Cerpen - Melia


Melia


“Katakanlah apa yang ingin kaukatakan padaku. Tapi berjanjilah, jika aku ingat, kau akan menuruti apa yang aku katakan padamu.”
“Aku berjanji.”
***
Aku telah berjanji kepada istriku tersayang jauh, jauh sebelum semua ini terjadi. Jauh sebelum kami mengetahui bahwa tidak ada harapan untuknya normal kembali.
Dan disinilah aku berada. Ini adalah yayasan kecil yang dibentuk istriku diawal pernikahan kami yang begitu bahagia. Yayasan kecil yang dia ciptakan untuk mengusir rasa sedihnya tidak dapat memberiku seorang keturunan.
“Pergilah dariku. Aku bukan seorang wanita yang pantas untukmu,” ujarnya setiap kali dia merasakan kesedihan. Dan aku akui, terkadang itu seringkali terjadi di saat aku sedang begitu mencintainya.
Namun, aku mengerti. Dia takut ketika aku begitu bergembira dengan kehadirannya disisiku, aku melupakan impianku. Sebuah impian kecil bodoh yang menyebabkan hatinya selalu diselimuti badai kelabu. Keinginanku memiliki 11 orang anak. Bermain sepak bola dengan mereka saat hari Minggu dengan istriku sebagai manajer tim tentu saja. Aku tak perduli dia tidak dapat memberiku keturunan. Dan aku tidak suka menyalahkan Tuhan atas apa yang terjadi. Jika aku menyalahkan Tuhan, bukankah berarti aku juga menggugat-Nya karena mempertemukanku dengan Melia, istriku? Padahal Melia adalah anugrah terindah untuk hidupku dari-Nya.
Pernikahan kami sudah berjalan kurang lebih sepuluh tahun. Aku akui, saat itu aku memutuskan untuk melamar Melia saat umurku baru menginjak 22 tahun. Entah apa yang ada dipikiranku saat itu. Yang aku tahu, aku membayangkan Melia, istriku dengan rumah kecil dikelilingi taman bunga yang kami tanam sendiri.
Melia adalah wanita yang paling ceria yang pernah aku temui. Terkadang, dia sangat heran denganku yang sangat suka mendengarkannya bercerita. “Mas, kamu ndak bosan aku menceritakan yayasan setiap hari?” ujarnya murung. “Mas ndak bosan kok, Dik. Mas suka mendengarmu bercerita,” kataku tersenyum.
Di kantorku, aku sering mendengar keluhan kawan-kawan kantor tentang istri mereka yang cerewet dan tidak pernah mau mengalah. “Istriku itu, sampai rumah ngoceh saja. Ya uang kuranglah, ya aku kok pulang malam teruslah. Menuduh aku serong. Aduh,” kata Sandi teman satu ruanganku. “Rama, kamu kok nggak pernah ngeluh sih?” tanyanya lagi.
“Apa yang harus aku keluhkan? Istriku sama saja dengan kalian,” jawabku enteng. “Maksudmu suka marah-marah, cerewet, tukang tuntut, dan suka menuduh serong?” kejar Raga yang sudah duduk disamping kami tiba-tiba. “Aaa, bukan itu. Ya dia wanita. Sama saja kok. Dia juga cerewet. Bahkan dia selalu berbicara tiada henti jika aku ada disampingnya.” Aku terkekeh.
Aku melihat kawan-kawanku saling berpandangan aneh. “Kok bisa,” kata mereka nyaris bersamaan. “Dia cerewet hanya padaku. Kalau sama laki-laki macam kalian datang ke rumah, dia pasti diam saja. Ingat, wanita itu berbeda-beda. Ada yang cerewet karena perduli. Ada juga yang kebalikannya. Kepada kita mereka diam dan patuh. Syukuri saja.”
Sandi dan Raga menggeleng-geleng tanda ragu setuju atau tidak. Dari raut wajah mereka, aku tahu mereka paham maksudku.
Istirahat kerja, aku datang ke yayasan kecil yang dibangun istriku didekat kantor. Disana aku melihat istriku sedang berbicara dengan seorang laki-laki. Tiba-tiba saja api cemburu membakar hatiku.
Saat laki-laki itu pergi, aku bertanya padanya, “Siapa laki-laki tadi?” Melia tidak langsung menjawab pertanyaanku saat itu juga. Dia memandangi mataku lama sekali. “Cemburu, ya?” tebaknya. “Apaan sih?” ujarku membuang muka. “Halah, cemburu...” godanya. “Tidak.” Kataku masih membuang muka. Tiba-tiba tangannya mengalungi leherku. “Jangan cemburu, ah. Itu tadi Pak Pram. Dia mau mengadopsi Lusi. Istrinya meninggal baru-baru ini. Dan dia tidak ingin menikah lagi. Akhirnya dia memutuskan membesarkan anak.” Aku merasa bersalah pada Melia menuduhnya tidak-tidak.
“Katanya, melihat Lusi mengingatkannya pada Sarah, istrinya.” Suara Melia bergetar sedih. “Maafin Mas ya, Dik. Cemburuan.” “Nah, kan... Cemburu...” Senyum kemenangan Melia terpancar. Semakin membuatku gemas kepadanya. Sayangnya, itu tidak bertahan lama.
Aku kemudian kembali ke kantor dalam keadaan senang hati. Dan itu terjadi beberapa hari. Hingga kemudian, bidadariku mengalami sakit yang janggal. Dia mulai masuk angin dan muntah-muntah. Pada awalnya, kami begitu bahagia. Namun, kemudian berubah bencana saat dokter mengatakan istriku tidaklah hamil.
Istriku justru divonis tidak dapat memiliki keturunan. Dia akhirnya menutup diri selama berhari-hari. Tidak mau makan, hanya minum air putih sekadarnya. Dia juga mengacuhkanku.
“Ceraikan aku.” Begitu ucapnya suatu hari. “Apa-apaan sih?” Untuk pertama kalinya dalam pernikahan kami, kami bertengkar serius. Tidak seperti pertengkaran keluarga yang terjadi di rumah tangga kawna-kawanku, kami diam seribu bahasa. Aku tidak lagi mendengar celoteh istriku mengenai yayasannya. Juga tentang kelahiran Ivon, anjing yayasan, dan juga keluhan mengenai kekurangan dana. Dia diam. Dingin dan kaku.
“Hei, hari ini gajian loh, Rama.” Suara Sandi begitu keras disamping mejaku. Aku sedang tidak tertarik. Apa yang bisa membuatku bahagia jika istriku tidak bahagia? Bukankah aku bekerja untuk memberikannya kehidupan yang lebih baik? Kalau begini, apa fungsiku sebagai suami?
Aku kembali membuka handphone-ku yang memakai wallpaper istriku yang sedang menggendong Ivon saat selesai melahirkan. Dan... Ya Tuhan... Aku baru saja sadar. Hari ini adalah ulang tahun Melia. Aku seharusnya ingat.
Aku beranikan diriku untuk menyingkirkan penolakan Melia yang akan aku dapatkan nanti. Aku bergegas menuju butik terkenal di sebuah mall dan membeli gaun. Aku memilihkannya gaun putih gading yang sangat cantik dipadukan dengan kulitnya yang putih langsat dan rambut panjangnya yang tergerai kemerahan.
Aku juga memesan sebuah meja di restoran mewah di tempat favorit kami. Kemudian, aku mengendarai mobil menuju rumah. Sebelum turun, kusiapkan diriku untuk menerima penolakannya. Dan kali ini, seperti dahulu bagaimana aku melamarnya, aku tidak akan membiarkan dia berkata tidak.
Tok-tok-tok. Kuketuk pintu rumah. “Melia, buka pintunya!” ujarku. Tapi ada sesuatu yang aneh. Melia tidak kunjung membuka pintu rumahnya. Hingga akhirnya, aku panik dan mendobrak pintu depan. Aku melihat Melia ambruk didekat sofa ruang tengah dengan keadaan kepala berdarah.
Dengan panik, aku membawa Melia ke rumah sakit. Lansung saja, diberikan pertolongan pertama.
“Untuk sementara, sebaiknya Ibu Melia jangan pulang dulu. Ada yang ingin kami pastikan dari pingsan yang terjadi.” Dokter berdiskusi sejenak denganku sebelum aku kembali ke ruang rawat.
Setelah aku membuka pintu, Melia sudah sadar. “Dik, kamu kenapa tadi?” ujarku setengah berlari kearahnya. “Nggak apa-apa, Mas. Aku Cuma pusing tiba-tiba. Mungkin darah rendahnya kambuh lagi.” Melia mengucapkannya sambil tersenyum.
“Dik, maaf. Mas lupa hari ini ulang tahunmu. Selamat ulang tahun.” Aku menunjukkan gaun indah yang aku beli tadi dari butik. Wajah Melia berseri-seri.
Tiba-tiba Melia menangis. “Maafin Melia ya, Mas?” Aku langsung menutup mulutnya dengan jari telunjukku. “Aku nggak mau kamu ngomongin hal itu lagi. Sudah aku bilang, aku tidak keberatan” “Baik, Mas. Aku nggak akan menyinggung hal itu lagi.”
Hari-hari kembali seperti semula. Seolah-olah kata-kata dokter tentang ketidakmapuan Melia memberiku keturunan tidak pernah ada. Hanya saja kali ini aku yang menjadi cerewet. Menghiburnya dengan banyak berbicara.
“Jadi, Sandi langsung saja bilang begitu di depan bos. Dan bos langsung marah.” Aku menceritakan ulah Sandi yang teriak-teriak saat menceritakan kejelekan bos. Untung saja bagian parahnya sudah terleati.
Melia tertawa. Lalu, dokter masuk dan memanggilku ke ruangannya. “Maaf, Pak. Saya sebenarnya sangat menyesal mengatakan ini kepada Bapak.”
Firasatku buruk mengenai ini. “Ada apa dengan istri saya, Dok?” Jantungku berdegup kencang sekali. “Istri Bapak mengidap penyakit alzhaimer.”
“Pak Dokter pasti bercanda. Istri saya baik-baik saja.” Dokter mengeluarkan hasil CT-Scan yang berbentuk lembaran besar dan menjelaskan istilah-istilah ilmiah yang aku tidak mengerti. Yang aku tahu hanyalah nama istriku, kata ‘dan’, ‘yang’, dan juga ‘jadi’.
Hatiku kosong. Aku tidak dapat memberi tahu Melia kabar ini. Kabar tentang kemandulannya sudah benar-benar menohok hatinya. Aku memutuskan untuk menyimpannya.
Sepulangnya kami dari sana, kami kembali menjalani hidup normal. Dan lambat laun, Melia sering sekali pingsan. Maka aku meminta sepupu jauh Melia yang juga bekerja di yayasan yang didirikan Melia untuk menjaganya.
Suatu hari, Melia pingsan lagi. Dan dia bertanya, “Mas, apa yang terjadi sebenarnya denganku?” Melia menatap mataku dalam sekali. Dan aku tahu, aku tak dapat berbohong lagi padanya.
“Dik, kamu terserang alzhaimer.” Melia histeris. Lebih histeris dibandingkan dia mendengar tentang kemandulannya dari dokter. Aku tak tahu mengapa. Dan aku hanya bisa menerima setiap tangisan dan teriakan depresinya.
Di penghujung malam, aku mengerjakan tugas kantorku. Aku sama sekali tidak bisa mengerjakannya dengan baik. Aku sangat merindukan Melia hadir di sampingku untuk memberikan masukan dan ide briliannya dalam setiap kestagnananku. Tapi dia sedang susah. Aku tidak bisa menambah bebannya lagi.
“Mas...” Aku mendengar suara Melia yang lemah dari tempat tidur. Aku menghampirinya. Dan aku melihat Melia sedang berurai air mata. “Dik, jangan menangis. Nanti cantiknya hilang loh. Tidur, ya?”
Melia menggeleng keras kepala. “Mas, Melia minta maaf ya, Mas. Melia sedih.” “Ceritakan pada Mas, Mel.”
Melia menceritakan padaku betapa sedih hatinya mengetahui bahwa kenangan-kenangan kami bersama selama 10 tahun akan kandas dari pikirannya. Dirampas oleh pikirannya sendiri. Dan aku akan melihatnya semakin hari semakin lemah. Melihatku semakin hari semakin melupakan siapa kami.
Tentu saja, aku membesarkan hatinya hingga akhirnya dia bisa tertidur dengan cukup pulas. Sungguh, tak pernah terlintas di benakku masalah itu. Bagaimana Melia mencemaskan ‘kami’ yang jauh lebih berharga dibandingkan nyawanya sendiri.
Keeseokkan paginya, bos memanggilku ke ruangannya. “Rama, kinerjamu sekarang menurun drastis.” “Maaf, Pak. Saya sedang ada masalah.” Dibalik kursi putarnya, bosku membalikkan badan dan bertanya, “Masalah apa, Rama? Bisa ceritakan kepada saya?” Bosku mencondongkan tubuh kearahku sambil mengapit kedua belah jemarinya.
“Istri saya terkena alzhaimer, Pak.” Dan saya juga menceritakan segalanya. Akhirnya seperti pernyataan diplomatis yang akan kau temui dalam setiap pekerjaan, bosku mengatakan, “Baik. Saya mengerti. Saya mengerti sekali sekarang adalah timing yang sulit bagi kamu, Rama. Tapi, kamu harus juga profesional. Jangan sampai kinerjamu turun dari yang seharusnya bisa kamu lakukan.”
Apa yang aku jawab lagi selain, “Ya, Pak. Saya mengerti.” Padahal dengan jelas, bosku tidak mengalami apa yang aku alami sekarang. Dan dia hanya menilaiku berdasarkan kinerja semata.
Aku kembali ke rumah dan kulihat Melia sedang kejang menahan sakit di tempat tidur. “Ma-mas... K-e-maa-ri..”
Aku menurutinya datang ke dekatnya. Aku mendudukkannya dan memberinya minum. “Mas...” Matanya berkilat. Kemudian Melia melanjutkan lagi. “Katakanlah apa yang ingin kaukatakan padaku. Tapi berjanjilah, jika aku ingat, kau akan menuruti apa yang aku katakan padamu.”
“Aku berjanji.” Kata-kata itu terlontar begitu saja.
Keesokkan paginya, Melia menjerit. Keras sekali. “Ada apa, Dik?” ujarku padanya. Tapi Melia seperti orang kesurupan.
“Kamu siapa?! Kenapa kamu tidur di sampingku?!” Melia menjauh sekitar 10 meter dariku. “Aku Rama. Suamimu.” Tapi Melia menggeleng-geleng tidak percaya. Tuhan, aku tidak percaya akhirnya Melia melupakanku. Mulai melupakan tentang kami.
Dan disinilah aku sekarang. Menemaninya setiap hari di yayasan dengan menyaru sebagai teman sekolahnya. Melia hanya mengingat zaman SMA. Dan bisa berganti setiap hari. Menyakitkan mengetahui istri yang begitu kucintai tidak mengingat siapa aku.
Setiap hari, aku menyaru sebagai siapa saja. Dimulai dengan berjabat tangan yang canggung dan perkenalan formal. Namun, setiap akhir malam, sebelum tertidur, Melia selalu mengatakan, “Kamu seorang yang dekat denganku. Aku merasa sangat mengenalmu. Tapi aku tidak bisa mengingat.”
Tak kunjung selesai usahaku untuk memulihkannya. Aku tahu, penyakit ini belum ada obatnya. Tapi, aku berusaha sebaik-baiknya.
Masih terus kuceritakan setiap kisah-kisah kami. Berharap ada satu-dua yang diingatnya. Terkadang dia ingat. Tapi langsung lupa dalam sekejap.
Aku ke beranda yayasan pagi ini. Tiba-tiba Melia datang dengan mata yang memendam rindu. “Mas...” Aku sungguh terkejut dengan panggilan yang sudah demikian lama tidak aku dengar.
“Dik? Kamu ingat?” Dia menjawab lembut, “Iya.” Kukecup keningnya. Sebuah kebiasaan kecil kami. Senang rasanya. Istriku kembali. Kami kembali.
Tiba-tiba Melia bergetar. “Dik?” Melia terlihat menahan rasa sakit di tubuhnya. “Mas, kau sudah berjanji. Kumohon padamu, Mas. Carilah wanita lain. Aku tak sanggup melihatmu terus begini. Kau berhak bahagia dan mendapatkan wanita yang sehat dan mampu membahagiakanmu.” Air mata Melia mengalir deras sambil menahan gemetar tubuhnya.
“Katakan iya, Mas. Katakan iya. Sebelum aku lupa lagi.” Melia meronta, memberontak dan sekejap pingsan.
Aku membawanya kembali ke kamar. Air mataku mulai turun. Tidak bisa. Melia sudah cukup menangis. Aku tidak boleh menambahnya dengan menangis.
Maafkan aku, Dik. Maafkan aku, Melia. Aku tidak bisa. Aku ingkari janjiku. Tidak ada sisa lagi di hatiku. Dan aku tidak bisa mengkhianatimu meskipun kau memintanya. Aku tidak bisa membiarkan ‘kita’ menghilang.
“Bi...!” Aku memanggil Bi Sulah yang aku pekerjakan untuk menjaga Melia. “Jeh, Tuan.
“Tolong jaga Nyonya selama saya pergi.” Kataku dingin. “Baik, Tuan.”
Segera aku bersiap untuk bekerja. Dalam mobil, kugumamkan namamu. “Melia...”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA