Perempuan Pembuat Salam Perpisahan (Sebuah Prosa)
Perempuan Pembuat Salam Perpisahan
--kepada para perempuan
yang menyimpan juta pisau di ulu perasaannya
Perempuan itu tak pernah bermaksud membuat salam
perpisahan apapun atau kepada siapapun. Hanya saja, takdir hadir bagaikan tumbuhnya
bunga lili di padang rumput; kehadirannya tak dapat ditolak.
Maka, perempuan itu terkenal sebagai pembuat
salam perpisahan yang mahir layaknya Leonardo Da Vinci yang terkenal dengan lukisan
Monalisa dan Vesari miliknya.
Perempuan itu sangat pandai membuat berbagai
variasi kalimat dari kata-kata selamat tinggal. Yang mana, selalu menjadi momok
bagi sebagian orang. Seperti bertemu dengan bayangan gelap di tengah penyakit fobia.
Perempuan itu hanya tegar. Berkali-kali kehilangan
tak membuat mata bersemi untuk gagal menggugurkan senyum dari panas ranum bibir
musim yang dibalut pucatnya gigil dinginnya.
Yang ditakdirkan takkan pernah pergi selamanya.
Itulah keyakinan yang dipegangteguhi olehnya. Tak pernah berubah meskipun angin
monsun datang layaknya air bah. Mengganti musim hujan yang penuh berkah menjadi
musim kemarau yang menyimpan api.
Bermain dengan kata derajat tak pernah membuatnya
bosan. Setiap yang datang akan pergi. Setiap yang pergi akan datang. Akhir adalah
permulaan yang baru. Cukup belajar dari musim-musim yang tak pernah melangkahi takdirnya
untuk berubah.
Permainan waktu tak pernah kalah. Pengucapan
selamat tinggal hanyalah sebuah jalan yang harus ditempuhi dengan susah payah. Dan
kamu, cukup menghujat saja. Tanpa pernah kamu bertanya seberapa banyak rasa sakit
yang disimpannya untuk meneguhkanmu bahwa perpisahan adalah yang terbaik?
Perempuan itu memasang wajah yang paling manis,
mata yang paling awas, dan sikap yang paling kejam. Seorang perempuan biasa yang
lebih baik memberikan sebuah kepastian--yang tak bisa kamu berikan--daripada memberikan
janji semu--yang kamu beri--.
Dalam bentangan pena yang paling hitam dan malam
yang paling rahasia, kamu akan mendengar rintihan doanya : untuk tak lagi mengucapkan
kata berpisah.
Bandar Lampung, 28 September 2013
Prima Helaubudi
Habis baca sedikit prosa dari Kahlil Gibran.
Penyair favoritku yang selalu sukses membangkitkan jiwa melankolis, romantis, dan
rapuhku yang tak pernah terlihat dengan tajam di kehidupan sehari-hari.
Komentar
Posting Komentar