Potongan Absurd
Aku terheran
di depan pintu dapurmu yang beralaskan semen-semen kasar awal tahun ’50-an.
Kusandarkan sebagian kanan tubuhku dan kusilangkan ujung tumit kaki ini sebagai
tanda ketidaksetujuan—sebagai pengganti tanganku yang sedang bersidekap di
dada—.
Kenapa kamu
leraikan balok-balok ingatan itu menjadi dadu?
Ini bukan
dadu.
Lalu?
Ini adalah
padu.
Aku tak
mengerti maksudmu.
Seperti
orang lain yang tak mengerti maksudku.
Aku
mendekatimu perlahan. Berat hati sandalku ini menggesek-gesek kasar tidak
setuju. Aku terkejut. Bentuknya bukan dadu. Tapi sembarang. Tanpa takar dan
tanpa datar. Wajahmu begitu serius hingga aku tak lagi dapat menemukan jiwa
kekanak-kanakkan yang sering kutemukan. Matamu awas; menggelijang pandang dan
mengejang.
Aku hanya
ingin membaginya.
Menjadi apa?
Keburukan
dan kebaikan. Kenangan baik dan kenangan buruk. Pikiran dan hati. Jiwa dan
raga. Laki-laki dan perempuan. Malam dan siang.
Ke mana akan
kausisihkan mereka?
Akan
kutentukan dan kubuang apa yang buruk, kenangan buruk, pikiran, raga,
perempuan, dan siang.
Aku melihat
resep tata karma dan kebijaksanaan telah kaubuka tepat di depan hidung
mancungmu. Resep-resep itu sudah lagi membentuk sudut tumpul. Terbuka dengan
lebar hingga mereka menguap bosan kauabaikan.
Potongan
absurd itu membuatku jengkel kepadamu. Tetiba, kamu selesai membagi dan melesat
lupa dengan siapa kamu berbicara. Ternyata akulah yang kamu singkirkan.
Bandarlampung,
31-12-2013
Prima
Helaubudi
Komentar
Posting Komentar