Prosa - Pendahulu Ingatan
Pendahulu Ingatan
Kudengar suara-suara dari suatu tempat yang asing. Tidak
pernah dijamah dan dilihat sebelumnya. Simfoninya adalah juntaian kenangan yang
pernah hadir dalam kehidupan seorang putri.
“Apakah kau tahu apakah mimpi sang putri itu?” Kau hanya
menggeleng tidak tertarik. Dan aku enggan untuk mendesak lebih jauh. Sementara
kau? Aku mengetahui bahwa kau menyangka jauh di dalam sangkaan yang tak
seharusnya kau sangka.
Tundra telah mengering. Meskipun dingin, kita tetap datang
ke sana. Setiap hari, setiap detik. Dan masa, hanya menjadi ruangan kosong yang
tak pernah kita kenal sebelumnya; asing.
Perintis yang merintis perasaan yang tak usai. Kapankah akan
berakhir? Kuharap tak secepat bilah-bilah lumut yang mulai merayapi tanah-tanah
bebatuan. Ingatlah! Jangan pernah kau melupakan apa-apa yang pernah aku
sampaikan dalam hati.
Apakah kau mendengar suaraku? Dua insan dalam satu tarikan
nafas; beriringan.
Matamu demikian hitam seperti obsidian yang hanyut di lingsir
sungai malam itu; tertidur.
Bahasa kita memang berbeda. Pernahkah kau mengarungi dunia
dan mendengar semua frasa dan rasa? Atau semua budaya yang tercipta. Semua tak
pernah ada dalam bahasa kita yang pucat.
Dinding-dinding menjadi saksi bisu. Bukan tentang dosa,
mungkin. Hanya perasaan yang disembunyikan. Terlalu jauh mengumpulkannya dalam
satu cangkir kecantikan kata.
Kita meninggalkan apa-apa yang tak pernah selesai.
“Bagaimana jika kita berotassi? ujarmu.
“Bagaimana jika kita beresonansi?” balasku manja.
“Bagaimana jika keduanya?” ucap kita bersamaan tanpa ada
rencana. Kemudian, kita menunduk tak tentu arah, menahan senyuman yang penuh
bara di mata. Di ufuk sana, matahari berubah menjadi mega yang diselingi
camar-camar.
Entah mana yang harus diingat. Atau mana yang harus lebih
dulu kita ingat.
Bandarlampung, 2-2-2013
Komentar
Posting Komentar