Tsiqoh Pada Allah

Sebagai seorang muslim -dan mukmin- yang memeluk agama Islam, seringkali kita mendapati kata tsiqoh. Apa itu tsiqoh? Tsiqoh artinya adalah percaya sepenuhnya pada keputusan yang diberikan.

Ketika tsiqoh kita sandingkan dengan Dzat Yang Maha Mulia, tentunya ini menjadi hal yang tidak main-main.

Mengapa?

Karena hukum (syariat) yang berasal dari-Nya itu mutlak harus dikerjakan.

Mari kita refleksikan tsiqoh pada Allah lewat shirah nabawiyah.

Sudah bukan cerita asing lagi bahwa Nabi Musa membelah Laut Merah. Kalau kita cermati shirah yang ada, sesungguhnya ketika berlari dari tentara Firaun, Nabi Musa dan umat beliau dihadapkan pada dua persimpangan. Persimpangan yang satu menuju pegunungan. Dan yang satu menuju laut.

Kemudian, turun wahyu Allah kepada Nabi Musa agar mengambil jalan ke arah laut. Padahal jika menggunakan akal sehat, berlari ke arah gunung akan memudahkan kaum Nabi Musa untuk bersembunyi. Namun, Nabi Musa tetap tsiqoh pada ketentuan Rabb-nya.

Bala tentara Firaun tertawa melihat keputusan Nabi Musa. Mereka beristirahat dan berleha-leha karena merasa Nabi Musa dan kaumnya takkan bisa pergi. Dan akhirnya, ketentuan pembelahan Laut Merah terjadi.

Tsiqoh pada Allah jtiga terjadi pada Nabi Nuh dan Nabi Luth yang diminta meninggalkan istri dan anaknya yang durhaka pada Allah atas perintah-Nya. Maka, mereka meninggalkan sanak saudaranya. Kawan, Allah lebih tahu mana yang terbaik untuk kita.

Demikian pun Rasulullah Muhammad shallallahu 'alayhi wassalam. 13 tahun di Mekah tanpa adanya kemungkinan besar keimanan kaumnya dan penyiksaan kaum kafir, Rasulullah tetap tsiqoh pada Allah. Baginda menunggu perintah hijrah turun. Ketika ditanya sahabat masalah hijrah ini, Rasulullah menjawab, "Aku menunggu perintah dari Tuhan-ku."

Masya Allah..
Betapa tsiqohnya para orang terpilih pada Rabb Semesta Alam...

Pertanyaannya, bagaimana dengan diri ini?

Ketika mengikrarkan kalimat syahadat, berarti kita telah menerima agama ini. Jika kita buka lagi Al-Quranul Karim banyak ayat yang mengaitkan antara ke-tsiqoh-an kita mengamalkan Al-Quran dengan iman dan kemunafikan. Ada pula ayat yang mengatakan bahwa tidak sempurna iman seseorang jika tidak mengamalkan Al-Quran secara keseluruhan.

Pertanyaan lain muncul...
Berapa besar sih interaksi kita dengan Al-Quran? Seberapa banyak sih kita mengamalkan Al-Quran?

Ketika ada ayat yang melarang mendekati zina, apakah kita lakukan?
Ketika ada ayat yang melarang riba, apakah kita lakukan juga?
Ketika ada ayat masalah dakwah dan berbakti pada orang tua, sudah dilakukan atau belum?

Ini baru Al-Quran, kawan-kawan. Belum hadist. Padahal untuk masuk surga, kita butuh amalan luar biasa. Bagaimana mungkin yang wajib saja cukup? Subhanallah... Malunya...

Astaghfirullah... Mari perbaiki diri.. Tsiqoh pada Allah semata. Jangan sampai kita menyesal. Karena surga itu teramat tinggi dan hanya diperuntukkan pada mereka yang istimewa.

Ingatlah hari ketika tidak ada naungan selain naungan-Nya...

Wallahu'alam bish shawab...
Published with Blogger-droid v2.0.4

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA