Perempuan-perempuan Bergincu
Perempuan-perempuan Bergincu
Perempuan-perempuan itu memamah gincu lama yang disematkannya dibalik raga meja rias paling rahasia. Gincu semerah darah mulai dileburnya dalam tiap sobek luka masa lalu paling hulu. Semua rangkum satu dalam bingkai orbit tanpa putus.
"Dunia terlalu pagi untuk lelap. Diantara sisa hamparan cerita yang semai antara trotoar, dan gerai pembangunan, kaisan anjing masih sisa menunggu jemput." ujarnya pada gerombolan mata yang fana.
Semerah gincu, semerah tas, dan semerah pakaian tak bisa menutupi ungu urat bertonjolan di kulit yang terkadang biru.
"Malam di kota ini jelma menjadi prairie di dataran rendah tempatku mengarung dahulu. Ia kini koyak disobek oleh beton-beton dan menjadi serpih-serpih abadi di asaku."
Gincu yang kian pudar menandai datangnya fajar putih di fondasi langit. Namun gerai trotoar tetap sisih.
Burung-burung gereja datang berciap mencium amisnya torehan malam.
(mereka jelma menjadi cendrawasih bersayap emas)
"Ah, dunia masih terlalu malam untuk geliat. Biarkan aku genap sebentar di ruang yang gegap."
Bandarlampung, 19-2-2012
Prima Helaubudi
Komentar
Posting Komentar