Cinta Hitam
Cinta Hitam
Di laptopku sudah tertuliskan 23.03
WIB saat aku mulai menuliskan catatan ini. Well, hari ini akhirnya
setelah hampir seminggu, aku benar-benar tidak bisa banyak bergerak. Pagi tadi
saja, enam jam sudah aku habiskan untuk tertidur lagi. Ditambah pula dengan
rangkaian keringat dingin di mana-mana.
Aku
ingin rasanya tetap tidur saja...
Aku sadar sebagai seorang perempuan,
mau tidak mau, pasti memiliki sisi perasa. Aku pribadi secara sepihak
mendeklarasikan bahwa sisi perasaku sangat kuat. Adapun jika aku terkesan acuh
terhadap suatu hal, bisa jadi hanya di luar saja. Bisa jadi pula, itu bukan hal
yang aku anggap harus intens menjadi perhatian. Sehingga aku berhenti untuk
sensitif.
Sayangnya,
sepertinya usahaku untuk menguatkan rasionalku belum cukup.
Begitu banyak hal yang harus
kucemaskan. Aku tidak ingin cemas, tapi keadaan memaksaku untuk cemas. Entah berapa
kali aku menepis kecemasan yang menyesak di dadaku. Mengusirnya dengan sepenuh
hati dan segenap asa. Tapi ia tetap ada.
Aku hanya ingin semua seperti sejenak
semua bermula yang baik-baik saja. Sungguh. Waktu memberikan pesan bahwa tidak
bisa. Berbaris mimpi sepertinya harus dihapuskan. Tapi aku tidak bisa. Belum pernah
bisa. Masih ada sisi-sisi yang menolaknya. Lelah, aku biarkan ia hinggap. Membujuknya,
agar tidak keberatan jika tidak tercapai. Biarkan ia menjadi mimpi yang belum
pernah usai.
Sindrom umur 22 tahun sudah mulai
merasuk di dalam diriku. Aku sudah mulai terpengaruh dengan beragam provokasi
yang datang dari luar diriku. Di dalam diriku juga timbul sorak-sorai hebat. Mungkin
ini sudah sisi hormonal. Dan aku tidak bisa menangkalnya begitu saja.
Pernikahan...
Feminin...
Dua kata itulah yang kini sudah mulai
merasuk. Sebelum-sebelumnya, mendengar kedua hal yang bisa diasosiasikan dengan
kata “anggun”, “cantik”, “elegan”, dan “keibuan” aku demikian takut.
Kautahu, di dalam setiap hal, ada dua
sisi yang harus paripurna. Dua sisi paradoks harus muncul dan jelma agar
semuanya menjadi sederhana; seimbang. Ada cinta, ada benci. Ada takut, ada
harap.
Di dalam hal ini, aku sering
meniadakan rasa harap. Aku lebih banyak takut. Hal ini disebabkan diriku sudah
melihat banyak hal yang menimbulkan rasa takut. Hingga terciptalah diksi “cinta
hitam” di dalam dunia bawah sadarku.
Jika cinta memiliki banyak warna. Tentu
setiap orang akan memilih warnanya masing-masing. Akan tetapi, dari semua warna
yang melambangkan kemungkinan, aku justru menyukai hitam. Di mana cinta berada
pada titik sedih mendalam.
Alhasil, aku sedang mati-matian
memanipulasi diriku bahwa semuanya akan baik-baik saja. Masih ada beragam
harapan semuanya menjadi bagus. Menjadi baik seperti yang dikatakan dalam
banyak kisah. Kutangkal ia dengan segenap tenaga. Hingga semuanya menjadi
seimbang.
Ketika mulai datang ke dalam alam
sadarku, aku memilih menyibukkan diri. Acuh dengan sengaja agar semua ini bisa
berhasil. Kemungkinan terburuk? Aku selalu siapkan. Teapi ironisnya, aku tidak
berharap untuk yang terbaik. Sungguh kebalikan dari banyak orang.
Mari
berbalik...
Bandarlampung, 22-05-2014
Prima Helaubudi
Komentar
Posting Komentar