Pink yang Tidak Menarik
Pink
yang Tidak Menarik
*Based on My Life on
28th-29th of December 2012
AKU BENCI WARNA PINK.
Baiklah. Di tulisan ini
dengan tidak sopannya, saya... Eh, maaf. Terbawa suasana hati. Maksudnya adalah
aku. Aku mengenyampingkan kaidah umum dalam kepenulisan sastra terutama pure
art dalam kesusastraan Indonesia untuk
menggunakan kata serapan ‘pink’ bukan menggunakan ‘merah jambu’. Maka izinkan
aku untuk menebas pengaturan memiringkan kata ‘pink’ setelah mukadimah yang pasti sudah mulai membuat kalian mengantuk.
Jika ingin tahu
mengapa, jawabannya adalah karena warna pink cerita ini jauh dari kata mellow
kemuda-mudaan jambu. Baby pink yang disukai kebanyakan perempuan seusiaku.
Ini pink milikku. Pink tegas yang kuat, penuh kemarahan, dan sekaligus rapuh.
***
28 Desember 2012
Ini riuh, kawan! Kebetulan, seorang
kakak tingkat mengundangku via Facebook untuk mendatangi pernikahannya. Sudah walimatul ‘ursy sih. Dan aku
kelimpungan. Kelimpungan karena aku terbingung-bingung hendak memberi hadiah
pernikahan apa.
Pillihan hadiah pernikahan : seprai,
baju couple, .... ah, pusing! Aku
jarang ikut-ikutan yang namanya kondangan sih dari dulu. Malas dandan dan
kawan-kawan. Jadi demikianlah daftar hadiah yang terlintas di pikiranku. Dan
semua itu aku sangat tidak ahli dalam memilih ditambah budget di kantong sangat kritis. Sekritis kakiku yang sakit
menelusuri jalanan berdebu Radin Intan.
Kuputuskan memberikan apa yang aku
mengerti. Buku. Buku tentang pernikahan. Dan ternyata ketika masuk toko buku
Islam terbesar di Lampung itu, aku datang di penghujung hari. Tokonya sudah
hampir tutup. Alhasil, aku kesetanan untuk mencari di mana letak buku
pernikahan itu.
Kutelusuri sekitar lima belas menit dan
pintu toko semakin terseret menutup cahaya matahari yang mulai menguap
besar-besaran diterpa debu kendaraan. Kuberanikan diri bertanya akhirnya.
Sebelumnya, jika ada yang bertanya
mengapa tidak dari tadi saja aku bertanya, jawabannya adalah aku sangat malu
untuk bertanya tentang buku itu. Aku sudah berstigma bahwa aku akan ditanyai
oleh penjaga toko untuk siapa dan bla-bla-bla. Dan dengan keadaan wajahku yang
pasti sudah tidak karuan, pucat pasi dicampur merah kepanasan, pasti lucu
sekali buat orang lain melihat wajahku bertambah merah.
“Mbak, ada buku untuk pernikahan?
Maksudnya untuk yang mau menikah.” Demikian kataku gugup.
“Ada, Mbak. Di sini.”
Wah. Rupa-rupanya memang dipisahkan dari
rak pembahasan lain. Pantas saja aku tidak temukan sedari tadi celingak-celinguk.
“Lihat, Mbak, beberapa.”
Aku diberikan pilihan beberapa buku. Dan
dengan bodohnya seperti biasa aku membaca sinopsis bukunya. Dan aku
menyesalinya, saudara. Sebab membaca sinopsinya, merahlah wajahku dan dengan
panik aku mengatakan, “Ada yang lain, Mbak?”
Pegawai laki-laki melintas dan entah dia
melihat aku berkelakuan aneh atau tidak. Aku harap tidak karena aku sudah
terlanjur menundukan wajah.
Aku melihat salah satu buku yang
diberikan pegawai perempuan itu. Berbunga-bunga. Menel sekali. Kemudian, mataku
menghampar di tumpukan buku-buku di rak. Dan aku tertarik dengan salah satu
buku.
“Mbak, buku yang biru itu.”
Aku membaca dan lega karena tebal dan
komplitnya pembahasan sampai seluk beluk mendidik anak.
“Berapa?”
“Enam puluh ribu.”
“Waduh.”
Budgetku hanya empat puluh ribu
maksimal. Ini bagaimana? Alhasil sepertinya aku urung membeli buku tersebut. Dan aku mengiyakan buku
berbunga-bunga yang sudah tak lagi aku perdulikan sinopsisnya itu.
Aku pulang dan beristirahat sejenak.
Lepas isya’, aku meminta bantuan adikku menemani ke tukang jahit yang telah aku
pesankan menjahit baju berwarna pink yang aku juga bingung entah mengapa aku
memilih membeli warna pink tersebut.
Hasilnya bagus. Dan tetap aku ngeri
melihat diri di cermin. Terlalu mencolokkah ini? Norakkah ini? Sementara besok
hari minggu, aku tidak punya baju kebaya, pesta dan kawan-kawan seperguruannya
untuk ke acara pernikahan kakak tingkatku. Bismillah
sajalah, ya?
29 Desember 2012
Aku terburu-buru dan ternyata pembekalan
KKN belum dimulai. Dan seperti biasa, terjadi hal aneh setiap aku mengenakan
warna cerah meskipun sedikit. Pandangan mata tertuju. Dan itu membuatku salah
tingkah. Aku merasa seperti orang aneh dari planet lain alias alien yang tidak
dikenali. Makhluk aneh.
Setelah pembekalan, aku dapat SMS yang
dari murobbi-ku yang meminta agar aku
ke Masjid Taqwa terlebih dahulu. Aku benar-benar dikejar waktu.
Aku rapat sejenak dan murobbi-ku yang kebetulan ada di sana
mengatakan padaku, “Bajunya...”
“Mau kondangan, Mbak. Nggak ada baju bagus.”
“Mbak khawatir...”
“Khawatir kenapa, Mbak?”
“Nanti dikira kamu pengantinnya.”
“Hah?!”
Kawanku tergelak dan mengatakan, “Mau
nikah sama siapa?”
“Apa sih?”
Baik. Gara-gara hal ini aku justru
bertambah grogi. Kita lalui jalan pintas. Lewat, lewat.
Aku teringat sesuatu. Aku belum
membungkus kadonya! Halah...
Beginilah jadinya jika tidak terbiasa ke acara pestaan. Dan jadilah aku
ditemani seorang sahabat berkeliling dan mendapatkan pembungkus kado (dan
dibungkusi pula) di bawah departement
store yang kami kunjungi.
Aku melihat handphone dan bertanya, “Jam segini
sudah bubar belum, ya?”
“Sudah, Prim.”
“Hem, tapi daripada mubazir? Lagipula ini memang aku niatkan untuk mereka. Datang
sajalah. Pasti diomel. Kalau tidak ada ya ke rumahnya saja,” kataku sambil
bergidik membayangkan kakak tingkatku marah.
“Oh, iya. Harganya sudah kamu lepas kan,
Prim?”
Aku bengong. “Belum.”
“Aduh, anak siapa sih ini?” katanya
menggeleng tak percaya.
“Aish, sudahlah. Terlanjur,” kataku
mengabaikan masalah.
Aku sampai di tempat pernikahan telat
sekali. Saking telatnya semua peralatan telah dirapikan. Panik. Aku khawatir
orangnya telah pulang. Di sisi lain, aku merasa senang jika berhasil bertemu
dengan kakak tingkat wanita sebut saja S tanpa teman-teman SMA-nya yang cukup
menorehkan cerita pedas di beberapa lembar hariku.
Aku beruntung masih beliau masih
ada.Beliau tersenyum pedas.
“Kalau jam 2 itu, jam 2, Dek.”
“Hehehe.”
“Huh!”
“Maaf sih, Mbak?”
“Gimana
kamu ini, Prim?”
“Tadi ada rapat dulu.”
Dia terdiam. Alamat ngambek. Dan aku
bukan tipikal orang yang sanggup menghadapi orang ngambek dengan sabar. Pasti
akan selalu aku samakan dengan diriku. Diam, pergi. Nanti setelah baikan, ajak
bicara, beres. Sehingga reaksiku...
“Ya sudah. Aku pulang, ya?”
“Ih, kamu. Apa-apaanlah,” ujarnya tersenyum.
Kami pun berbincang.
“Udah
nggak takut, Prim, mengenakan warna pink?”
Aku tersenyum. Yap, ini pertama kali aku
mengenakan baju ini.
“Udah
nggak, Mbak. Toh ini juga warnanya pink tua. Tidak terlampau menarik.
Kemudian, sampailah aku pada tema yang
aku sendiri teramat tidak suka untuk membicarakannya.
“Jadi, mereka datang?” potongku melihat
beliau mulat membuka katup mulutnya.
“Nggak
semua.”
Aku bernafas lega. Setelah itu kami
berbincang banyak hal. Tentang tempat itu. Di sana ternyata setelah jauh lama
aku duga, bahwa lagi-lagi kesalahpahaman. Dan lagi-lagi aku yang dijadikan
kambing hitam.
“Mereka dapat laporan, Prim. Katanya
kami begini dan begitu. Mereka terbawa emosi pas kamu datang hari itu.”
Aku tercekat. Sulit ternyata untuk
bersikap biasa saja walaupun aku sudah prediksi jauh-jauh hari.
“Mungkin sejak awal sebaiknya aku tidak
datang, Mbak. Ya... apa mau dikata? Begitulah caraku untuk memberitahu mereka.
Begitu pula cara kalian memberitahuku, bukan? Terserah mereka ingin atau tidak
ingin aku di sana. Jika tidak ingin, aku tinggal pergi.”
“Jangan begitulah, Prim.”
Di sini ada rongga yang baru saja
sembuh. Aku bertanya-tanya, apa susahnya sih
bertanya langsung agar tidak terjadi kesalahpahaman besar seperti ini? Aku
tidak perduli bagaimana saat personal.
But, please... saat itu adalah saatnya profesional. Tidak bisakah ego itu
dikesampingkan?
Aku menggeleng keras kepala. “Ya.. kalau
yang mereka harapkan adalah mencampurkan antara serius dengan bercanda, maaf,
aku tidak bisa, Mbak,” sambil berjalan ke arah pintu keluar, aku menghela nafas
berat. “Aku memang tidak bisa se-friendly
mereka,” ujarku tersenyum.
“Ya, seperti zamanku bermasalah itu. Aku
dipermasalahkan juga karena masalah latihan, bukan? Kemudian merambat ke
hal-hal yang bersifat personal.”
“Ya sudahlah, Mbak,” ujarku pasrah
mengantarnya ke mobil pengantin. “Aku sudah tidak berminat mengungkit-ungkit
lagi. Intinya...” aku tercekat.
“Intinya, aku kurang menarik.”
Agak bagaimanaaaaa begitu mengutarakan
kelemahan pribadi yang sebisa mungkin aku upayakan berantas saat bersama dengan
orang-orang tersebut. Karena aku tahu bahwa mereka menyukai orang-orang bertipe
menyenangkan. Aku bisa, tapi terbatas. Dan mereka tidak suka.
Apa mau dikata? Toh aku juga tidak bisa
membuat mereka semua menyukaiku, bukan? Aku siapa? Mereka juga siapa?
Aku berjalan sendirian di lorong itu.
Dan sekejap, mobil pengantin mereka berlalu.
Kugemakan pelan, “Tidak menarik...,”
sambil tersenyum getir.
Dibuat : 12-03-2013
Komentar
Posting Komentar