Sandiwara

Sandiwara

Lampu sorot mulai menakar panjang ruangan kerap. Seorang lakon berpantonim di panggung bawah. Mengisyaratkan jemari (kelingking, telunjuk, ibu jari, tengah, dan terakhir manis yang bias cincin keemasan).

"Purnama menggantung miring di langit. Cerah seperti wajahmu yang tak tampak durja." Olah kata lakon lelaki yang tersandar gadis lugu di bahunya.

"Iya, kangmas." ujarnya rekah. Detik kemudian, maskara mengelupas oleh peluh dan lelaki menjadi marmer rapuh masai.

Lelaki jelma di panggung bawah, mengatakan hal yang sama seperti pada gadis lugu. Mengerjap-ngerjap ia pada cincin emas yang dilampirkannya.

Hanya cercah tangis tak bersuara. Gadis lugu menjadi figuran dalam birama melodi romantis kedua madu.

Tangan gadis menggapai-gapai panggung bawah. Tapi ia tak bisa karena sekat tak boleh dilewati.

"Dua... Ya, dua ratus persinggahan hanya kutahu berakhir seperti ini. Namun kini kualami." Berdiri ia memandang bulan purnama menggantung miring dan menelikung garis-garis patah yang arah.

Dalam persona purba, ia naik ke tahta dan gerayang dalam balutan mentari menuju surga sementara pantonim dan lelaki masih menggayut pada malam kelam. Terus bersandiwara tanpa henti. Hingga pementasan hendak berganti.

Bandarlampung, 16-2-2012
Prima Helaubudi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA