Musim Gugur, Kisah Cinta, dan Prosa-prosamu yang Kusembunyikan
Musim Gugur, Kisah Cinta, dan
Prosa-prosamu yang Kusembunyikan
Musim Gugur
Aku sangat menyukai musim gugur.
Kauakan selalu melihat tampilan blog-ku yang selalu sama dari waktu ke
waktu tahun-tahun terakhir. Kuharap ini tak lagi membuatmu jerih untuk memahami.
Aku menyukai musim gugur—walaupun tak pernah kuinjakkan kaki ke negara empat
musim—sedari lama. Mungkin hanya dari beberapa literatur dan juga film di
televisi.
Kautahu literatur yang sangat menarik
buatku? Salah satunya kudapati pembatas buku cantik dari kering jingga merona
daun maple saat musim gugur tiba. Tiba dan menutupi lantai hutan yang semula
adalah kanopi. Kanopi itu semulanya aku ibaratkan kerudung. Kerudung yang
selalu menutupi kepala—dan dalam beberapa kesempatan wajahku—karena malu.
Mereka bilang, literatur yang
menyajikan tentang musim gugur terlalu mendayu. Sebagai bukti—kata mereka—,
tidak pernah ada telenovela mengangkat musim gugur sebagai kisahnya. Meskipun
musim gugur setara dengan musim salju yang mengartikan kesedihan dan perpisahan.
Aku tetiba menjadi jengkel pada film
televisi yang tidak sependapat denganku soal musim gugur. Tapi siapalah aku
berani mengomentari setiap jengkal episode yang menampilkan putihnya salju.
Salju-salju yang membuatku menguap; bosan. Setiap ada musim gugur, hanya
sebaris sapuan dan remahan daun yang sepintas tergambar. “Ini tidak adil”,
ujarku dalam hati.
Kisah Cinta
Kisah cinta di Rusia. Itulah translasi
buku dari Anton Chekov. Aku tidak tahu; tidak mengerti, apakah ada perbedaan
antara kisah cinta di Rusia, Indonesia, Arab, Amerika, dan berlahan dunia lain.
Mungkin para penjelajah itu bisa menjelaskan kepadaku dalam beberapa belas
kalimat yang bisa kupahami.
Bagi kamu yang pintar, beragam
kemungkinan tak terbatas membentang di dalam kepalamu. Ada masalah perbedaan
budaya, perbedaan syair, dan perbedaan pakaian yang dapat kaujadikan alasan. Aku
menerimanya dengan senang hati. Aku akan tersenyum dengan lesung pipi kiriku
disertai mata yang unggun. Kamu tidak mengerti pertanyaanku—dan mungkin aku kurang
menjelaskan detil pertanyaanku—. Aku menanyakan hal yang paling esensial.
Sebuah ekstrasi. Seperti ekstrasi mawar dan lemon yang selalu aku sukai
aromanya.
Ketika kamu berbicara ekstrasi kisah,
aku menyatakan dengan sepihak semua sama. Ada laki-laki, perempuan,
ketidaksamaan pikiran, perbedaan ketajaman perasaan, dan yang klise: takdir.
Ada aku, kamu, dan kita. Kemudian berkembang menjadi dia, mereka, dan kalian.
Sepasang kekasih yang tidak ingin dihalangi. Kaumengerti sekarang maksudku,
Sayang?
Aku ingin menjadi Missy—dan memang
perawakan serta keunikan pikiran serta perasaanku mirip dia—. Seorang yang
pucat dalam kemelankolisannya. Melihat dunia di balik jendela nako rumah besar
tanpa ada seorangpun yang paham; kecuali kamu. Kamu datang dengan menaruh harap
kepada perempuan-perempuan lain. Tapi kembali kepadaku. Meskipun sejujurnya,
aku ingin dijadikan pilihan pertama.
Akan tetapi, aku tidak menginginkan
perpisahan tanpa kata. Tak ada ucap dari Missy. Tak ada ucap dari para
keluarga. Tak pernah ada kejelasan siapa menjadi kenapa. Sehingga harus ada
pertanyaan besar, “Missy, di manakah dirimu?”* Aku tidak pernah
melakukan itu. Aku tidak berharap melakukan itu kepadamu.
Tapi jika kamu melakukan itu kepadaku,
Sayang. Akulah yang takkan pernah kembali. Meskipun kautahu, aku belum lagi
menjadi seorang manusia tanpa perasaan yang menghilang dari peredaran.
Prosa-prosamu yang Kusembunyikan
“Siapa yang merahasiakan siapa?”
Itulah ujaranku dalam hati. Aku melihatmu. Akan tetapi, terlalu egois untuk
menyatakan bahwa aku mengetahuimu. Semuanya terasa tidak sengaja terprediksi. Ternyata,
prediksi itu tidak mengubah sesuatu hal apapun yang ada di antara kita.
Aku suka? Akan kuceritakan penuh gebu.
Sampai-sampai beberapa orang menyatakan bahwa aku terkena sindrom cinta buta
kepadamu. Padahal sesungguhnya aku hanya suka saja. Aku hanya ingin berbagi.
Tidak lebih, tidak kurang. Jangan berlebihan menganggapku fanatik padamu. Aku
takkan egois di bagian ini.
Aku sayang? Maka kutinggikan derajatmu
dalam kaidah romantis. Kamu akan menjadi rahasiaku. Rahasiaku seorang. Tanpa
ada orang yang tahu mengenai dirimu. Aku cukup egois untuk hal ini. Jangan
kaumarah karena kurahasiakan dirimu dari dunia, Sayang. Kurahasiakan demi
perasaanku juga. Kurahasiakan agar dalam perasaan yang paripurna, aku tetap
ingat; ada kemungkinan kamu mengkhianatiku. Beragam rahasiaku seorang, kamu tak
perlu tahu aku patah hati. Minimal sekarang. Aku tak perlu menyaksikanmu dalam
pikiran gelapku sebagai seorang. Seorang yang menertawaiku di belakang.
Aku cinta? Maka inilah derajat
tertinggi. Kutambahkan derajat romantis dan mesra. Aku ingin semua tahu. Kamu,
tidak pernah ada di tahap ini, Sayang. Belum pernah ada manusia hidup—di masa
ini—yang pernah kumasuki dalam derajat ini. Hanya beberapa orang. Tolong
rahasiakan. Apakah kamu mau kuberikan derajat ini? Aku yakin kamu tidak mampu.
Karena aku menghendaki kesempurnaan. Aku-kamu tak mungkin menjadi seperti apa
yang Dzat itu punyai. Jadi, sudahlah. Aku pun takkan cemburu jika kamu
melakukan hal yang sama. Mungkin justru rasa sayangku kepadamu
bertambah-tambah.
Di dalam prosa-prosamu yang
kusembunyikan, ada aku, kamu, dan kita. Sayang tak berujung jadi siapa-siapa.
Penafsiranku yang dungu belum juga melepaskan beberapa hal. Kusakiti ia
sehingga menjadi tidak mengerti. Dia protes kepadaku, “Hei, kenapa kamu
bungkam aku setelah kamu memiliki pengetahuan melaluiku?”
Aku hanya geming; tak menjawab.
Prosa-prosamu yang kusaksikan dalam diam. Cukup kurasai, tanpa kumengerti.
Seperti apa yang selalu kukatakan pada setiap orang yang bertanya tentang
puisi. Kepadaku, yang belum lagi mengerti makna cinta sejati.
* baris kalimat dalam cerita pendek
Anton Chekov “Kisah Cinta di Rusia”
Bandarlampung, 23-5-2014
Pukul 10.26 WIB
Prima Helaubudi
Belajar membuat prosa. Sepertinya
tidak berhasil :D *senyum ironis*
Komentar
Posting Komentar