Kopi dan Pengakuan
Kopi
dan Pengakuan
*Based on my story on 5th of
March 2013
Aku
sedikit kesal malam ini. Aku membeli 3 sachet kopi cepat saji. Tulisannya sih white
coffee. Sepertinya, merek white
coffee ini salah persepsi tentang apa itu
white coffee dan kopi cepat saji.
Bayangkan saja, ampas kopinya tidak tanggung-menanggung. Dan tidak lebih dari
kopi hitam pahit ditambahkan krimer
yang tidak seberapa. Padahal, bukankah white coffee itu secara teori lebih nyaman di lambung? Itu penting buatku yang punya
maag cukup kronis.
Aku
juga heran. Sekarang, sejak mengenal dunia gadang begadang (yang bukan karena
insomnia dan tidak bisa bertahan untuk mengerjakan tugas kuliah), aku mulai
menikmati kopi. Tahu sendirilah... Aku benci bukan main dengan kopi karena
kafeinnya yang buatku pribadi terlalu keras dibandingkan dengan teh. Dan yang
terpenting, aku benci rasa pahit. Mungkin di lidah, hanya bagian perasa pahit
yang tidak aku sentuh terlalu banyak. Namun, yap, akhirnya aku menyukainya. Dan
bahkan lebih sering aku konsumsi dibandingkan teh karena satu dan lain hal.
Aku
mulai mengonsumsinya malam ini untuk begadang. Ada yang ingin aku lakukan
sampai pagi dengan begadang. Dan... sesuatu menganggu pikiranku.
***
Kami menghadapi mata kuliah Ekonomi
Manajerial yang seharusnya kami hadapi saat semester 4 lalu. Aku dan
kawan-kawan yang mengambil konsentrasi Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM)
telat mengambilnya karena bertabrakan dengan pendalaman konsentrasi kami. Dan
sebagai pecinta MSDM sejati, kami enggan mendahulukan ekonomi manajerial. Kami
bersepakat untuk mengambilnya semester ini.
Penjelasan dosen hari ini langsung ke
SILABUS, kontrak perkuliahan, jadwal pertemuan, pembagian tugas, tugas
individu, dan tugas kelompok dalam satu sampai 3 pertemuan ke depan. Pance pondang! Begitu mungkin bahasa
gaulnya jika mengatakan lama dan membosankan kini. Aku yang sedari dua hari
lalu hampir tidak makan dan minum menahan bunyi perut yang sudah mulai
menyakiti dinding-dinding lambung.
Syukurlah. Aku pergi masih sempat berburu
kotak makan dan menyeruput habis segelas susu di rumah.
Otomatis, setelah perkuliahan itu aku
makan bak orang kesetanan. Ketika temanku mengajak makan di kantin salah satu
fakultas yang terkenal murah meriah, aku mengiyakan walaupun sejujur-jujurnya,
aku tidak punya banyak uang.
Setelah makan, kami melakukan beberapa
hal yang lebih baik dilewati saja dalam tulisan ini. Tidak menarik.
Sore harinya, aku yang tidak dapat
mengendarai apa pun selain by sikil,
menemani temanku. Sebut saja M ke lapangan parkir untuk menjenguk kawan yang
sedang sakit. Dia menelepon salah seorang temannya yang tiba-tiba putus begitu
saja. Ketika sampai di dekat gedung parkiran motor, dia merajuk.
“Ih! Ini nih. Anak ini ginilah. Aku tuh paling sebel kalo
lagi telepon tiba-tiba dipu...”
Kalimatnya terputus di akhir yang sudah
bisa kita tebak kelanjutannya. Dan aku juga sudah kebal mendengar rajukannya.
Memang demikian karakternya. Cukup diam dan mendengarkan suka atau tidak.
Ternyata pengetahuan psikologi tentang wanita yang aku baca-baca sekilas itu
bermanfaat di kehidupan nyata.
Fakta psikologis mengatakan bahwa wanita
itu tidak butuh diberikan solusi. Sesungguhnya wanita itu pencari solusi yang
handal dibandingkan laki-laki. hanya saja, wanita terkesan lemah karena
menggunakan perasaan. Sementara sebaliknya, laki-laki jarang bercerita, tapi
sekali bercerita berarti harus solusi. Kalau tidak bisa langsung stres
berkepanjangan berbanding terbalik dengan wanita yang cepat sekali hilang
setelah ditumpahkan.
Setelahnya, aku mendengar percakapan
kawanku. “Oh? Nggak jadi kuliah jam
3? .... Oh, lagi di jalan? Ya sudah. Matikan saja.... Bukan marah lho.... Bahaya. Kamu kan naik motor.
Nanti kalau jatuh? Bisa jatuh kan?
Nanti kenapa-napa. Ya sudah. Nanti
malam saja. Assalaamu’alaikum...”
Demikian kira-kira. Tiba-tiba...
“Prim, heran gue.”
“Napa?”
“Ini si F. Dia kan telepon. Lagi naik motor. Terus aku bilang saja buat matikan
telepon. Malah dibilang, ‘Galak amat sih?!’
Ih. Pas KKN juga begitu. Aku dimarahin terus.
Padahal hal sepele lho... Jadi harus
hati-hatiiii banget ngehadepin dia.”
“Ya seperti yang aku bilang kemarin sih...”
Sebagai informasi, aku mengatakan
kemarin sore bahwa sesungguhnya orang yang mendeskriditkan kita pada
masalah-masalah kecil yang terlihat sepele, karena sesungguhnya hal-hal kecil
itu dapat lebih mudah diubah dibandingkan dengan masalah-masalah besar. Apalagi
prinsip. Sebab aku demikian. Sehingga cukup mengerti maksud orang tersebut.
Kawanku diam sejenak sambil membetulkan
posisi helm, tas, dan motornya. Wajahnya cemberut dan ditekuk 5 buah.
Tiba-tiba...
“Prim, dia begitu sejak ayahnya
meninggal. Apakah semua orang yang ayahnya meninggal sensi seperti itu?” tanyanya padaku dengan lugu. Pupil matanya
dipenuhi cahaya. Tanda keingintahuan yang besar.
Sejujurnya, hatiku agak terkaget dan
urung siap mendengar kata-kata itu ditujukan padaku. Padaku yang juga sudah
kehilangan sosok ayah. Tepat saat semua kehidupan jungkir balik yang sangat
seberapa ini dimulai. Perkuliahan dan gudang masalah langsung menyerangku.
Aku terdiam sejenak. Aku menahan detak
jantungku yang memburu tiba-tiba. Aku mencoba sebisa mungkin seperti biasa. Tak
apa-apa. Riang gembira. Tapi ternyata aku payah. Dan aku tak mau dia merasa
tidak enak akan pertanyaannya. Jadilah aku menjawab dengan cukup serius.
Aku pembohong yang payah... jadi lebih
baik aku jujur saja.
Aku mengangguk tipis dan mengatakan,
“Iya. Aku juga begitu. Hal-hal kecil bisa jadi besar. Tetap berhati-hati saja
kayak kata kamu. Nanti juga ada saatnya dia membaik.”
Aku juga begitu, menjadi sangat
sakit hati setiap ada yang membantah perkataanku. Dan aku juga mendistorsikan
sendiri dengan intonasi yang dipenuhi permusuhan.
Aku juga begitu, menahan sedih
tanpa harus mengeluarkannya terlalu banyak. Kawanmu itu laki-laki. dan aku
diasuh dengan ‘cukup laki-laki’. dan aku dipantangkan untuk banyak menangis.
Aku juga begitu, banyak yang
dipikirkan.
Aku memikirkan adik, ibu, dan
lain-lain. Jauh di atas kepentinganku yang sesungguhnya sangat ingin aku
dahulukan.
Melepaskan banyak hal. Penuh
tangisan tanpa sedu.
Aku mencari banyak sekali
pembenaran untuk larut dalam tangisan yang tidak aku temukan.
Aku mencari banyak sekali
pengertian dari yang enggan mengerti.
Adakalanya kata-kata yang telah
melesat telah menyakiti. Namun apa daya, terkadang hati terlalu sakit mengucap
‘maaf’ yang sebenarnya cukup mudah aku lontarkan dalam keadaan normal. Tapi
menjadi bongkahan es kelu yang tercekat di tenggorokan.
Kugumamkan itu di dalam hati sambil
menikmati desiran angin yang mengaluni kesedihanku. Kesedihan yang merayap
tiba-tiba.
Datang tiba-tiba, namun pergi begitu
lama. Layaknya pertemuan yang diawali salam, namun berpisah tanpa pamit.
Bandar Lampung, 5 Maret 2013
Dini hari menjelang...
Komentar
Posting Komentar