Harapan Bertemu Kembali yang Tak Pernah Ada
Harapan Bertemu Kembali yang Tak
Pernah Ada
Kembali
lagi... Sudah lamaa sekali aku ingin membuat catatan tentang ini... Tapi
ingatanku terhenti dan dilupakan... Hari ini aku mengingatnya kembali seperti
baru saja terjadi di sini, di hari ini. Tapi aku tahu semua tidak akan
terulang...
Aku
pernah mengikuti suatu pelatihan di masaku SMA. Dan sialnya, aku
saaaanngggaaatt tidak menyukai pelatihan yang akan aku ikuti. Mengapa? Sebab
ini mengenai puisi. Aku saat itu sangat membenci puisi. Sebagaimana puisi adalah
satu cara untuk mendapatkan sebuah perasaan dari perempuan saat itu. Bagaimana
majas yang begitu banyak dipergunakan untuk menciptakan efek tertentu... Aku
benci, saat itu...
Kemudian,
aku mengikuti pelatihan itu dan belajar sedikit demi sedikit memetakan
simbol-simbol yang pernah diciptakan dalam membuat efek rasa dalam puisi.
Sebagian orang mengatakan puisi adalah bentuk kedustaan karena menggunakan
teknik-teknik yang dinilai berlebihan. Tapi itulah sastra. Sastra mempelajari
teknik menulis. Mau atau tidak, seseorang yang paham akan mengetahui inilah
ilmu yang ada di sastra. Inilah yang dipelajari. Bukan suatu bentuk bermain
perkataan. Soal maksud, itulah tafsir bebas. Dan biasanya, orang yang di luar
tidak mengerti ini.
Sebelum
mengikuti pelatihan itu, aku adalah seseorang yang selalu diarahkan. Ini dan
itu maksudnya. Tidak boleh melenceng dari jalur. Soal bagaimana kamu
mengekspresikannya, itu tugas tiap orang. Itu karena ini masalah ekspresi. Dan
aku mudah melakukannya walaupun butuh latihan. Sebaliknya, ketika mengenal
puisi, aku sangat bingung. Sebab sebagaimana perkataan orang yang aku maksudkan
di sini dia bicara, “Baca dan hayati puisi itu. Biarkan dia memberi arahannya
padamu. Ciptakan simfoni darinya. Cintai dia.”
Aku
bingung. Dan aku hanya melakukan perintah sederhana namun absurd yang
dikatakannya. Dua-tiga hari pelatihan, aku membaca setiap puisi berulang-ulang.
Berkali-kali. Entah kenapa, di satu sisi aku seperti berbicara dengan
puisi-puisi itu. Dan sebagai orang yang mudah berimajinasi, aku mengindrainya.
Ada yang kulihat bagai jalanan berkabut, sepi dan sunyi. Ada yang aku lihat
bagaikan berjalan di tempat penuh genangan darah dan cucuran air mata. Adapula
yang menunjukkan sebuah harmoni penuh warna.
Untuk
pertama kalinya, aku terkesiap dan menangis membaca puisi. Akhirnya aku punya
pandanganku sendiri. Setelah sekian lama aku hampa dan bingung setiap bertemu
dengannya. Aku tidak perlu mengerti. Aku hanya perlu merasakan.
Sejak
saat itu, bersamaan dengan datangnya suatu perintah tentang pentingnya membaca
dari Penguasa Alam, aku mulai menyukai puisi, membaca, mencerna, dan memaknai.
Sayangnya,
seseorang yang mengajariku, seorang seniman dari Bandung itu harus pergi
selamanya. Dia salah satu yang mengajariku bahwa terkadang untuk yang kita
yakini kita harus ambil risiko sendirian. Jauh dari keramaian dan hiruk pikuk
selubung. “Seseorang pernah bertanya padaku, “Kenapa kamu memilih jalan
berkesenian di sini? Jalan ini tidak akan memberikan apapun padamu. Jalan ini
begitu sepi.” Namun, Opung hanya
punya satu keyakinan. Memang jalanan ini sepi. Dan aku memang sendirian. Tapi
terkadang, kita perlu melakukannya. Berjalan sendiri di tengah onak duri dan
menyalakan lentera. Menjadi perintis untuk generasi yang akan datang. Agar
mereka tidak takut dan suatu ketika... jalanan ini akan ramai. Dan aku akan
tersenyum bahagia.”
Beliau
meninggal tahun 2011. Satu kenangan yang aku ingat... Dia mengambil gitarnya
dan mencurahkan isi hatinya dalam kalimat tersurat terindah untukku, untuk
kami. Sayang, karena suara gitarnya yang cukup bising aku enggan untuk
mendengarkannya lagi. Berharap jika aku memiliki perangkat lunak untuk
menghilangkan suara gitaranya.
Kutuliskan
untukmu bait syairnya:
Kini
tiba saat perpisahan...
Ada
keraguan, keharuan...
Tiga
hari penuh kenangan...
Saat
kaupanggil aku, Opung...
Saat
kaupanggil aku, Papa...
Wajah-wajahmu
datang membayang...
Kebersamaan
kita dalam tawa dan canda...
Kerinduan
nanti adalah harapan untuk bertemu lagi...
Untuk
bertemu... lagi...
Bandarlampung, 23 Juni 2013
P.S. Aku tidak pandai berbahasa
Inggris... Hanya ingin mengucapkan hal ini sekarang... :)
My Beloved Part of My Life...
One of Person who Ever Came...
Chase The Sweet Memories...
And The Fate Has Split Us...
The Death...
Komentar
Posting Komentar