Kenapa Takdir Baik Terjadi Pada Diri Kita
KAGETKAH
dengan judul catatan yang aku buat ini? Tenang saja. Aku tidak akan
mempertanyakan terlalu jauh soal hal ini. Pembuatan catatan ini terinspirasi
dari buku yang ditakdirkan tiba-tiba aku pinjam di Perpustakaan Daerah
(Perpusda) Lampung dan novel yang aku beli. Hingga catatan ini aku bubuhkan,
buku dari Perpusda yang “dengan narsisnya” berlaku buat remaja telah selesai
dikembalikan dan terhitung 150-an halaman lagi dari novel tersebut yang belum
aku selesaikan dengan estimasi waktu membaca yang terlambat satu hari. Dan akan
jadi dua hari jika mati listrik ini terus sampai tengah malam. Beberapa orang
akan tidak setuju dengan kebiasaanku membaca novel ini. Never mind. Aku
tidak larang kalau tidak setuju.
Ternyata, secara unik, kedua buku yang
aku baca ini berbicara kepada takdir. Mengenai kebahagiaan, mengenai persepsi,
dan lain sebagainya. Mati listrik yang tiba-tiba justru merangkaikan semuanya
menjadi satu dalam hikmah yang belum kuduga. Iya, ya. Semuanya menyoal
takdir! Prima, kamu ke mana saja? Aku pun terserang euforia mendalam.
Kita sebagai manusia sering sekali
mengeluh kalau tiba-tiba ditimpa takdir yang menurut kita buruk. Ketika
pendewasaan diri baru mencapai di derajat tertentu, bukan berlebihan rasanya
dunia serasa Kiamat. Tapi lucunya, beberapa waktu kemudian, rasanya lucu sekali
mengingat ekspresi kita yang dirasa terlalu berlebihan.
Tapi, salah satu bab novel tersebut
mengingatkanku, Kenapa tidak kita balik? Kita selalu saja mempertanyakan
mengapa segala hal buruk terjadi pada diri kita. Meskipun terkadang kita juga
paham tentunya ada yang jauh lebih kesulitan dibandingkan diri kita sendiri.
Kenapa tidak kita coba mempertanyakan. Kenapa hal baik terjadi pada diri kita?
Selayaknya masalah yang tidak ada satu pun manusia diberikan pengecualian daripadanya,
maka bukankah sebaliknya juga berlaku. Kenapa kita dapatkan hal baik? Padahal
banyak juga manusia yang lebih baik daripada kita?
Ini adalah siluet ingatan yang
menyeretku pada beberapa waktu lalu saat seseorang menyatakan kepadaku, “Jangan
remehkan apa yang diminta oleh Allah kita imani dalam rukun iman itu! Setiap
kita memiliki kelemahan dari salah satunya. Pun, yang telah kuat, diwajibkan
istiqamah menjaganya. Salah satu rukun iman yang paling berat adalah iman
kepada takdir. ... Iman kepada takdir inilah yang mana setiap manusia kerap
terjatuh daripadanya. Mengeluh dan mempertanyakan segalanya. Padahal, takdir
adalah hak prerogratif Allah Subhanahu Wa Ta’alaa.”
Iya, memang berat. Mengulang kembali.
Kita sering bertanya kenapa hal buruk terjadi pada diri kita. Tapi tidak pernah
bertanya kenapa hal baik terjadi pada diri kita. Seolah memang kita sudah
pantas. Entah dari sudut mananya. Aku jadi teringat, jangan-jangan kita seperti
Haman yang menyatakan bahwa segala kekayaannya itu dari kepintarannya semata.
Maka ia jadi sombong dan merasa dia memang pantas dan layak mendapatkannya.
Demikian pula kisah di kebun dalam Surat Al-Kahfi yang mana pemilik kebun kaya
raya menyatakan bahwa jikalau ia meninggal segala hal pastilah lebih baik dari
kebun miliknya. Keduanya congkak dan merasa semuanya itu memang pantas untuk
dirinya. Lupa bahwa ada Allah yang memberikan takdir harta benda itu
dipinjamkan ada untuknya. Lupa bahwa ada Allah yang memberikan takdir kebun itu
dipinjamkan kepadanya. Iya, cuma pinjaman. Dan apa yang terjadi setelah
kecongkakan tersebut? Pembenaman dan juga pemusnahan yang Allah berikan.
Kembali pada salah satu dan/atau kedua
pertanyaan—yang menurutku—agak filsafatis; atau retoris(?)—terserah sebutan
yang dipilih masing-masing, Kenapa hal buruk terjadi pada diri kita? Kenapa
hal baik terjadi pada diri kita? Aku meyakini bahwa yang dengan kritis
mempertanyakan hal ini akan sampai pada kesimpulan bahwa akal tidak
menjangkaunya. Kegilaan mulai melandanya. Dan benarlah kiranya ada pernyataan bahwa
ada hal-hal yang lebih baik tidak dipertanyakan. Hal-hal yang ketika
dipertanyakan membuah kehilangan. Semua akan berakhir pada: takdir itu adalah
hak prerogratif Allah.
Jadi, rujukannya tidak bukan dan tidak
lain penggalan empat ayat 60—64 dalam An-Naml itu: “Apakah di samping Allah ada sesembahan
yang lain?”
Bandarlampung, 30-10-2014
Prima Helaubudi
Alhamdulillah, ketika mati listrik
justru memberikan suatu ikatan yang tersambung tentang hal ini. Membekap dalam
melankolis yang kondisional.
*no debate area
Komentar
Posting Komentar