sayang sekali. Dan sejenak aku melihat taman-taman yang dipaksa memperindah kampus ini sedang ditata paksa.

Aku berandai-andai jika tetumbuhan ini dapat bicara. Mungkin mereka akan protes dan mengelabu enggan.

Namun yang kulihat bukan itu. Tetumbuhan itu masih saja bergemerisik dengan syahdu. Mewartakan segenap oksigen.

Sungguh, alam itu lembut. Tapi manusia menginginkan kekuatan. Dan buldoser-buldoser yang aku lihat di acara televisi itu melantakkannya. Mengubahnya menjadi mesin-mesin uang. Hingga aku hanya bisa memalingkan wajah dan berlalu meninggalkan acara televisi itu.

Aku diam, mengeluarkan handphone dan mengetikan apa yang aku rasa dan pikir. Mengetik lagi. Ah, kenapa tak kubawa kertas dan pena? Bukankah tulisanku cukup bagus? Atau aku telah menjadi manusia modern yang kemampuan menulisnya berkurang oleh kecanggihan teknologi? Entahlah. Akupun tak lagi paham.
Published with Blogger-droid v2.0.4

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA