10 Hari #27 Maret 2013
10
Hari #27 Maret 2013
27
Maret 2013
Aku seharusnya hari ini melanjutkan
puasa Yaumul Bidh ketiga. Aku terbangun jam 12 malam dalam keadaan yang
setengah linglung. Aku merasakan banyak gangguan. Dan alhasil gangguan tersebut
hilang sekitar jam 3 pagi.
Aku bergegas makan sahur. Tapi entah
mengapa sekitar 9 pagi, ulu hati dan lambungku sakit. Kebiasaan lama pun
kambuh. Aku gemetaran.
Seperti orang yang tergagap, sendirian
tanpa makanan di rumah, aku bersegera masak. Entah apa yang ada di rumah. Dua
butir telur dan nasi seadanya. Alhamdulillah, ada yang bisa aku masak walaupun
ya, begitu.
Aku makan menahan gemetar di tangan
sambil tidur di karpet ruang tengah. Sudah tidak ada tenaga.
Setelah kuat, aku hendak melanjutkan
apa-apa yang tadinya hendak aku kerjakan. Ternyata, tidak selesai. Alhasil, aku
menghabiskan waktu membaca Al-Quran sejenak. Terus demikian sehari ini. Sakit
mendera.
Aku pun teringat pada shirah Abu Darda
yang kebetulan aku baca kemarin. Betapa Abu Darda yang seorang pedagang ulung
menyatakan dengan tegas sejak keislamannya bahwa dia hanya akan berdagang
selama itu tidak menghalanginya dari dzikrullah. Ketika mendapatkan dagangan
pun, semua langsung diserahkannya kepada fakir. Hingga ada tamu yang menginap
di rumahnya mencari selimut, merasa malu melihat Abu Darda dan istrinya tidur
kedinginan.
Tak lupa, betapa rendah hatinya dia
ketika Umar bin Khattab datang. Rumah Abu Darda begitu gelap dengan tempat
tidur dari karung berisi pasir dan bantal adalah pelana kuda. Abu Darda menolak
kehendak Umar untuk memberinya kedudukan dan juga bantuan karena kecintaannya
pada Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dan ingat bahwa Allah tidak suka
orang yang bermewah-mewahan. Umar bin Khattab dan Abu Darda menangis dalam
haru.
Mari kita ingat Rasulullah
shallallahu’alaihi wasallam yang mengikat perutnya dengan batu saat Perang
Khandak. Di mana beliau dan pasukannya hanya memakan adonan roti mentah yang
dibuat Allah cukup untuk seluruh pasukan.
Ah, indahnya.
Hal itu membuatku berpikir. Apakah
kesulitanku ini sudah selevel dengan mereka? Jelas. Jauh. Apakah gemetaran ini
sudah dalam kategori boleh melepaskan sunnah? Wallahu’alam.
Aku bersyukur kehedonisanku (menurut
versiku) sudah memudar sedikit demi sedikit. Aku berharap terus memudar.
Aku teringat dulu aku masih berusaha
menahan diri dari mengeluh pada awal. Aku masih sering mengeluh, namun, aku
mencoba lebih banyak diam. Itu saja susah sekali. Sekarang, aku beruntung
justru dapat lebih banyak tersenyum dengan kekurangan yang ada. Harus makan mi
instan seminggu? Gampang. Maag? Ada Allah. Jangankan maag, Dia bisa mematikanku
bahkan dengan hal yang paling tak terduga.
Aku terngiang ketika awal mendapatkan
hadist di suatu buku yang sekarang rusak bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi
wasallam khawatir jika suatu saat kemudahan dunia didapat umat ini. Lalu
kemudahan itu dikejar sehingga umat muslim lupa mengejar akhiratnya.
Aku setengah tersugesti sering berdoa,
“Ya Allah, berikan aku kecukupan dan keberkahan yang tidak melalaikanku dari
mengingat-Mu. Jika memang kekayaan akan melalaikanku, maka jauhkanlah.”
Alhamdulillah, Allah memberikanku
jawaban, melapangkan hatiku. Aku tak perlu letih seperti dahulu karena sedih
akibat tidak mendapat universitas yang kuinginkan, melihat orang-orang yang
cukup kemampuan untuk mengejar dunia di kejauhan, atau berkemampuan yang
lain-lain. Toh, itu bukan jaminan masuk surga.
Bagian menarik dari hari ini terletak
pada bacaan Al-Quran. Sampai akhir aku menulis ini (tanggal 27), aku baru
membaca Surat Thaha hingga Al-Mukminun. Sedikit memang. Apalagi jika sedang
futur. Pasti lebih sedikit.
Surat-surat ini memberikan sentakan yang
luar biasa. Menggetarkan hati. Memang, setiap kali membaca selalu surat berbeda
yang menggetarkan.
Surat-surat itu mengajariku bagaimana
itu ikhlash, bagaimana itu mukhlis. Dan rasanya... Jauh sekali daripada itu. Ya
Allah.
Salah satu yang menyentak adalah
Al-Mukminun ayat 63-67 yang menyatakan tentang bagaimana orang-orang yang
mengingkari Al-Quran. Aku pernah menemui mereka. Perbedaannya, yang aku temui
adalah muslim sendiri. Kadang aku bertanya dalam hati, ‘Yakinkah mereka?’
Aku pernah membaca selentingan dari
golongan yang menyimpang. Mereka tidak mempercayai para ulama, membenci para
pemegang sunnah, dan berharap Nabi Muhammad hidup di zaman 21 ini. Mereka
bilang Al-Quran tidak kompatibel dengan zaman kini. Dan mereka mengatakan itu
karena kecintaan mereka pada Nabi Muhammad akibat melihat perpecahan yang ada.
Aku sedih dan kasihan membacanya.
Tidakkah mereka membaca Al-Maidah ayat 3? Di mana Allah sendiri telah
mengatakan bahwa agama ini telah sempurna? Kalau mereka bilang demikian,
bagaimana dengan penghayatannya? Lalu, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam
sendiri yang mengatakan dalam hadistnya kalau para ulama adalah pewarisnya.
Tinggal kita jeli memilih siapa ulama yang diikuti, bukan?
Bayangkan, dengan satu pernyataan, 4
rukun iman langsung ditabrak. Iman kepada Allah, iman kepada malaikat, iman
kepada kitab-kitab Allah, dan iman kepada Rasul-rasul Allah. Naudzubillah.
Di dalam ayat lain, ada lagi
keterangan-keterangan ‘halus’ bahwa sungguh rugi orang-orang yang
mendefinisikan kebenaran lewat logika manusia. Dalam salah satu ayat di
antaranya Allah menyiratkan bahwa hancurlah jika kebenaran itu manusia yang
tentukan. Dan aku sangat sepakat. Sejenak me-review filsafat yang pernah aku baca (dan insya Allah akan aku
kurangi karena ketidakmasukakalnnya) bahwa hakikat kebenaran masih juga
diperdebatkan dari zaman Yunani Kuno sampai sekarang. Mazhabnya? Banyak sekali.
Sungguh beruntung aku sebagai muslim yang telah dibuat hatinya yakin oleh Allah
bahwa firman-Nya-lah kebenaran. Sungguh kasihan mereka yang mencari apa-apa
yang tidak akan pernah sampai pada akal. Alhamdulillah, Ya Rabbi.
Aku sering ditanya kawan-kawan di
kampus, “Prima, apa kamu tidak capek membaca tentang agama sebegitu banyak.
Mencari satu demi satu begitu. Mendetail seperti itu? Kalau aku nggak sanggup.”
Aku hanya bisa tersenyum. Kita, manusia, bisa membaca sedemikian banyak novel,
ber-SMS ria berjam-jam, menekuri buku-buku pelajaran hingga pagi demi kuliah.
Lalu, mengapa kita tidak sanggup meluangkan sedikit waktu untuk ilmu agama yang
jelas-jelas adalah masalah kebahagiaan dunia akhirat? Kalau memang bisa, aku
dengan senang hati melakoni lebih lanjut lagi seperti orang-orang itu yang
mampu menghabiskan dana demi ilmu dunia. Sayangnya, keadaan sekarang belum
diberikan Allah kemungkinan.
Kawan, banyak sekali sendi-sendi muslim
sekarang justru lebih menyimpang dari penyimpangan itu sendiri. Aku pun tidak
tahu, apakah hidayah ini bisa kujaga hingga lusa, tahun depan, hingga
meninggal? Harapanku, aku adalah salah satu manusia yang ditakdirkan bahagia
itu. Aamiin.
“... dan berpegangteguhlah kepada
Allah. Dia-lah pelindungmu; Dia sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.”
(Al-Hajj : 78)
-Berpegangteguhlah
kepada Allah saja, Prima...-
“Sungguh, orang-orang yang takut
(azab) Tuhannya, mereka sangat berhati-hati.” (Al-Mukminum : 57)
-Orang-orang
yang mukhlis itu bersikap wara’ (berhati-hati). Jangankan untuk hal-hal yang
haram dan syubhat, untuk yang mubah pun mereka telah menguranginya (baca shirah
sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in). Mereka hanya fokus pada mengerjakan
sunnah dan kesempurnaan melaksanakan yang wajib. Kamu?-
Komentar
Posting Komentar