Fragmen #18

Dia: “Dia parah banget, Prim. Dia nggak suka ngejabarin sesuatu. Dia itu maunya dikasih clue (petunjuk) dikit, kita ngerti. Bagi dia, aku rese karena aku ingin banget tau apa yang dia pikirin. Gimana nggak? Kelakuannya itu bikin aku penasaran. Aku ingin semua jelas, dijabarkan rapi. Dan dia nggak suka ngomong langsung. Ibarat kotak, Prim. Di dalam kotak itu ada kotak lagi yang ada isinya. Jadi kalimatnya itu ada maksud lain. Dia kalo suka sama orang, loyal banget. Tapi sekali benci, benci banget.”
Aku: (ketawa) “Sejujurnya, aku ngerti maksud dia. Aku gitu soalnya. Haha. Kalau kata ilmu psikologi dan SDM-ku sih, dia orang perasa, feeling (F). Sementara kamu itu orangnya pemikir, thinking (T). Jadi bentrok. Kamu dekat sama dia, jadi dia percaya kamu bisa tahu tanpa harus dia menjabarkan panjang-panjang. Menjabarkan sesuatu terperinci itu susah lho bagi dia.”
Dia: “Nggak enak, Prim digituin. Kamu jangan gitu, Prim.”
Aku: “Aku melihat di sisi dia, nggak enak juga tau dikepoin begitu tiap hari. Risih. Kasih dia ruang sendiri juga. Ya, saling toleransi ajalah. Aku nggak bisa ngomong banyak.” (senyum)


Kemarin seseorang bercerita kepadaku. Dan aku benar-benar ketawa sambil kaget. Mirip banget sama diriku pribadi. Bedanya yang diceritakan laki-laki, aku nggak terlalu parah sampe 100% gak bisa berbaur sama orang, dan tempramenku tidak separah orang itu (lagi). Jadi, sebegitu menyebalkannya diriku beberapa tahun lalu itu, ya? Kasian, ya, yang ketemu diriku beberapa tahun lalu itu? Mengutip pernyataan seorang guru agama semasa SMA yang berkata, “Allah Mahabijaksana kalian dipertemukan dengan diri saya sekarang. Bukan diri saya dahulu. Bijaksana, Allah Mahabijaksana.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA