Benteng Es yang Menyimpan Bara
INI YANG KEDUA.
Ini yang kedua kalinya aku menolak seseorang yang aku tidak ketahui siapa dia
gerangan. Jujur, aku ini sedang dilanda ketakutan. Suatu ketakutan purba yang
kuketahui sedari lalu sebagai bentuk trauma masa lalu. Tapi, Allah rupanya
mengaruniaiku sebuah rahmat tak terkira. Sejenak membaca buku dari Ibnu Qayyim
dan dalam hitungan menit, aku tidak lagi ketakutan akan pernikahan. Meskipun tetap
traumaku sejujurnya tidak pernah—dan sepertinya—; tidak akan hilang.
Aku dibesarkan dengan cara yang kasar
sebagai seorang anak. Lama, lama sekali untukku menguasai diri dengan
pernyataan, aku bertanggung jawab atas diriku sendiri. Aku bisa menjadi apa
yang kumau, dan aku harus memilih. Aku tidak bisa diam. Aku ingin diriku
berubah jadi lebih baik. Aku pun berubah menjadi sosok yang tiba-tiba
berubah 180 derajat. Seorang anak pendiam, pemalu, nyaris tidak bisa bicara,
dan dijadikan bahan ejekan. Lalu, berubah menjadi sosok penindas, pemarah, meledak-ledak,
dan mengintimidasi. Aku menyembuhkan rasa traumaku dengan melakukan kebalikan
segala hal yang kulihat, kudengar, dan kurasa.
Jika ada orang yang menyakitiku dengan
suatu cara, aku akan sangat membenci cara itu dan melakukan dengan cara yang
ektrem berbeda dengan yang digunakan orang tersebut. Lalu, setelah nyaman
dengan pemberontakan itu, barulah kujadikan diriku ada di tengah-tengah;
menjadi sederhana.
Menyembuhkan diri atas trauma masalah
pernikahan sangat berat. Sosok laki-laki di mataku adalah penindas dan
penjajah. Belum pernah berubah. Saking itu menjadi suatu trauma, aku menyadari
saat ini bahwa semua laki-laki di hidupku; di sekolah, di organisasi, di
manapun, mereka akan selalu bertengkar denganku—menjadi musuh.
Tapi sekarang, aku tidak bisa
demikian. Aku sudah memasuki tahun-tahun perempuan dewasa. Aku mengembangkan
banyak rasa harap yang teramat kurang di kehidupanku dan berharap semua akan baik-baik
saja. Meskipun , kuakui, aku kerap kesal tidak karuanan ketika mendengar orang
yang terlalu exciting soal menikah. Aku jengkel dengan nada-nada dayuan
seolah menikah itu adalah hal yang mudah. Penuh romansa.
Penuh romansa? Benarkah? Aku adalah
manusia yang di kelilingi trauma dan aku lebih memikirkan konsekuensi. Sekali aku
jengkel diprovokasi oleh kawan-kawanku soal menikah, kuputuskan seri di wajah
mereka dengan satu kalimat tipis, kalian siap dengan konsekuensi? Aku menjatuhkan
romansa hebat dalam pikiran mereka dengan satu kalimat.
Aku juga jengkel dengan banyaknya
kegalauan hebat setiap hari dari orang-orang yang menginginkan pernikahan namun
tanpa aksi. Buat apa? Buatku sendiri, pernikahan adalah perkara yang sangat
sensitif. Itulah mengapa, meskipun—entah kenapa aku selalu kena sampai sekarang
masalah ini padahal sudah menghindar sekuat mungkin—banyak orang telah
memprovokasi diriku masalah pernikahan sedari usiaku menginjak 18 tahun—tapa izin
Allah tentunya—itu tidak mempan. Sama sekali mental dari pikiranku. Aku sanggup
memikirkan hal-hal yang lain.
Cinta dalam pernikahan itu maju atau
mempersilahkan. Ya, seperti kata-kata mutiara yang kerap kita jumpai dalam
suatu artikel pendek. Aku pribadi tentu saja punya sejenis keiirian tertentu
dengan orang-orang yang berpacaran. Apa, ya, rasanya berpegangan tangan
dengan orang yang disukai? Apa, ya, rasanya kamu bisa manja paripurna dengan
seseorang? Tentu aku punya. Tapi aku tidak punya momen seperti itu di
hidupku. Menyiksa? Ya, menyiksa.
Itu diimbangi dengan bashirah yang
Allah berikan kepadaku. Pikiran bergema di dalam kepalaku selayaknya suara
bergema di balik gua dan daerah dataran tinggi. Jika kamu punya waktu 60
tahun, maka sungguh, insya Allah jika umur panjang, kamu akan bersama dengan
pasanganmu selama 35 tahun. Kamu akan puas merasa senang, jengkel, mengalami
pertengkaran, bosan tak berkesudahan, dan perasaan lain. Bersabarlah. Jika prosesmu
berkah dan Allah rida, kamu bisa bersamanya di surga juga. Abadi selamanya. It is
for eternity together, sweetheart.
Kembali ke awal tadi. Aku rasa menjadi
sosok sahabat wanita bernama Ummu Sulaim itu susah. Susah sekali. Menerima orang
yang baru saja berislam dengan keyakinan paripurna ternyata tidak mudah. Kedua proposal
yang masuk ke hadapanku adalah orang yang baru saja kenal manhaj yang haq. Berkali-kali
istikharah dan jawabannya adalah tidak. Aku tidak berkecenderungan. Aku juga
bertanya pada diriku sendiri ada apakah gerangan?
Masalah sekufu itu diperkenankan dari
pihak perempuan. Bukan laki-laki. Laki-laki tidak mengapa mendapatkan yang
tidak sekufu. Sebaliknya dengan perempuan. Para ulama menyebutkan sekufu untuk
perempuan itu penting. Sebab, perempuan di pihak yang lemah. Jika mendapatkan
yang jauh di bawah standar si perempuan, maka dikhawatirkan, si perempuan akan
futur iman setelah menikah.
Pertimbangan rasionalku mengambil
alih. Iya memang keduanya mapan, lebih tua, dan semacamnya. Tapi sebuah
pertanyaan menghalangi dengan sangat kuat dan menjaga dengan sangat ketat hasil
istikharahku. Apakah kamu rida anak-anak yang kaulahirkan—insya Allah—melihat
ayahnya demikian? Apa kamu rida dipimpin oleh orang yang kurang pemahaman
agamanya? Jawabanku adalah tidak.
Aku tetap saja bertanya-tanya di dalam
hati dengan masa laluku yang penuh trauma melihat kekerasan first love at
the sight, could I? Soal nanti bisa menjadi cinta, kurasa aku
kapabel untuk itu. Masalahnya, aku masih juga khawatir tidak menerima
seorangpun. Di sinilah, aku merasa sangat bersyukur Allah menurunkan syari’at
shalat istikharah. Setidaknya, hatiku bisa sangat tentram ketika
melaksanakannya untuk keputusan penting seperti yang satu ini.
Seperti
benteng es yang menyimpan bara. Aku seolah berjalan ke gerbang terluar benteng yang
selama ini aku kunci. Dan kini... aku sedang penuh pertimbangan rasional dan
emosional ketika ada yang mengetuknya dari luar. Akankah kubuka dan kubiarkan
ia menyesap bara dengan konsekuensi ia bisa menghancurkan bentengku dari dalam
menyisa sakit tak berperi. Ataukah tidak kubuka dan tetap kesepian dalam sunyi
di benteng yang penuh perlindungan?
Bandarlampung, 10-10-2014
Prima Helaubudi
Komentar
Posting Komentar