SAKIT TANPA LUKA

SAKIT. Tapi tidak ada luka.

Dan begitulah akhirnya aku terbangun dari lantai kamar yang berwarna kusam. Semut-semut kecil mulai menggigiti dahiku yang sempit ini. Rasanya sama. Sama seperti saat kau menyakitiku. Tidak ada luka. Tapi menggigit, menggerogoti hati.

Dengan kesal aku menggosokkan tanganku yang pucat bagaikan mayat ini ke atas badan-badan semut yang lembek itu. Nampaknya, dia tidak sendirian. Aku menggapai handphone-ku yang tergeletak lemas, diinfus oleh charger baterai. Aku tekan tombol mayanya sambil membalik posisinya.

Oh, ternyata nggak satu-satu ini semut! Demikian ujarku dalam hati. Kutepakkan tangan kesana kemari dan tidak juga habis semut-semut itu.

Aih, sudahlah! Segera aku memindahkan badan dengan malasnya ke ranjang double set milikku sedari kecil itu dengan menelungkupkan badan. Sebentar... sebentar... tapi bukan pulas yang aku dapatkan. Tapi sesak.

Aku membalikkan badan dan melihat barak pengungsi ini... maksudku kamarku. Menunggu rasa kesal yang selalu aku dapatkan di kampus saat melihat segala sesuatu yang belum terbereskan. Sore tadi, aku sudah berangan-angan akan pulang kemudian mengambil sapu dan pengki serta berkutat mana yang aku lakukan terlebih dahulu. Mandi atau berbenah kamar. Tapi ternyata, tidak satupun dari rencana itu yang aku lakukan.

Aku kesal karena tidak merasa kesal dengan keadaan ini. Sama. Sama seperti saat kamu pergi meninggalkanku. Aku kesal karena tidak bisa kesal denganmu. Ah, sudahlah! Hentikan! Bahkan dalam rasa muak ini pun, aku tidak bisa kesal kepadaku. Bagaimana bisa aku yang dahulu mencintaimu berubah menjadi sangat membencimu? Mungkin hanya Tuhan yang tahu.

Kupejamkan mataku yang teramat lelah ini. Namun, aku tidak juga tertidur. Dan kudengar langkah kaki Bunda menggema dari lantai yang beku. Derap langkah Bunda cepat. Beliau akan marah. Aku tertidur. Ingat, aku sedang tertidur. Aku menyugestikan pikiranku sendiri.

Dengan segera dan kasar, Bunda membuka pintu kamarku. Kata-kata yang keluar sudah aku duga.

“Ya ampun!!! Baru mau nyuruh ngeberesin kamar yang sudah kayak kapal pecah ini. Sudah tidur anaknya...”

Aku mendengar omelan Bunda sejelas suara adzan masjid kampus saat dzuhur datang. Dan mulai Bunda menyeramahi Ayah karena tidak berhasil memarahiku. Aku menghela nafas.

***
Waktu telah menunjukkan tengah malam. Aku keluar mengendap-ngendap. Ternyata masih juga pikiranku berkutat antara sapu dan pengki serta mandi. Setelah ditimbang-timbang, aku memutuskan itu tidak penting.

Akhirnya aku mengambil sapu dan pengki kemudian mengobrak-abrik kamar menjadi serapi semula. Lebih rapi dari semula bahkan, mungkin. Karena biasanya ada tim penilai yang lebih ampuh selain mataku ini. Mata dan penilaian dari Bunda. Hem, aku penasaran apa kata Bunda besok pagi.

Dengan bercucuran keringat, aku mandi. Tengah malam mandi. Wah, bagus sekali! Tinggal tunggu sakit tulang saja.

“Jam segini baru mandi!” Aku melonjak dan nyaris terpeleset di kamar mandi mendengar jeritan Ayah. Ayah terbatuk. Dan aku menyegerakan mandi dan berlari-lari kesetanan melewati punggung Ayah.

Aku masuk ke kamar. Dan... Rapi juga ternyata. Aku hendak beranjak tidur. Namun ternyata, kelopak mataku enggan menutup rapat dan memberontak.

Alhasil setelah kudengar Ayah masuk ke kamar, aku keluar. Aku menyeduh segelas kopi agar tidak tertidur. Sugesti mungkin aku selalu bisa tidak tidur jika minum kopi. Kata orang, minum kopi menghilangkan kantuk. Namun bagiku pribadi, itu lebih daripada sugesti pikiranku yang katanya kuat pada tubuh. Seusai meminum kopi, gelas aku taruh di sudut meja dapur. Aku kembali mengambil gelas. Gelas besar milik Ayah. Gelas yang biasanya Ayah gunakan untuk menyeduh “kopi seniman” alias kopi pahit kurang gula.

Perbedaannya, yang aku seduh adalah teh. Kuambil teh celup dan kubuang tali tipis untuk mencelup dan kutenggelamkan semua bersama dengan tiga sendok kecil gula pasir yang tadinya sudah dirimbuni semut-semut hitam. Air panas mengepul dari teko yang kupanaskan.

Dengan perlahan, aku membuka pintu samping rumah. Dan tiap membuka pintu itu, aku merasa seperti membuka “gerbang imaji” milikku sendiri. Pas sekali. Malam ini purnama. Merah.


20-6-2012
30-6-2012
Prima Helaubudi



*file lama... ini entah apa... :D

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA