Aku Tidak Ingin Menunggu
“Anti
harus bersyukur ditakdirkan Allah jadi seorang perempuan. Ana yakin
kalau anti ditakdirkan jadi seorang laki-laki, hari ini anti
berenang di laut. Besok udah bisa ngedaki gunung.”
“Anti
ini kayak robot, ya?”
S
|
eorang
kawan yang baru kukenali melihat seperangkat aktivitasku sehari-hari dan ini
tanggapannya. Aku merasa heran dengan tanggapannya. Sebab, aku merasa, hidupku
ini tidak heboh. Tidak seheboh presiden yang harus membuat jutaan keputusan per
hari. Tidak seheboh ulama yang membuat puluh bahkan ratusan fatwa per hari.
Hidupku damai-damai saja. Memang terkadang aku berlebihan dengan panik. Biasalah,
masih terbawa hasutan nafsu dan setan untuk tergesa-gesa. Tapi, overall,
hidupku damai dan membahagiakan, sekarang ini, dan ketika perasaanku sedang
sangat bagus. Apanya yang seperti robot? Itulah yang kupikirkan.
Beberapa
kali beliau menyatakan kepadaku, mendengarkan keinginan-keinginanku yang
menurut beliau sangat perfeksionis akut nan ambisius. Apanya sih yang ambisius
dari kepingin belajar Bahasa Arab, hafal Alquran, hafal hadits, bisa kaligrafi
sedikit-sedikit, dan membaca kitab ulama arab gundul? Meneladani ulama
sebaik-baiknya—beberapa keinginanku yang lain masih banyak? Apanya yang
ambisius dari itu? Menurutku tidak ada. Semua orang, yang punya atensi sama
soal agama, pasti memikirkan ini. Minimal punya ilmu sebelum berkata dan
beramal. Jadi umat yang taat. Tak perlu jadi ulama hebat juga tidak mengapa.
Saran
yang beliau berikan cukup mengusik batinku. Akhirnya, aku tuangkan ke dalam
tulisan carut-marut satu ini. “Anti cari pasangan hidup yang bisa Bahasa
Arab, yang di pondok...” Dan seterusnya. Menurutku, agak berlebihan. Orangnya
sudah ditakdirkan. Rezeki, jodoh, dan maut itu sudah ditetapkan. Takdir sudah
mendahului. Jadi kenapa aku harus heboh dengan itu? Itu seperti aku melihat
orang yang pacaran dengan maksud ada yang jemput, ada yang traktir makan, ada
yang perhatian. Kamu cari tukang ojek? Bukankah orang tua dan sahabatmu—yang satu
gender—lebih laik kamu cari? Lagi pula, aku ini siapa?
Aku
tidak suka—walaupun belum tentu maksud beliau adalah hal ini—bahwa seakan aku
harus menunggu orang lain ada untuk baik. Aku harus menggantungkan diri pada
orang lain untuk baik. Aku, kamu, kalian; akan datang di hadapan Allah
sendiri-sendiri! Tidak ada jaminan suami shalih, juga ikut shalih. Belum tentu.
Mumpung waktuku masih ada, mumpung nafasku masih panjang. Siapa tahu umurku
berikutnya, bukan?
Ditambah
lagi, ada yang tahu segi kekuranganku. Tawaran yang menarik untuk nafsuku. Nanti,
nanti, nanti. Demikian ujarnya menggoda. Kenapa memang jika aku tidak bisa
belajar tahsin ke suatu tempat yang keren nan wah itu? Kenapa memangnya jika
aku belajar bahasa tidak langsung ke tempat lesnya? Kenapa memang kalau aku
baru sanggup membaca buku-buku terjemahan? Kenapa memang kalau aku mengoleksi
buku ulama dari Bahasa Arab bahkan belum aku pahami bahasanya? Kenapa memang
kalau aku menulis tulisan Arab agar tulisanku bagus dulu minimal? Kenapa,
kenapa, kenapa?
Aku
ini tidak memiliki fasilitas yang selengkap sebagian orang. Senjataku—yang kata
orang ada—adalah semangat dan penasaran dalam menuntut ilmu. Kalau tidak, Ya
Allah, sungguh apa lagi yang bisa kuandalkan? Sementara perempuan yang lain
sudah berhijab lama, aku baru. Sementara perempuan lain sudah baik dari lama,
aku—dengan narsisnya bilang—baru. Mereka sudah belajar lama, aku baru. Fasilitas
mereka lengkap dan aku tidak.
Jikalau
melihat kekurangan; jelaslah aku kurang.
Jikalau
bicara sedih; jelaslah aku sedih.
Tapi
waktuku amat sedikit untuk membandingkan diri.
Menyalahi
suatu takdir Ilahi meraih apa-apa yang tidak kudapati.
Pilihanku
hanya maju.
Berusaha
dengan penuh kesabaran dan kesyukuran
:
yang juga perlu diusahakan.
Hanya
itu. Titik.
Kalau
bisa sekarang; kenapa harus nanti? Aku pun sudah mendengar dari para ibu bahwa
waktu-waktu dalam kehidupan semakin lama akan semakin sempit; semakin banyak
tanggung jawab. Aku adalah orang yang keras kepala. Aku sadari itu. Aku tidak bisa
menghilangkannya karena itu adalah bawaan yang Allah berikan kepadaku. Aku hanya
bisa mengalokasikannya ke tempat lain. Dan hal-hal ini adalah beberapa tempat
yang kupilih untuk menyalurkan segala macam kekeraskepalaanku. Hal-hal positif
yang sangat bagus untuk ditergesai. Seperti yang termaktub dalam hadits mahsyur
bahwa tergesa-gesa yang baik hanyalah dalam melakukan kebaikan.
Bandarlampung,
29-10-2014
Prima
Helaubudi
I
don’t want to wait!
Komentar
Posting Komentar